SURAT kuasa mutlak yang selama ini hanyak digunakan "tuan-tuan
tanah" sebagai kedok untuk menguasai tanah pertanian di
desa-desa, sejak awal bulan ini dihentikan Menteri Dalam Negeri
Amirmachmud .
Pejabat-pejabat Agraria diinstruksikan Mendagri untuk tidak lagi
melayani penyelesaian status hak atas tanah dengan menggunakan
surat kuasa mutlak. Larangan itu dikeluarkan lewat Instruksi
Mendagri 6 Maret lalu dan disampaikan di hadapan peserta Rapat
Kerja Gubernur dan Bupati/Walikota se Indonesia. "Tanah yang
sudah telanjur dialihkan dengan kuasa mutlak akan diusut kasus
per kasus," Dirjen Agraria, Daryono, menjelaskan.
Kuasa mutlak itu, kata Daryono, selama ini sudah menimbulkan
gejala yang tidak sehat karena ulah "orang-orang kaya" dari
kota yang membeli tanah secara terselubung di desa-desa. Dalam
jual-beli itu, si penjual--petani di desa-desa -- cukup
menyerahkan giriknya kepada pembeli dan selembar surat kuasa
mutlak. Secara formal tanah itu masih atas nama petani di desa,
tapi secara material sudah menjadi milik pembeli.
Cara semacam itu merupakan salah satu cara yang digunakan untuk
menerobos Undang-undang Pokok Agraria. Dalam UUPA, ditetapkan
batas maksimal pemilikan tanah pertanian tidak melebihi 2
hektar. Begitu pula, tanah pertanian tidak boleh dimiliki orang
di luar daerah tanah itu. Tapi orang-orang kaya atau dikenal
penduduk desa sebagai "babe-babe", mengakalinya dengan surat
kuasa mutlak. "Kedok itu banyak dipakai orang-orang yang tahu
hukum," tuduh Daryono beberapa waktu lalu.
Sebab itu dalam instruksi Mendagri tadi, para camat dan pejabat
Pembuat Akta Tanah (PPAT) dilarang melegalisasikan peralihan hak
atas tanah melalui surat kuasa mutlak itu. Pengawasan terhadap
pelaksanaan instruksi itu dilakukan oleh gubernur becrta bupati
atau walikotamadya. Saat ini Direktorat Jenderal Agraria, kata
Humas Ditjen Agraria Drs. Suhadi, sedang mengumpulkan data-data
tanah yang sudah dikuasa mutlakkan. Dengan begitu diharapkan
"tuan-tuan tanah" dari kota itu akan terusir dari desa-desa.
Surat kuasa mutlak itu bcrmula dari Peraturan Menteri Agraria,
Sadjarwo tahun 1961. Setiap pembeli tanah dibolehkan oleh
peraturan itu mendapat surat kuasa mutlak atas tanah itu dari
penjual sampai sertifikat jual-beli dikeluarkan Dinas Agraria.
"Peraturan itu dibuat dengan niat baik," kata Sadjarwo.
Tujuan peraturan itu, menurut bekas Menteri Agraria ini, agar
orang yang telanjur membeli tanah tidak dirugikan. Misalnya,
pembeli ternyata membeli tanah di luar batas maksimum atau di
luar tempat domisilinya (absensi). Pembeli itu dengan surat
kuasa mutlak, bisa menjual lagi tanah itu kepada orang yang
berhak atau meminta kepada penjual agar uangnya dikembalikan.
Peraturan itu dimaksudkan pula untuk melindungi pembeli dari
penjual tanah yang nakal. Sebab untuk mendapat sertifikat,
pemilik tanah yang baru terpaksa menunggu lama. "Waktu itu
karena kurangnya aparat bisa sampai 4 tahun," ujar Sadjarwo.
Dikhawatirkan penjual yang nakal bisa menjual tanah itu
berkali-kali karena masih atas namanya. "Jadi perlu surat kuasa
agar pembeli bisa tenang mengurus sertifikatnya," kata Sadjarwo.
Tapi maksud baik itu ternyata disalahgunakan oleh "tuan-tuan
tanah" baru untuk menguasai tanah secara terselubung. "Sebab itu
sebaiknya peraturan itu dicabut," kata Sadjarwo beberapa waktu
yang lalu kepada TEMPO. (TEMPO, 10 Oktober 1981).
Penerobosan
Usul Sadjarwo itu dikabulkan Mendagri. Cuma masalahnya:
bagaimana mengawasi perpindahan hak dengan kuasa mutlak, jika
dilakukan di bawah tangan? Seorang ahli hukum agraria
membenarkan pemerintah akan sulit melakukan pengawasan peralihan
hak dengan kuasa mutlak di bawah tangan itu.
Kesulitan itu diakui juga oleh Humas Ditjen Agraria, Drs.
Suhadi. Seorang pejabat Landreform Ditjen Agraria, kata Suhadi,
pernah nongkrong di daerah Karawang dan Bekasi selama seminggu
untuk menyelidiki surat kuasa mutlak itu. Tapi hasilnya nihil,
karena peralihan hak dilakukan di bawah tangan.
Penerobosan undang-undang yang ada, juga tidak hanya melalui
surat kuasa mutlak. Ada pula dengan pemalsuan alamat pembeli
untuk menghindari larangan tanah absensi seperti dilakukan
"babe-babe" di Desa Sukamekar, Kecamatan Jatisari, Kabupaten
Karawang, Jawa Barat. Pemilik baru yang sebenarnya berasal dari
Jakarta atau Bandung mengubah alamatnya menjadi penduduk desa
itu, dengan begitu ia bebas membeli sawah-sawah penduduk.
Herman Sarens Sudiro, yang akhirakhir ini dikenal sering
mensponsori berbagai kegiatan olahraga, misalnya, tidak
membantah pernah mempunyai 23 hektar tanah di Desa Sukamekar.
"Tapi tanah itu sekarang sudah saya jual kembali kepada
penduduk, karena saya tidak ingin dicap sebagai tuan tanah,"
ujar Herman Sarens. Selain itu, ia merasa sayang tanah yang
disertifikatkan atas nama tiga orang anaknya tidak tergarap. Ia
sendiri mengaku jarang bisa melihat tanah itu. Walaupun ia punya
sebuah villa di desa itu yang akhirnya ia hibahkan untuk
kepentingan warga Desa Sukamekar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini