Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MEREKA adalah binatang-binatang politik, hasil evolusi manusia menjadi anjing. Orang-orang bertubuh kekar-kasar dengan urat-urat bertonjolan yang menyerang, memiting, dan membanting sesamanya. Manusia-manusia berkepala anjing yang menggonggong, menyerang, dan menggigit manusia lain.
Kanvas itu berubah jadi arena pertarungan makhluk-makhluk brutal yang ganas dan saling memangsa, entah untuk memperebutkan apa. Hanya manusia-manusia yang berdiri di atas lingkaran hijau dan merah di bagian tengah lukisan yang tampak lebih damai dan bergandengan tangan. Di sampingnya tercantum sebuah catatan: “Lingkaran merahnya Henri Matisse masih suci, tapi lingkaran hijau Alit sudah terkontaminasi ‘seekor’ serigala.”
Amir Urip Alit Sembodo melukis Teori Evolusi itu pada 1999, setahun setelah Reformasi pecah di Bumi Pertiwi. Pelukis yang pernah belajar di Fakultas Seni Rupa Institut Seni Indonesia, Yogyakarta, pada 1995 itu punya ketertarikan khusus pada suasana sosial politik pasca-Reformasi. Di matanya dunia kini diisi oleh binatang-binatang politik yang ganas dan kanibalistik, homo homini lupus, seperti yang tampak pada 27 karyanya yang dipajang dalam pameran Alit Sembodo, Sirkus Politik: Jagat Purba di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta, pekan lalu.
Dalam Teori Evolusi, pelukis kelahiran Magelang, 10 Agustus 1973, itu menafsir ulang teori Charles Robert Darwin tentang evolusi. Bagi Alit, evolusi dari kera menjadi manusia versi Darwin itu belum tuntas, tapi berlanjut ke devolusi: manusia berubah jadi makhluk primitif, bahkan kembali jadi binatang (anjing).
“Bayangkan kawan, kerja keras nenek moyang kita berevolusi selama 25 juta tahun untuk menjadi homo sapiens hancur begitu saja dalam seper-25 juta detik untuk menjadi serigala… sekali lagi, bayangkan kawan…,” Alit menorehkan catatan ini di pojok atas lukisan tersebut.
Alit adalah pelukis berbakat yang meninggal karena bunuh diri pada usia yang sangat muda, 30 tahun, pada 4 Agustus 2003. Tapi karya-karyanya mengejutkan dan kualitasnya pun diakui. Seniman yang aktif dalam komunitas Gelaran Budaya Yogyakarta itu telah mendapat penghargaan 40th Winsor & Newton Art Awards dan Pratisara Affandi Adhi Karya pada 1999. Bahkan, pada 1999 dan 2000, ia berturut-turut menerima Phillip Morris Indonesian Art Awards.
Di pasar lelang lukisan pun, namanya sangat diperhitungkan. Dalam laporan Top 500 Artprice 2008/2009 Contemporary Artists yang disusun Artprice, perusahaan besar Prancis yang menghimpun data pelelangan barang seni di seluruh dunia, nama Alit bertengger di nomor 184. Hanya 20 perupa Indonesia yang masuk daftar itu.
Pameran ini dipersembahkan untuk mengenang kekaryaan Alit. Materinya dipinjam Galeri Umahseni dari para kolektor. Tentu ini bukan hal yang mudah, tapi toh bisa dilakukan. “Tanpa dukungan keluarga Alit Sembodo, kami tak bisa berbuat apa-apa,” kata Leo Silitonga, pemilik galeri itu.
Karya yang dipamerkan merupakan produksi 1999-2003. Padahal, menurut Amir Urip Kukuh Wahyudi, kakak kandung Alit, adiknya sudah melukis sejak 1994. Sedikitnya 20 lukisan kanvas karya Alit tersimpan di kediaman kedua orang tuanya, Oemar Tribani dan Ninik Wirana Winarni, di Jalan Pasar Blabak 61, Mungkid, Magelang, Jawa Tengah. “Di rumah saya saja ada enam lukisan kanvas Alit,” ujar Kukuh.
Selain punya lukisan kanvas, keluarganya menyimpan ratusan lukisan di atas kertas. Ada yang di atas kertas kuarto, kertas manila, dan kertas-kertas gambar lain. Jika ada pihak yang hendak membukukan karya Alit Sembodo, keluarganya membuka diri untuk memperkaya materi. “Terima kasih atas apresiasi pada adik kami, tapi mohon karya yang dipamerkan tidak hanya dibatasi yang ada di tangan kolektor, biar kenangan manis pada adik kami sempurna,” kata Kukuh.
Keganasan mewarnai semua karya Alit. Hendro Wiyanto, kurator pameran ini, melihatnya sebagai pengejawantahan Alit sebagai seniman yang konsisten mengamati kekerasan di sekelilingnya. Bukan hanya kekerasan fisik, tapi juga penindasan kebebasan. “Kedalaman pengamatan itu ditunjang kekuatan keterampilan yang sempurna, menjadikan karya Alit sebagai ikon perlawanan pada zamannya,” ujarnya. Alit, kata Hendro, cermat menggambarkan watak denotatif kebinatangan dan kerakusan manusia, yang merupakan sisi paling gelap dari sejarah manusia sendiri.
Alit melukis dengan ketekunan luar biasa. Di kanvas besar, yang rata-rata seluas 150 x 300 sentimeter, ia menyapukan campuran tinta hitam, akrilik, dan charcoal untuk membentuk ratusan manusia, setengah manusia, atau binatang dalam berbagai rupa. Guratan sketsa masih terlihat di sana, yang mengingatkan pada tradisi maestro seni rupa S. Sudjojono dalam melukis. Warna-warna monokrom dengan latar hitam atau putih menjadi gambaran umum lukisannya. Sesekali dia menorehkan warna lain pada obyek-obyek tertentu--suatu aksen yang menarik.
Kanvas itu berubah jadi panggung drama, yang penuh sesak dengan manusia jalang. Dari jauh, lukisan itu hanya berupa kerumunan manusia. Padahal setiap tokoh memiliki kisahnya sendiri, yang harus dilihat dalam jarak dekat untuk “membaca” fragmen yang dimainkannya.
Tokoh itu juga bisa menjadi apa saja. Pada Eksodus (1999), misalnya, sang tokoh bisa menjadi sepeda yang dinaiki tokoh serupa atau menjadi gajah, macan, atau hewan lain. Dalam Eksodus (2001), sang tokoh bisa menjadi duyung yang tergolek. Selain menampilkan suasana karut-marut, riuh, porak-poranda, dan karakter tokoh yang serupa, Alit banyak menggunakan wujud skuter, sepeda pancal, dan becak dalam karyanya, seperti dalam Mooi Indie in the 11,9 Scala Richter (2000), The Baratayudha’s Scooter (2001), Sirkus (2000), Bukan Perawan Lagi (1999), Baratayudha De Mobius (1999), Becak-becak Baratayudha (2001), dan Rock and Roll of Baratayudha (2000).
Pengamat seni rupa Taufik Rahzen menilai Alit paling orisinal dalam proses pencarian. Kondisinya yang hard of hearing (kurang bisa mendengar, tapi tidak tunarungu) membuat dia berada dalam dua dimensi. Hal itu terwujud dalam proses melukis: media kanvas menjadi kotak hitam, yang di dalamnya terdapat ruang yang lain. “Cara dia melihat kenyataan menjadi stereoskopik,” ujar Taufik.
Yang luar biasa, karya-karya kecil di dalam karya besar itu punya daya yang sama. Itu semua bisa terbangun dari kemampuan Alit menggabungkan tema, narasi, dan visual. Taufik membandingkannya dengan Sudjojono. Sementara Sudjojono membangun narasi dan tema sebagai alat ideologi, “Alit menggunakannya sebagai media mencuatkan ide,” kata Taufik.
Dwidjo U. Maksum, Kurniawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo