Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Suara Siapa Itu, Yud?

Yudistira Syuman membagikan pengalamannya saat mengidap skizofrenia dalam sebuah karya tari.

7 Maret 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI depan cermin besar laki-laki itu memandangi bayangan tubuhnya sendiri. Perlahan-lahan dia mengenakan jas hitam yang tersampir di bingkai cermin. Lalu bersolek, mengoleskan gincu di bibir dan pupur di wajahnya. Laki-laki itu kemudian menari. Gerakannya amat pelan. Sambil meregangkan kedua tangannya dia berjinjit. Lantunan lagu Vexation karya pianis asal Prancis, Erik Satie, makin membuatnya hanyut.

Tapi tiba-tiba tubuhnya mengejang. Dia tersungkur di lantai. ”Mimpi apa kamu, Yud? Mimpi jadi penari?” suara-suara misterius itu terdengar mengejek. Laki-laki itu kemudian berlari-lari mencari asal suara-suara tersebut. Suara dua orang laki-laki dan perempuan yang tak kelihatan wujudnya. ”Kenapa kauhentikan dendanganmu, Yud? Malu, ya? Apa yang kaucari?” suara-suara itu terus mengganggunya.

Inilah sepenggal adegan dalam pertunjukan tari bertajuk Andai... yang dipentaskan di Teater Salihara, Jakarta, Kamis dan Jumat dua pekan lalu. Komposisi tari yang diciptakan dan dibawakan sendiri oleh Yudistira Syuman itu menyuguhkan sebuah teatrikal kehidupan seorang penderita penyakit jiwa skizofrenia. Yudi menciptakannya berdasarkan pengalaman hidupnya sendiri.

Pengajar di sekolah tari Ballet Sumber Cipta ini pernah mengidap skizofrenia. Gangguan kejiwaan itu dialaminya sepulang menuntut ilmu di Folkwang Hochschule, Essen, Jerman, tempat dia belajar balet klasik, tari modern, tarian rakyat Eropa, dan flamenco. ”Sebuah anugerah yang tak dapat dilupakan,” tuturnya. Setelah sembuh total pada pertengahan 2000-an, dia menuangkan pengalamannya itu lewat sejumlah karya tari. Salah satunya Cerita dari Dunia Maya, yang dipentaskan di Teater Salihara pada 17 Januari 2010.

Andai... bercerita tentang kegelisahan dan pergulatannya saat tenggelam dalam alam halusinasi. Panggung yang sunyi dan sedikit gelap menjadi refleksi kondisi jiwa pengidap skizofrenia yang gemar akan suasana sunyi dan gelap. Butuh waktu tiga bulan bagi Teguh Ostenrik menciptakan tata pentas yang dapat mengungkapkan kesunyian itu: panggung dengan pencahayaan rendah yang hanya berisi sebuah meja kecil, seperangkat meja-kursi, sebuah cermin besar setinggi dua meter, kaleng penyiram tanaman, dan guling merah panjang. Di pojok kanan belakang panggung, satu per satu bunga kemboja jatuh dari langit-langit.

Yudi membuka pertunjukannya dengan adegan sarapan pagi. Dia meramunya dalam koreografi yang lambat dan berulang. Mengenakan kaus sing­let sedikit lusuh dan celana piyama bergaris-garis, dia memindahkan gelas, termos, piring, pisau, kopi, gula, roti, dan selai dari sebuah meja kecil ke meja makan. Proses pemindahan barang-barang itu dilakukan dalam gerakan yang monoton, berjalan beberapa langkah, memutar badan berlawanan arah jarum jam, lalu melangkah mundur. Dengan gerakan amat lambat pula dia membuat setangkup roti, mengoleskan mentega, dan menaburi meses, lalu mengunyah dengan perlahan. Bagi sebagian penonton, adegan ini mungkin terasa menjemukan.

Pergolakan jiwa Yudi baru terasa di babak pertengahan, ketika hidupnya terus dibayang-bayangi oleh suara-suara yang sejatinya hanya halusinasi. Suara-suara itu menuntun hidupnya, menyuruhnya berbuat sesuatu, memuja, dan mengejeknya. ”Kamu jahat, Yud, jahat, jahat, jahat,” teriak suara-suara itu lantang ketika Yudi memereteli helai demi helai kuntum bunga kemboja dan menginjak-injaknya.

Halusinasi itu tak cuma berwujud suara. Terkadang Yudi terlihat berkomunikasi dengan tubuhnya sendiri. Tangan kanannya seolah punya nyawa sendiri, bergerak bebas, tak terkendali. ”Angel,” panggil Yudi lirih sambil menatap sang tangan. Di satu ade­gan, terlihat bagaimana Yudi yang kasmaran memeluk mesra dan menciumi guling merah sepanjang tiga meter. Di lantai, dia menggumuli guling merah yang dalam alam imajinasinya adalah seorang gadis pujaan hatinya.

Di akhir pertunjukan yang berlangsung hampir dua jam itu, kita juga menyaksikan bagaimana Yudi berusaha berjuang melepaskan diri dari semua halusinasinya. Perjuangan Yudi untuk sembuh. Dia hendak berbagi kepada penonton bahwa penderita skizofrenia bukanlah makhluk tak berdaya.

Maka di atas panggung kita menyaksikan bagaimana Yudi mengabaikan suara-suara. Di depan cermin, dengan wajah yang tak lagi tegang, dia berkata, ”Namaku luka. Aku tinggal di lantai dua. Aku tidur di atas kamarmu. Aku pikir aku hanya ingin sendiri. Tidak ada yang salah atau disakiti. Hanya jangan tanyakan padaku bagaimana.”

Yudi pun berjinjit dan berusaha seperti terbang. Mengabaikan suara yang terus-menerus memanggilnya.

Nunuy Nurhayati

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus