Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tears of Heaven (From Beirut to Jerusalem) Penulis: Dr Ang Swee Chai Penerjemah: Dina Mardiana Penerbit: Qanita Mizan Tebal: 656 halaman
Musim panas 1982. Ang Swee Chai, dokter asal Singapura, tengah menonton televisi bersama suaminya di flat mungil mereka di London. Keduanya terhenyak menyaksikan -pesawat-pesawat Israel membom-bardir Beirut. Bangunan-bangunan tinggi roboh menimpa anak-anak, wanita, dan orang tua.
Seorang pemimpin Israel kemudian memberi pernyataan. Ia menyesalkan jatuhnya banyak korban sipil. Tapi, kata sang pemimpin itu, untuk membuat telur dadar, cangkang telur ha-rus terlebih dulu dipecah. ”Memecahkan telur?” Dokter Ang mulai geram. ”Apakah orang-orang tak ber-dosa di Libanon itu adalah telur-telur yang harus dipecahkan?”
Hatinya tertohok. Ia pun segera memutuskan berangkat ke Beirut untuk menjadi relawan medis. Tapi ia masih menyimpan rasa takut jika berjumpa dengan pejuang PLO, Organisasi Pembebasan Pa-lestina. Ia masih menyangka merekalah b-iang kela-di serangan Israel. Stigma PLO sebagai teroris masih melekat. Tapi, setiap berjumpa dengan orang Palestina, ia mulai bertanya dalam diri, ”Mengapa mereka ramahramah?”
Sebagai seorang Kristen fundamen-talis, Ang mengaku men-dukung Israel, membenci orang Arab, dan me-mandang PLO sebagai teroris. Keyakinannya perlahan-lahan mulai pucat ketika dokter bedah ortopedi itu mengabdi di Rumah Sakit Gaza. Ia menyaksikan langsung tentara Israel membantai warga Palestina di kamp pengungsi Sabra-Shatila, yang berada di sekitar rumah sakit itu, pada 15-17 September 1982.
Kejadian yang berlangsung di depan matanya ini membuatnya lancar me-nulis. Ia rajin me-ngi-rim surat kepada suami-nya di London. Surat-surat dan kecamuk rasa yang ia a-lami saat menjadi relawan itu kemudian ia terbitkan dalam buku From Beirut to Jerusalem (1989). Penerbit Qanita Mizan meluncurkan edisi terjemahan buku itu—dengan judul Tears of Hea-ven: From Beirut to Jerusalem—dan me-ngundang Ang pekan lalu.
”Aku menyaksikan seorang tua ditembak kepalanya dan ke-dua mata-nya dicungkil,” kata dokter kelahiran Penang, 26 Oktober 1948, itu mengenang kejadian 24 tahun lalu tersebut.
Ia juga menyaksikan Israel menya-lahi gencatan senjata yang telah di-sepakati. Ibu-ibu dan istri pejuang, yang dengan sukarela menyerahkan senjata anak-anak dan suami mereka, pada akhirnya juga dihabisi Is-rael. ”Saya ingin mata publik terbuka, siapa sebenarnya teroris di dunia ini. Bukan Palestina, bukan orang Arab, melainkan Israel yang disokong penuh Amerika,” ujar Ang kepada Tempo.
Sejak tragedi kemanusiaan di S-abra-Shatila itu, Ang tak cuma berubah sikap. Ia bahkan menjadi juru bicara perjuangan Palestina, terutama di lingkungan Kristen. Pada 1987, pemimpin Palestina Yasser Arafat pun memberi penghargaan Star of Palestine.
Ang menuturkan, semula buku-nya itu diterbitkan oleh Harper Collins pada 1989. Tapi buku itu hanya setahun beredar. ”Mereka menyesal mener-bitkan buku saya yang isinya menye-rang Israel,” ucapnya. Peng-hentian per-edaran itu justru menguntungkannya. Tiga tahun kemudian ia menerbitkannya sendiri di Singapura, lalu diikuti penerbit di Prancis, Arab, Malaysia, dan terakhir Indonesia.
Tears of Heaven terbagi dalam lima bab: Perjalanan ke Beirut, Pembantaian Sabra-Shatila, Dari Jerusalem ke Inggris, Kembali ke Beirut, dan Dari Beirut ke Jerusalem. Ang berada di Libanon pada 1982 dan 1985. Ia kemudian menuju ke Yerusalem hingga 1988. Buku ini dituturkan dalam gaya berkisah orang pertama.
Tak tertarik ke Libanon setelah Israel kembali menyerang negeri itu? Ang mengungkapkan, sejak terakhir ke Beirut pada 2003, permohonan visa masuknya ke Libanon dipersulit. ”Entah mengapa. Tapi secara rutin saya masih ke Palestina.”
Istiqomatul Hayati
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo