LAZARDUS Hartono alias Liem Thian Le alias Liem Hartono
meninggal dunia Kamis pekan lalu di Rumah Sakit Sardjito,
Yogya. Bekas pengusaha itu tidak saja meninggalkan keluarga dan
warisan, tapi juga perkara manipulasi uang Bank Pembangunan
Daerah Yogya sebanyak Rp 264 juta. Karena itu ketika penyakit
kencing manis, jantung dan paru-paru merenggut nyawanya, Liem
masih berstatus tahanan, menunggu keputusan banding dari
Pengadilan Tinggi, setelah dijatuhi hukuman 17 tahun penjara
oleh Pengadilan Negeri Yogyakarta.
Liem Hartono yang beberapa kali menghebohkan Kota Yogya karena
dituduh melakukan berbagai manipulasi, dan sempat menyeret
Direktur BPD Yogya, R. Surjono Tirtodiprodjo beserta Sekwilda
DIY, Mulyono Muliadi, ke pengadilan, diperabukan hari Minggu,
21 Maret lalu. Dengan kematian Liem, timbul masalah: bagaimana
status hukumannya--lebih-lebih yang menyangkut hartanya yang
telah disita?
Bagi pengacaranya, Marhaban Zainun SH, "hak menuntut hukuman
dari jaksa gugur sesuai asas yang dianut KUHP." Marhaban yang
sempat menyalami kliennya itu setengah jam sebelum meninggal
dunia, mengingatkan pula status Liem sebagai terdakwa karena
masih dalam tahap banding. Karena status itu, kata Marhaban,
almarhum wajib dianggap tidak bersalah sesuai dengan asas yang
dikandung oleh hukum Indonesia. "Maka harta kekayaan terdakwa
yang disita harus dikembalikan, sebab tidak mungkin harta orang
tidak bersalah dirampas," kesimpulan pengacara itu.
Tergantung Kasusnya
Harta yang dipersoalkan Marhaban adalah sebidang tanah di
kawasan Kalibata (Jakarta), seluas 18.900 meter dengan
sertifikat atas nama orang lain yang dijadikan Liem sebagai
jaminan utangnya di BPD Yogya sekitar tahun 1975. "Saya kira
harga tanah itu sekarang jauh lebih tinggi dari utang Liem
kepada bank," kata Marhaban lagi. Tanah itu diputuskan Hakim
Supratini Sutarto dirampas untuk negara ketika Liem dijatuhi
hukuman November 1980.
Pengacara Yogyakarta itu membenarkan, dalam kasus seperti Liem
menurut Undang-undang Antikorupsi, hakim dapat memutuskan harta
itu dirampas untuk negara berdasarkan tuntutan ulang dari jaksa.
"Tapi almarhum jangan sampai dirugikan, jadi harta itu harus
dikembalikan dulu, kalau ada pihak yang dirugikan, seperti
bank--baru kemudian boleh menggugat," kata Marhaban.
Kekan Marhaban, Adnan Buyung Nasution--pembela Direktur BPD
Soerjono Tirtodiprodjo dalam kasus itu, sependapat: tanah yang
disita itu harus dikembalikan kepada terdakwa. Status barang
sitaan itu, kata Buyung, belum milik siapa-siapa. Dalam putusan
yang berkekuatan tetap, barang sitaan itu bisa dirampas untuk
negara, tapi bisa pula dikembalikan kepada terdakwa. "Logikanya
kalau perkara itu gugur, harta itu harus dikembalikan," ujar
Buyung.
Baik pihak pengadilan maupun pihak kejaksaan Yogyakarta
membenarkan perkara Liem Hartono gugur demi hukum. Tapi mengenai
harta yang disita, kedua instansi itu masih ragu. "Pengguguran
perkara itu berdasarkan penetapan hakim, jadi mengenai harta itu
tergantung penetapan kemudian dari hakim," kata Bambang Surono,
Ketua Pengadilan Tinggi Yogyakarta. Berarti, keputusan itu kelak
bisa menetapkan harta itu dirampas atau dikembalikan kepada
terdakwa. "Tergantung kasusnya," lanjut Bambang yang akan
menyusun majelis untuk itu.
Sedianya Pengadilan Tinggi Yogya akan memutuskan perkara itu
bulan ini, tapi bulan lalu pihak pembela meminta penundaan,
karena akan menyusulkan memori bandingnya.
Humas Kejaksaan Tinggi Yogyakarta, Soeprapto belum bisa
memberikan pendapat atas tanah yang disita itu. Apalagi,
katanya, tanah itu atas nama orang lain dan digadaikan oleh Liem
dengan surat kuasa mutlak dari pemegang sertifikat.
Pendapat yang agak tegas dari kasus yang cukup unik itu justru
datang dari Ketua PP Peradin, Haryono Tjitrosubeno yang juga
pengacara bekas Sekwilda DIY, Mulyono Muliadi. "Prinsipnya
perkara itu gugur dan berarti bandingnya gugur," kata Haryono.
Berdasarkan itu Haryono menganggap: putusan yang diberlakukan
adalah putusan pengadilan negeri yang dijatuhkan sebelum
terdakwa meninggal. Dengan kata lain, menurut Haryono, Liem
dianggap bersalah dan hartanya disita untuk negara.
Putusan apa pun yang diambil nantinya oleh peradilan, akan
menjadi yurisprudensi yang menarik untuk kasus semacam itu. Yang
jelas Liem Hartono semasa hidupnya pernah dihukum dalam kasus
manipulasi beras dan manipulasi penjualan bis Robur di Yogya.
Yang paling menggemparkan adalah kasus manipulasi itu, karena
melibatkan nama orang-orang penting di daerah istimewa itu Ia
berhasil mendapatkan kredit dari Bank Pembangunan Daerah DIY
sebanyak Rp 150 juta dengan jaminan tanah, ditambah Rp 100 juta
lagi tanpa Jaminan.
Direktur BPD, Surjono mengaku berani mengeluarkan pinjaman
semacam itu, "karena sudah disetujui oleh Pemda DIY dan diteken
oleh Wakil Kepala Daerah, Paku Alam serta Pengawas BPD," ujar
Surjono ketika itu. (TEM PO, 29 Oktober 1977). Bahkan, menurut
Surjon, jika Liem membutuhkan uang dengan segera dan kas BPD
sedang kosong, tiba-tiba saja bank mendapat droping dari Pemda.
Permainan yang akhirnya menyeret pejabat bank dan Pemda itu
dibongkar setelah Sri Sultan sendiri, sebagai Kepala Daerah DIY,
turun tangan meminta kejaksaan mengusutnya. Liem Hartono sempat
kabur sebelum tertangkap. Tapi menurut Marhaban, Liem (61 tahun)
memiliki beberapa surat penghargaan dari berbagai instansi.
Antaranya, dari RPKAD, Korem 072 dan Kodam VII Diponegoro.
Bahkan almarhum pernah ditunjuk sebagai Tim Khusus Pengawasan
Perkembangan Perekonomian di Lingkungan Masyarakat Cina di
Yogyakarta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini