Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Betawi menepi

Daerah teluk jakarta sejak dulu banyak diminati, berbagai bangsa, a.l. cina,arab,india dan melayu. yang kemudian melebur menjadi persukuan baru yaitu betawi. kini ada 2,5 juta, termasuk yang non asli.

14 Juli 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI tengah makin semaraknya Jakarta, yang baru saja merayakan ulang tahun ke-463, ada baiknya ditengok orang Jakarta asli, alias Betawi. Dengar, misalnya, Benyamin, anak Kemayoran tulen yang ngetop lewat lagu-lagu kampungnya. "Jakarta memang milik orang endonan," katanya, diiringi tawa berderai. Maksud si Ben, ya, pendatang itulah: dari Jawa, Sumatera, misalnya. Lalu siapa, sih, asli Betawi? Istilah Betawi, seperti diketahui, sebutan Batavia menurut lidah lokal. Alkisah, sejak zaman Kerajaan Pajajaran pada abad ke-13, daerah Teluk Jakarta sudah diminati berbagai bangsa, seperti Cina, Arab, India, dan Melayu. Mereka, terutama Arab, berbaur dengan penduduk pribumi. Mukimin itu beranak-pinak, kawin-mawin, menyebar di beberapa kampung, seperti di Kampung Melayu, Kampung Bali, Kampung Bugis, Kampung Makasar, Kampung Jawa. Masih bernama Sunda Kelapa hingga Fatahillah, orang Pasai dari Aceh Utara muncul mendirikan bandar Jayakarta pada 1527. Kelak angka ini jadi hitungan lahirnya Jakarta. Sampai datang harinya Kompeni (Belanda) tergiur menjejakkan kakinya di sini, dan mendirikan Batavia, 1619, dengan Jan Pieterszoon Coen sebagai sang tokoh. Masyarakat "gado-gado" ini kemudian lebur dalam pesukuan baru: Betawi, namanya. Itu bisa ditandai dari ciri keseniannya. Warna Cina, misalnya, dapat disimak dalam Gambang Kromong. Tanjidor ada bau-bau Belandanya. Keroncong Tugu peninggalan Portugis. Lalu rebana tentu ada Arabnya. Dan ditambah lagi sejumlah bentuk kesenian lokal seperti dari Jawa atau Sunda. Kini warga Betawi diperkirakan 2,5 juta jiwa. Itu pun termasuk yang non-asli. "Ada kawan saya yang marah kalau dibilang bukan orang Betawi. Padahal, namanya Sutrisno. Dia lahir dan merasa nggak punya kampung lain selain Jakarta," cerita Amarullah Asbah, Sekretaris Umum Lembaga Kebudayaan Betawi. Asmawi Manaf, bekas Wagub DKI, menilai ada hikmah di balik nasib orang Betawi ini, "Kalau punya tanah 300 m2 di Pejompongan, setelah digusur mereka bisa beli tanah 1.200 m2 di perbatasan Depok-Jakarta," kata pembina Badan Musyawarah Masyarakat Betawi itu. "Masyarakat Betawi sejak dulu rela menjual tanahnya, bila memang diperlukan untuk pembangunan," kata Rusdi Saleh, bekas penyiar TVRI, kini anggota DPRD DKI. Atau, menurut Mahbub Djunaidi, menyingkirnya masyarakat Betawi dengan menjual lahan kepada orang luar itu risiko pembangunan. Cuma, kolomnis beken ini heran. "Eh, kenape orang Betawi doang yang kegusur?" ujarnya mengurut dada. Orang kate .... Ed Zoelverdi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus