Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Bioskop yang Menampik Hollywood

Sebuah tontonan alternatif akhirnya lahir di salah satu ruang bioskop di Taman Ismail Marzuki. Agar awet dan panjang umur, harus dikelola serius.

4 Juli 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kara, seorang gadis cilik, hidup tanpa ayah-ibu, tanpa tetangga, di sebuah gubuk terpencil. Ibunya meninggal setelah kelahirannya akibat tertimpa maskot sebuah restoran cepat saji. Suatu hari, Kara berhasil melacak kebenaran peristiwa itu. Ia mendatangi sang "pembunuh", memukul-mukul patung berbaju kuning yang selalu tersenyum lebar itu dengan sebatang kayu. Akhirnya, seorang pengunjung restoran bisa menenangkannya seraya memberinya segelas minuman ringan dingin.

Kara, Anak Sebatang Pohon karya Edwin yang masuk Festival Cannes, Prancis, 2005, untuk kategori film pendek berdurasi sembilan menit. Kara, bersama lima film pendek lainnya, ditayangkan pada acara pembukaan Art Cinema di Galeri Cipta III, Taman Ismail Marzuki, Rabu malam pekan lalu. Suasana "alternatif" langsung terasa dalam acara pembukaan itu. Anak-anak muda berkaus oblong, bercelana kasual, kadang berambut acak-acakan mondar-mandir. Poster-poster film alternatif yang provokatif dan poster festival film berbagai negara tergantung di dinding galeri.

Ya, mulai saat ini, para penggemar film seni, alternatif, atau siapa saja yang bosan dengan film-film Hollywood dapat datang ke Studio 1, bioskop 21 TIM. Jadwalnya tetap: dua minggu pertama setiap bulan. Menurut Ketua Komite Film Dewan Kesenian Jakarta, Gotot Prakosa, Studio 1 TIM akan menayangkan film-film alternatif, mulai dari film pendek, seni, independen, dan film-film asing yang tidak masuk dalam jaringan jalur utama film dunia.

Ketua Dewan Kesenian Jakarta, Ratna Sarumpaet, berhasil "meluluhkan" pihak Cineplex 21 yang menguasai jaringan bioskop 21 sehingga merelakan satu studio TIM digunakan untuk film-film nonkomersial. Awalnya, DKJ mengajak manajemen 21 untuk bertemu, sekitar Mei 2004. Waktu itu, Dewan meminta agar sinepleks di TIM digunakan untuk memutar film-film alternatif. "Tidak ada satu pun pusat seni di dunia ini yang memutar film-film komersial," demikian alasan Ratna. Tapi, permintaan itu ditolak: kerugian pasti terjadi apabila impor film seni hanya diputar di satu gedung saja.

Negosiasi berjalan alot sampai akhirnya keduanya sepakat. Pihak 21 memberikan satu studio untuk digunakan DKJ. Bahkan penguasa jaringan sinepleks itu juga bersedia merenovasi Galeri Cipta III sehingga layak digunakan sebagai lobi teater sinema alternatif, serta membayar biaya operasional Studio 1.

Patut diketahui, akhir 2005 ini, masa sewa Cineplex 21 di TIM habis dan harus diperpanjang untuk lima tahun ke depan. Nah, salah satu syarat perpanjangan hak pakai adalah merelakan satu studio, selama 15 hari setiap bulannya, dipakai untuk memutar film-film alternatif. "Pada paruh kedua setiap bulan, Studio 1 tetap digunakan untuk memutar film jaringan 21," kata Jimmy Herjanto D., Direktur Operasional Cineplex 21.

Apa pun latar belakangnya, kehadiran sinema seni yang dikelola DKJ adalah salah satu jawaban atas sulitnya mengedarkan film-film, baik Indonesia maupun asing, yang tidak diterima atau yang sulit diterima di jejaring Cineplex 21. Perusahaan di bawah kelompok Subentra tersebut memiliki bos seperti Sudwikatmono dan Benny Suherman yang sejak awal 1990-an menguasai impor, distribusi, sekaligus jaringan bioskop.

Nah, melalui Art Cinema, sedikit banyak, kesempatan bersaing dengan film-film arus besar mulai terbuka. Gotot sebagai ujung tombak penanggung jawab Art Cinema, mengajak beberapa kelompok yang selama ini berkutat di dunia film independen, seperti Konfiden, Minikino, Boemboe dan Komunikatif. "Konsorsium inilah yang akan menyeleksi dan mengadakan film-film yang akan diputar di Studio 1," kata Gotot.

Dijamin, pengelola Art Cinema adalah orang-orang melek sinematografi sekaligus punya semangat mengembangkan film-film alternatif. Gotot, misalnya, ikut membesarkan cukup banyak Kine Klub di berbagai daerah di Indonesia. Dia dengan teman-teman membentuk Sinema Jemuran pada 1976, dan pergi ke beberapa daerah di Indonesia, memutar film-film alternatif, hingga akhirnya dilarang Harmoko, Menteri Penerangan, pada 1984.

Sedangkan Lulu Ratna dari Boemboe giat membantu peredaran film-film independen. Dia juga pernah menjadi juri di beberapa festival film independen di negara lain. Pun Budi Iwawski dari Komunikatif mendedikasikan diri pada film-film dokumenter. Serta banyak lagi tenaga muda berbakat yang berjibaku di ajang film-film independen mengabdi untuk Art Cinema.

Jika dibaca di buklet, program pemutaran film-film alternatif sudah tersusun hingga Maret 2006. Juli ini, diputar film-film Rusia seperti Anna Karenina karya Leo Tolstoy dan Brother karya Aleksei Balabanov. Bulan berikutnya, digelar film-film animasi dari berbagai penjuru dunia seperti Swiss, Kroasia, dan Indonesia. Ada juga film-film anak-anak Indonesia, Aborigin dari Australia, film teater, black cinema. Menurut Gotot, sinema alternatif ini sangat terbuka menerima karya-karya lokal, termasuk yang dalam bentuk digital, bukan seluloid. "Film pendek yang berdurasi satu menit juga bisa diputar di sini," katanya.

Sinema alternatif ini pun memiliki aturan sendiri, meskipun berdampingan dengan studio-studio 21 lainnya. Pintu masuk teater tidak sama dengan sinepleks TIM yang lainnya, melainkan melalui Galeri Cipta III, yang biasa digunakan sebagai ruang pameran. Galeri itu disulap menjadi lobi, yang nantinya digunakan untuk melakukan berbagai kegiatan yang relevan dengan pemutaran film, misalnya diskusi. Poster-poster film yang akan ditayangkan di Studio 1 juga dipajang di sepanjang dinding galeri.

Pengelola menjaring penonton melalui keanggotaan Rp 100 ribu per tahun. Para anggota akan mendapatkan buklet acara dan informasi lainnya. Harga karcis Rp 10 ribu untuk setiap pertunjukan. Film diputar tiga kali sehari seperti jadwal normal Cineplex 21. "Meskipun yang menonton hanya dua atau tiga orang, film akan tetap diputar," Gotot menegaskan.

Bisa dilihat, pengetahuan dan semangat menayangkan film-film alternatif tidak diragukan lagi. Namun untuk urusan manajemen, Gotot dan kawan-kawan masih harus diuji. Apalagi, modalnya pas-pasan. Ratna pun mengakui, untuk menjaga kelangsungannya dibutuhkan kerja keras, karena sejak semula semua pihak yang terlibat mengakui, film-film yang diputar di sana bukan film komersial dan tidak diharapkan meraup untung.

Meskipun biaya operasional Studio 1, seperti ongkos listrik, perawatan, dibayar manajemen 21, pengelolaan sinema alternatif menjadi tanggung jawab Dewan Kesenian Jakarta. Setiap bulan, Dewan mengalokasikan Rp 5 juta untuk ongkos sehari-hari seperti pembuatan buklet dan cetak karcis. Pembuat film memperoleh 20 persen dari hasil penjualan tiket. "Kami juga mengharapkan sponsor," kata Gotot.

Keberadaan sinema alternatif di TIM memang untuk mengembalikan fungsi TIM sebagai pusat seni. "Patut kita rayakan," kata Ratna bersemangat. Tapi, pengelolaan Art Cinemasesuatu yang permanen—tetap harus memperhitungkan unsur bisnis. Ini jelas berbeda dengan festival seperti JiFFest atau lainnya yang musiman. Tantangannya satu: mampukah para pejuang film independen menjaga kelangsungan

Bina Bektiati

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus