Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SAUT Sirait, pendeta sekaligus anggota Komisi Pemilihan Umum Pusat, memanjatkan doa untuk kelancaran urusan tiga tamu jauh di ruang kerjanya. Mereka adalah Bupati Nias Selatan Fahuwusa Laia; istri Fahuwusa, yang juga Ketua Fraksi Partai Demokrat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Nias Selatan, Nur Asna Larosa; dan anggota tim sukses Fahuwusa, Yurisman Laia.
Hari itu, 13 Oktober 2010, para tamu tak hanya memohon kelancaran, tapi juga meminta bantuan bagi Fahuwusa, yang belum lama dicoret dari daftar calon kepala daerah Nias Selatan, Sumatera Utara. Komisi pemilihan setempat mencoret namanya—yang berpasangan dengan Rachman Alyakin—karena Fahuwusa tak memiliki ijazah SMA. ”Dia minta dibantulah, supaya bisa masuk daftar,” Saut bercerita, Rabu pekan lalu.
Sekitar dua jam, sebelum berdoa, mereka berkeluh-kesah. Anggota Komisi Pemilihan yang belum sepuluh hari dilantik itu hanya mendengarkan dan meminta mereka bersabar. Apalagi sore itu Saut berencana ke Sumatera Utara untuk menelusuri pencoretan Fahuwusa. Menjelang zuhur, para tamu pamit mundur.
Sebelum meninggalkan ruangan, Fahuwusa menyerahkan tas kertas bermotif batik kepada Saut. ”Dia bilang, ‘Pak Saut, Nias Selatan itu terkenal karena kelapa. Ini ada roti kelapa untuk Bapak’,” kata Saut. Tanpa memeriksa bingkisan, Saut ikut meninggalkan ruangannya. Diantar sopirnya, Hari Alma Vintono, Saut menghadiri acara syukuran di kantor Partisipasi Kristen Indonesia, di Jakarta Timur.
Sebelum turun dari mobil dinasnya, Saut berpesan agar Ario, nama panggilan sopirnya, menghabiskan roti kelapa yang diberi Fahuwusa. Keduanya tak menyangka, roti kelapa itu bakal membawa mereka ke gedung yang terletak sekitar satu kilometer dari Komisi Pemilihan Umum, yakni gedung Komisi Pemberantasan Korupsi.
RASA lapar membuat Ario bersemangat kembali ke kantor Saut. Secangkir teh manis hangat ditatingnya ke dalam ruangan. Seraya membayangkan indahnya kombinasi teh manis hangat dan roti kelapa, ia tak kehilangan solidaritas. Diajaknya Sugiharto, anggota staf Saut, masuk ruangan.
Agak bergegas membuka tas kertas bermotif batik itu, Ario tak menemukan roti kelapa. Dirogohnya ke sana-kemari, tak juga ketemu roti. Tapi ada bungkusan lain kertas koran, padat isinya. ”Saya sempat takut, siapa tahu ular,” Ario belakangan bercerita.
Dia mengambil pulpen, mencongkel koran pembungkus. Aman. Tapi isi tas malah membuatnya terkejut. Ia menyaksikan bergepok-gepok uang pecahan seratus ribu. ”Seumur hidup saya belum pernah melihat uang sebanyak itu,” katanya.
Entah mengapa, Ario dan Sugiharto sepakat menghitung jumlah gepokan. Tak kurang dari sepuluh gepok. Keduanya menyimpulkan duit itu harus dilaporkan kepada bos mereka. Maka berangkatlah sang sopir menjemput Saut. Duit ditaruh di bangku belakang.
Setelah duduk di kursi depan, Saut bertanya, ”Gimana kuenya? Enak?” Ario ketus menjawab, ”Bapak main-main, ya? Lihat aja sendiri di belakang.” Saut membuka tas di kursi belakang itu. Benar: uang! Keduanya lebih banyak diam sepanjang perjalanan menuju Bandara Soekarno-Hatta.
BANDARA Polonia, Medan, sehari kemudian. Saut, yang baru saja menyelesaikan pertemuan dengan Komisi Pemilihan Sumatera Utara, kebetulan bertemu dengan Mas Achmad Santosa, anggota Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum. ”Wajah Saut terlihat gelisah,” Achmad Santosa mengenang. Saut kemudian menceritakan persoalan ”roti kelapa” itu. Achmad Santosa menyarankan Saut melapor ke Komisi Pemberantasan Korupsi.
Esoknya, Saut dan Ario melapor ke komisi antikorupsi. Keduanya langsung dimintai keterangan. Gepokan uang disita dan dihitung. Jumlahnya seratus juta kurang seratus ribu rupiah.
Menurut Saut, KPK saat itu menilai bukti masih minim karena penyerahan uang tak disaksikan siapa pun selain kubu Fahuwusa dan Saut sendiri. Salah-salah, malah Saut diserang balik karena dianggap mencemarkan nama baik. Harus ada bukti baru untuk menjerat Fahuwusa.
Kesempatan yang ditunggu akhirnya tiba. Dua pekan kemudian, sang Bupati kembali datang ke ruangan Saut bersama dua orang lain. Sebelum pertemuan, Saut menyusupkan alat perekam di kantong celana dan meminta pembicaraan empat mata dengan Fahuwusa. Saat itulah Saut memancing Fahuwusa agar mengakui pemberian uang Rp 99,9 juta. ”Dia membenarkan dan berjanji memberi lebih lagi kalau masuk daftar calon,” katanya.
Bukti rekaman diserahkan ke KPK. Tapi baru Selasa pekan lalu KPK menetapkan Fahuwusa sebagai tersangka suap. Hingga Jumat, Komisi belum juga menahan Fahuwusa. Wakil Ketua KPK Haryono Umar membantah proses penetapan tersangka terlalu lama. ”Prosesnya termasuk cepat, tak sampai setahun,” ujarnya. Ia juga menyangkal ada keistimewaan terhadap kepala daerah dari Partai Demokrat yang tersandung korupsi. ”Semua diperlakukan sama,” katanya.
UPAYA Fahuwusa menjadi calon bupati tak hanya dengan mendekati Saut. Sejumlah anggota staf Komisi Pemilihan mengatakan Fahuwusa dan timnya rela menunggu lama guna bertemu dengan para komisioner. Anggota Komisi Pemilihan, Sri Nuryanti, juga mengaku didekati tim Fahuwusa. ”Saya tak mau menerima mereka karena bukan koordinator wilayah Sumatera Utara,” katanya.
Saut mengatakan bekas anggota Komisi, Andi Nurpati, yang digantikannya karena menjadi pengurus Partai Demokrat, juga berulang kali mengirim pesan pendek agar Saut membantu Fahuwusa. Komisioner lain, I Gusti Putu Artha, juga mengaku pernah ditelepon Andi. ”Dia menanyakan bagaimana ceritanya Fahuwusa bisa sampai tak masuk daftar calon,” ujar Putu.
Andi Nurpati menyatakan menghubungi para komisioner karena ditugasi Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum menyelesaikan masalah pencalonan Fahuwusa. Tapi Andi membantah mengintervensi bekas lembaganya. ”Saya hanya minta kasusnya dipelajari lagi,” kata Ketua Divisi Komunikasi Publik Partai Demokrat itu.
Menurut Andi, Fahuwusa seharusnya bisa menjadi calon bupati. Mantan kepala kejaksaan negeri ini menyertakan surat pengganti ijazah karena yang asli hangus pada peristiwa kebakaran di rumah orang tuanya. Ada juga surat keterangan polisi soal terbakarnya ijazah. Dokumen itulah yang digunakan ketika Fahuwusa mencalonkan diri sebagai bupati pada periode sebelumnya.
Anggota Komisi Pemilihan Nias Selatan, Soolofona Manao, menyatakan pencoretan nama Fahuwusa sesuai dengan prosedur. Surat yang diajukan Fahuwusa tak memenuhi syarat pengganti ijazah. Surat itu juga telah dibatalkan pihak sekolah Banua Niha Keriso Protestan Gunungsitoli, Sumatera Utara. Hasil penelusuran Soolofona menunjukkan Fahuwusa tak terdaftar dalam buku induk kesiswaan.
Fahuwusa tak bisa dimintai keterangan. Telepon selulernya tak aktif, pesan pendek Tempo juga tak berbalas. Hingga Jumat pekan lalu, istri Fahuwusa, Nur Asna Larosa, yang berjanji meminta suaminya agar mau diwawancarai, juga tak memberi kabar. Tapi Nur Asna sempat membantah pernah bertemu dengan Saut. Ia yakin suaminya tak memberikan uang sepeser pun kepada Saut. ”Tidak benar itu. Tuhan yang tahu,” ujarnya.
Toh, Andi Nurpati, yang telah meminta keterangan Fahuwusa, mengatakan kader Demokrat itu mengakui pertemuan dengan Saut bersama Nur Asna. ”Tapi dia membantah ada suap,” katanya.
Yang jelas, mimpi Fahuwusa menjadi bupati sirna sudah. Komisi Pemilihan Nias Selatan telah menetapkan pasangan Idealisman Dachi dan Huku’asa Ndruru sebagai bupati dan wakil bupati dalam pemilihan yang digelar dua hari menjelang tutup tahun. Keduanya dilantik pada 12 April lalu. Partai Demokrat, yang menguasai kursi DPRD setempat, harus merelakan calonnya tak masuk daftar.
Pramono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo