Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Di al-muaisim, allah memanggilnya kami datang, ya allah

Sekitar 1600 jemaah haji tewas akibat berdesakan di terowongan al-muaisim,mina. lebih dari 560 jemaah indonesia meninggal. penyebabnya belum jelas. kisah beberapa saksi. malaysia protes sikap arab.

14 Juli 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUDAH sekitar satu jam matahari menerangi bumi Mina di Mekah. Hari itu, 9 Dzulhijah tahun ini, bertepatan dengan 9 Juli Senin pekan lalu, upacara ibadah haji sampai pada saat melempar Jumrah. Di situlah, sekian abad yang lalu, Nabi Ibrahim a.s. mengusir setan yang dilaknat. Siapa menduga hari itu akan terjadi sesuatu? Dalam waktu sekitar satu jam itulah, jemaah dari Asia Tenggara dan Turki, yang bergerak penuh semangat menuju tempat Jumrah lewat salah satu terowongan penghubung bernama Al-Muaisim, memenuhi lorong itu dengan sekitar 50.000 orang. Tiba-tiba yang di dalam terowongan tak bisa bergerak. Rupanya, para jemaah yang telah berada di tempat Jumrah, sekitar 200 meter dari mulut terowongan, pun tak bisa beranjak. Mereka yang telah melemparkan batu ke Jumrah mencoba mendesak ke arah terowongan untuk kembali. Mereka yang berada di dalam terowongan dan yang sudah berada di luarnya mencoba bergerak menuju Jumrah. Walhasil, kedua mulut terowongan setinggi 9 meter itu penuh manusia. Udara pun sesak di dalam. Beberapa jemaah di dalam terowongan mulai kehabisan napas, pingsan. Dalam kondisi seperti itu, ketika orang per orang jemaah tak lagi bisa mengendalikan arah gerakan, mereka yang jatuh pingsan bukannya menerima pertolongan, tapi gencetan demi gencetan. Segera orang menghitung mereka yang meninggal. Penghitungan sementara sampai akhir pekan lalu, sekitar 1.600 jemaah meninggal, di antaranya lebih dari 560 jemaah Indonesia. Inikah sesuatu itu, musibah itu? Di Jakarta, dalam salat Jumat pekan lalu, seorang khatib membacakan Surat Al Hajj. "Orang-orang yang berhijrah di jalan Allah, kemudian mereka dibunuh atau mati, maka Allah akan memberikan kepada mereka rezeki yang baik." Amin. Orang-orang yang sedang menunaikan ibadah haji itu termasuk orang-orang yang sedang hijrah kepada Allah. Meninggalnya disebut mati syahid. Ya, para muslimin dan muslimat, mereka tak perlu kausedihkan. Kepada mereka telah ditetapkan tempat yang baik. Bila toh hendak disebutkan musibah -- demikian khatib tersebut -- itu tertuju bagi mereka yang ditinggalkan: bagi suami yang kehilangan istri, bagi anak yang kehilangan ibu atau bapak, atau bagi negara yang kehilangan rakyatnya. Karena itulah, Pemerintah Indonesia menyatakan hari berkabung nasional, Jumat pekan lalu. Di semua mesjid dilakukan salat ghaib empat takbir setelah salat Jumat, mendoakan mereka yang syahid di hari pertama jumrah atau 10 Dzulhijah, Senin pekan lalu (di Mekah Hari Raya Haji lebih dulu daripada di Indonesia, yang 10 Dzulhijahnya jatuh pada Selasa 3 Juli). Sepanjang sejarah haji, peristiwa Al-Muaisim ini meminta nyawa jemaah haji Indonesia terbesar. Sebelumnya, pada akhir 1974, sebuah pesawat Martinair yang membawa 182 jemaah haji Indonesia ke Tanah Suci membentur dinding batu di pegunungan Tujuh Perawan, Sri Lanka. Kemudian pada 1978, pesawat DC-8 Icelanddic Loftleider dari maskapai penerbangan Eslandia, yang membawa jemaah haji Indonesia dari Jeddah, jatuh sewaktu mendekati bandara udara antarbangsa Kutanayake, Kolombo, Sri Lanka juga. Korbannya 183 jemaah haji yang berasal dari Kalimantan Selatan. Bahkan bila dibandingkan dengan musibah nasional lainnya, umpamanya dengan peristiwa tenggelamnya kapal Tampomas II pada 1981, yang terjadi di sekitar 150 km arah timur Pulau Maselembo, peristiwa di terowongan Al-Muaisim masih lebih besar. Tapi itu kalau 330 jemaah haji yang hilang, yang dinyatakan oleh Menteri Agama Munawir Sjadzali di akhir pekan lalu, memang ikut menjadi korban. Bila memang begitu, seluruh korban jemaah Indonesia akan menjadi sekitar 900 orang. Sedangkan korban yang disebabkan tenggelamnya Tampomas II cuma lebih dari 800 orang. Bagi dunia Islam umumnya, atau Arab Saudi khususnya, kejadian semacam yang terjadi pada terowongan yang berbentuk setengah silinder tidur dengan panjang 600 m, lebar 15 m, dan tinggi 9 m ini baru pertama kali terjadi. Bila pernah ada korban di Tanah Suci, kata Tarmidzi Thaher, Sekjen Departemen Agama RI, itu akibat huru-hara yang disebabkan oleh faktor politik. Misalnya peristiwa berdarah di Masjidil Haram pada 1979, yang membawa korban sekitar 300 orang. Lalu, pada 1987 terjadi lagi peristiwa, kali ini dilakukan oleh jemaah haji Iran yang melakukan protes kepada Pemerintah Arab Saudi, dan menewaskan sekitar 400 orang. Hingga awal pekan ini musabab peristiwa itu masih belum jelas benar. Itulah sebabnya, bila Pemerintah Turki, yang kehilangan 550-an jemaahnya, setidaknya menyerukan agar Pemerintah Arab Saudi melakukan penyidikan untuk mengetahui sebab awal peristiwa itu. Dan, tentu, mengambil tindakan terhadap mereka yang teledor. Umumnya para jemaah yang selamat, sebagaimana yang telah disebutkan, mengatakan berdesakannya para jemaah yang melebihi kapasitas terowongan menjadi sebab musibah. Para jemaah yang berjubel itu datang dari perkemahan di Haratul Lisan, tempat sebagian besar jemaah haji Indonesia dan negara Asia Tenggara lainnya berkemah setelah seharian berwukuf di Arafah. Juga dari perkemahan jemaah Turki, yang terletak di timur Haratul Lisan. Mereka -- jemaah Asia Tenggara dan Turki itu -- rupanya berbondong-bondong masuk terowongan yang merupakan jalan pintas dari perkemahan ke pelemparan jumrah di Mina. Ada memang jalan lain tapi memutar lewat bukit-bukit. Senin fajar itu, menjelang matahari naik, jemaah haji yang berkemah di Haratul Lisan dan perkemahan lainnya berangsur-angsur bergerak masuk terowongan Al-Muaisim sambil mengucapkan takbir "Allahuakbar, Allahuakbar....". Setiba di tempat pelemparan tiap jemaah melontarkan batunya sebanyak tujuh kali. Lalu mereka kembali ke perkemahan dengan melewati terowong Al-Muaisim. Sementara itu, mereka yang belum sampai ke tempat jumrah terus bergerak menuju ke arah Mina. Akibatnya, yang sudah dan yang belum melempar jumrah akan berselisih jalan di dalam terowongan Al-Muaisim. Ini tak jadi soal seandainya masing-masing mengikuti jalur pemisah berupa kawat halus yang dipasangi umbul-umbul merah putih yang ada di dalam terowongan. Saksi mata lain menyatakan bahwa kepanikan muncul karena di mulut terowongan dekat pelemparan jumrah, 7 jemaah haji terjatuh ke bawah jembatan, karena berdesak-desakan. Jeritan yang jatuh dan teriakan yang melihatnya membuat jemaah yang lain jadi panik. Kepanikan ini menyebabkan jemaah yang masuk dan yang keluar bercampur aduk, jalur keluar-masuk pun kacau. Ketika itu (pukul 8.30), Afwan, seorang pemandu jemaah haji dari makhtab 38 (kelompok mutawif), sedang berada di dalam terowongan. Ia yang berbadan gemuk ini pun mulai lunglai didesak lautan manusia dari segala penjuru. Desah napas dan ratapan manusia yang mengenaskan membaur dengan keringat dan udara yang kurang mengandung oksigen. Dari kejauhan ia mendengarkan teriakan minta tolong. "Tolong, tolonglah... Aduuh... tolonglah," sayup-sayup kedengarannya suara ini bercampur gema takbir Allahu Akbar, Subhanallah. Tapi suara itu akhirnya tenggelam bersama "tenggelam"-nya dua ribuan orang dari berbagai warna kulit dan status yang terjepit di dalam terowongan. Lampu sempat padam setengah jam, menambah kacaunya suasana. Kipas besar pada terowongan berhenti berfungsi selama satu jam, antara pukul 8.00 dan 9.00, menyebabkan udara sesak. Dalam keadaan sesak dan panas itu, Afwan tidak sempat lagi memandu 26 jemaahnya. Ia pun mulai lemas. Di dekat ia tergencet-gencet, seorang dokter wanita pun hampir pingsan. Di saat itulah dokter itu seperti mendapat suntikan tenaga. Ia meraih Afwan, lalu keduanya saling menolong dengan jalan meniupkan napas ke hidung masing-masing secara bergantian. Tuhan Maha Besar. Afwan pun terbawa arus gerakan jemaah berdesak-desakan akhirnya sampai di luar terowongan. Kain ihramnya ternyata terlepas sudah, tapi ia selamat. Anehnya, ia tak melihat lagi dokter wanita itu. Ia cari-cari pun tak ketemu. Hingga kini pun Afwan masih mencarinya, adakah dokter itu selamat -- atau, seperti banyak dikisahkan, dokter itu memang tergolong yang gaib-gaib -- wallahualam bisawab. Tapi ada pendapat lain bahwa kejadian itu berawal di tengah terowongan, ketika sebagian jemaah Indonesia terjepit antara desakan rombongan dari Turki dan Afrika yang bergandengan tangan dan menuju ke arah berlawanan. Inilah yang diceritakan oleh Mien Uno, Direktris John Robert Powers, kepada TEMPO. Kata Mien, jemaah haji Indonesia dari kloter 101, selesai melempar jumrah, lalu mau kembali ke kemahnya lewat terowongan. Malang, di tengah terowongan mereka terjepit di antara rombongan Turki di belakang dan orang-orang Afrika yang bergandengan tangan di depannya. Akibatnya, orang-orang Indonesia yang bertubuh kecil tersungkur tak berdaya di desak oleh orang-orang Afrika. Dan kaki-kaki pun menginjak-injak mereka bukan atas kemauan si empunya. Sutanto, 50 tahun, seorang pegawai musiman KBRI di Mina, mengaku melihat jalan menuju masuk terowongan padat dengan manusia yang bergerak ke arah berlawanan. Akhirnya, ia yang sudah melempar jumrah ini mencari tempat agak jauh dari mulut terowongan sambil memperhatikan orang-orang yang berada di mulut terowong yang hampir semuanya berjongkok. Pada 8.30, ia melihat korban mulai berjatuhan. Sutanto heran, di saat kritis itu tak seorang pun petugas keamanan tampak. Barulah antara pukul 9.00 dan 10.00 pagi, petugas keamanan datang menolong. Hari itu terowongan dinyatakan tertutup. Seluruh terowongan dibersihkan hingga besok harinya. Banyak orang menyalahkan petugas keamanan yang tidak mengawasi terowongan ketika itu. Menurut Sutanto, selama satu setengah bulan ia bertugas di perkemahan Asia Tenggara, belum sekalipun ia melihat petugas keamanan berada di tempat itu. Andai arus manusia keluar-masuk Al-Muaisim bisa diatur, peristiwa itu tentu tak separah yang terjadi. Sementara itu, Ahmad Masaud, 26 tahun, mahasiswa di Universitas Ummul Qura, Mekah, mujur: ia selamat. Ia lebih menyalahkan para mutawif (pemandu jemaah haji), yang tidak mengatur waktu jemaahnya melempar jumrah. Padahal, melempar jumrah dapat dilakukan dalam berbagai waktu. Menteri Kesehatan Adhyatma, misalnya, melempar jumrah pertama pada pukul 00.30 malam hari, pada saat sepi dari pengunjung. Menteri ini mengusulkan, antara lain, terowongan khusus tempat orang berjalan sebaiknya diatur satu arah. Juga, agar Pemerintah Arab Saudi mengatur penjadwalan jumrah, sehingga jemaah tidak bertumpukan seperti sekarang. Usul seperti ini juga datang dari PP Muhammadiyah. Kamis pekan lalu, salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia ini mengirimkan surat kepada Raja Fahd. Isinya antara lain mengucapkan terima kasih atas fasilitas dan pelayanan Arab Saudi kepada jemaah haji Indonesia. Tapi organisasi ini juga mengusulkan agar terowongan Al-Muaisim dijadikan satu arah atau dibuat terowongan baru, sehingga tidak terjadi tabrakan antara sesama jemaah. Mereka melihat sistem pengaturan sa'i -- berlari-lari kecil antara bukit granit Shafa dan Marwa -- sangat baik bagi jemaah. "Kalau Pemerintah Arab Saudi bisa mendatangkan ahli pertamanan dari luar untuk menghijaukan Mekah, kenapa tidak didatangkan saja ahli pengaturan lalu lintas untuk mengatur berbagai jalur jalan raya dan terowongan itu," kata Lukman Harun, Wakil Ketua PP Muhammadiyah. Pemerintah Indonesia minta pada Pemerintah Arabi Saudi agar jemaah haji Indonesia korban terowongan Al-Muaisim dikuburkan pada satu tempat. "Agar anggota keluarga yang meninggal bisa berziarah ke tempat itu," kata Wahono di ruangan VIP Bandara Halim Perdanakusuma setibanya dari Jeddah, Sabtu sore pekan lalu. Permintaan itu diajukan Munawir Sjadzali dan Wahono, masing-masing sebagai amirul hajj dan wakil, kepada Menteri Urusan Haji dan Waqaf Arab Saudi. Usul ini, menurut keterangan staf Kedubes Saudi Arabia di Jakarta, sudah diterima. Ini disampaikan Menteri Luar Negeri Saudi Arabia kepada Dubes Indonesia di sana pada Minggu pekan ini. Di antara yang berharap bisa berziarah adalah kelima putra Prof. dr. Ahmad Muhammad Djoyosugito, 63 tahun, dan istrinya Prof. dr. Soemiati, 62 tahun. Mereka berdua adalah guru besar Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta. Suami-istri itu memang ikut menjadi korban. Untuk mendoakan mereka, 300 orang keluarga besar UGM, Sabtu siang pekan lalu, di balairung mengadakan salat gnaib. "Kami sudah mengiklaskan Bapak dipanggil Tuhan," kata Retno Ekantini, putri pertama almarhum Ahmad Muhammad. Tapi yang masih menyedihkan mereka, belum ada berita tentang ibunda dan budenya. Barulah pada Jumat pukul 00.15 berita tentang kedua almarhumah dapat diketahui, setelah Dr. Rajiman, Dekan Fakultas Kedokteran UGM, menghubungi Drs. Suyoto, dari Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji di Mekah. Kedua jenazah ditemukan Suyoto di rumah sakit dari gelang perak yang masih mereka kenakan dengan nama pemiliknya. Mendengar kematian Ahmad dan istrinya, masyarakat Yogyakarta berbondong-bondong bertakziah ke rumah almarhum. Tokoh pertama Gerakan Ahmadiyah Lahore ini cukup populer sebagai dai yang sering memberi ceramah agama. Ahmad Muhammad dan istri termasuk jemaah yang cukup dikenal. Tapi ada seorang janda berusia 63 tahun, Mariam namanya. Ia termasuk salah seorang korban terowongan Al-Muaisim. Sebelum suaminya meninggal, Mariam aktif membantu suaminya mencari nafkah untuk membiayai menghidupi anak-anaknya dengan jalan menjahit pakaian. Kegiatan ini terus berlangsung sebelum ia pergi haji. Dengan mengumpulkan uang sedikit demi sedikit, akhirnya Mariam berhasil naik haji tahun ini. Tapi Tuhan menghendaki ibu yang sudah menyelesaikan tanggung jawab kepada anaknya ini tak usah pulang ke Indonesia dari Tanah Suci. "Banyak orang tua yang ingin meninggal di Mekah, tapi jarang kesampaian. Ibu saya sudah tiga kali pergi haji dengan harapan meninggal di sana. Tapi sampai sekarang masih segar bugar. Ibu Mariam beruntung ditakdikan syahid di Tanah Suci," ujar seorang tamu yang sedang melawat ke rumah duka. Tapi di Malaysia, Lembaga Urusan dan Tabung Haji (LUTH) -- lembaga yang mengurus para jemaah haji -- tampaknya tak bisa menarima begitu saja peristiwa ini. "Soal mati tak bisa dianggap sepele begitu saja," kata Datuk Hanafiah Ahmad, Ketua LUTH, kepada TEMPO. Ia memprotes Pemerintah Arab Saudi, yang, "tak cuma lambat memberikan nama korban, tapi juga tak mengembalikan tanda pengenal korban kepada kami." LUTH memang sangat memperhatikan keluarga korban. Kepada mereka diberikan santunan M$ 1.000 dan 30% ongkos pesawat (lebih dari M$ 2.750). Tak cuma LUTH. PM Mahathir Mohammad sendiri, selain mengumumkan hari berkabung, 9 Juli, membentuk panitia dana khusus guna mengumpulkan dana dari masyarakat dan pemerintah untuk keluarga korban yang tergolong miskin. Tapi jatuhnya korban adalah satu hal, sementara itu panggilan berhaji adalah hal lain -- begitulah yang dipercaya umat Islam tentang rukun Islam kelima ini. Maka. Soedibyo, purnawirawan ABRI yang sudah berusia 60 tahun, dan istrinya begitu keras ingin berhaji tahun ini. Meski sebenarnya ia mempunyai penyakit diabetes, sedangkan istrinya baru satu tahun yang lalu menjalani operasi. "Tapi tekadnya yang sudah bulat untuk naik haji seperti tak bisa ditunda lagi. Bahkan dikepal-kepalkannya tangannya, menunjukkan badannya sudah siap," cerita Soetjipto, ipar Soedibyo. Ketika akan berangkat Soedibyo berulang kali memberi pesan kepada Soetjipto agar menjaga anak-anaknya. "Semula saya anggap biasa karena setiap orang yang berangkat haji kan lazimnya begitu," kata Soetjipto. Ternyata itu pesan terakhir dari Soedibyo dan istrinya. Dari Allah kepada Allah juga semuanya akan kembali. Julisar Kasiri, Ardian T. Gesuri, Priyono B. Sumbogo (Jakarta), M. Baharun (Surabaya), Dja'far Busyiri (Mekah)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus