Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bahasa

Berita Tempo Plus

Pasca

28 Agustus 2006 | 00.00 WIB

Pasca
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kurnia JR

Tanpa adegan tegang ala The Da Vinci Code, novel laris Dan Brown, saya ajak Anda me-nyingkap ”The ’Pasca’ Code” alias misteri pasca.

Kaum linguis menyebutnya pro-leksem. Bentuk terikat ini kerap di-pakai sambil disalahpahami, dan bisa dibi-lang salah satu unsur yang paling berkabut dalam bahasa kita.

Keremang-remangan itu tergambar dari dua kutipan berikut. ”Ada yang menyangka kata pasca berasal dari bahasa asing, maka diucapkan /paska/” (Pikiran Rakyat, 2 April 2005). ”Kupingku terasa gatel jika penyiar televisi yang mengeja: /pascasarjana/ sebagai /paska sarjana/. Mereka pikir pasca adalah serapan dari English” (senarai surat Polisi EYD). Beberapa pekan lalu, pertanyaan tentang proleksem ini masih muncul di ruang diskusi maya Forum Bahasa Media Massa, yang mayoritas anggotanya adalah editor dan akademisi ilmu bahasa.

Bukan hanya cara menulis dan me-ngejanya yang bermasalah. Pada aspek etimologi, ada pengkaji bahasa yang berpendapat bahwa pasca berasal dari bahasa Yunani, yang diserap juga menjadi paskah, sehingga ia menyimpulkan bahwa pasca bisa juga ditulis ”paska”. Padahal, sejak awal abad kelima, menyangkut paskah, kala-ngan Gereja sudah menyanggah hal ini. Dalam himpunan tulisan dan khotbah St. Aurelius Agustinus kepada jemaatnya di Hippo sekitar 416 Masehi, Nicene and Post-Nicene Fathers, Series I, Vol. VII, edisi 1888, ”Tractate LV”, John 13:1–5, dijelaskan secara panjang lebar bahwa pascha tak diambil dari Yunani, melainkan Ibrani. Dalam Yunani, kata pasxhein berarti menderita, akibatnya pascha jadi bermakna penderitaan. Sedangkan dalam Ibrani, pascha berarti melewati (passover)—dalam Latin berpadanan dengan transitus [TRANSEO+ -ITVS] (Oxford Latin Dictionary, 1993).

Apakah itu artinya pendapat sang pengkaji bahasa di atas, bahwa paskah berasal dari bahasa Yunani, se-perti juga pasca, yang dengan begitu boleh dibaca /paska/, keliru? Nya-tanya, dalam Kamus Latin-Indonesia 1969, pascha didefinisikan juga sebagai ”masa sengsara” (Yesus). Perlu saya tambahkan, tentang paskah, tulisan ini tak hendak memasuki kontroversi historis atau teologis yang mungkin ada.

Sementara itu, Kamus Dewan 1991 terbitan Kuala Lumpur membubuhkan akronim ”Id” bagi pasca. Maksudnya, lema itu berasal dari bahasa Indonesia. Sedangkan dalam Kamus Bahasa Melayu Nusantara (Dewan Bahasa dan Pustaka Brunei), seperti juga pada Kamus Besar Bahasa Indonesia, pasca termasuk entri yang tak dilengkapi keterangan etimologis.

Kamus Indonesia-Inggris 1994 (John M. Echols dan Hassan Shadily) mencantumkan pasca dengan dua pela-falan: /paska, pasca/.

Mengapa semua kebingungan itu terjadi? Pangkal soalnya adalah ba-nyak di antara kita tidak tahu persis asal-usul pasca. Ini berakibat kita tak bisa benar-benar yakin bagaimana penulisan dan pelafalannya yang benar.

Nah, dalam Kamus Kata-kata Serap-an Asing dalam Bahasa Indonesia susunan J.S. Badudu (2003), barulah kita dapati keterangan bahwa pasca berasal dari bahasa Sansekerta. Bahkan dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia 1996 (Badudu-Zain) pada lema pasca dibubuhi peringatan yang tak biasa: ”(awas: bukan paska)”. Sayangnya, peringatan yang penting ini tak diindahkan oleh banyak orang—atau, karena sebagian terbesar masyarakat kita tak membaca kamus?

Kita lihat dalam A Sanskrit-English Dictionary buah ketekunan Sir Monier-Williams edisi 1951, pascâ: behind, after, later, westward, in the west—sebagai bentuk terikat dan tak dapat ditasrifkan.

Yang menarik—sekadar catatan—jika kita periksa Old Javanese-English Dictionary karya Zoetmulder bersama S.O. Robson terbitan 1982, di situ ada lema pascat yang berarti lengkap, sempurna, menyeluruh, selesai, setelah. Ada kaitan makna, tetapi tiada landasan untuk menyatakan bahwa pasca dicomot dari pascat (Jawa Kuno), sebab yang satu bentuk ter-ikat, yang lain bentuk bebas. Demi-kian pula pascha (Ibrani) bukanlah bentuk terikat.

Seperti juga maha dan pra (Sansekerta), pasca tak bisa berdiri sen-diri dan pelafalannya sebagaimana yang tertulis, yaitu /pasca/, b-ukan /paska/. Contohnya: pascasarjana, pasca-mo-dernisme, pascaproduksi (pada-n-an bagi kosakata Inggris postgra-du-ate, postmodernism, postproduction), pas-ca-gempa, pascatsunami, pasca-ke-merdekaan, pascakolonialisme, p-asca-1945, pasca-Soeharto, pasca-Orde Baru.

Statusnya sebagai bentuk terikat tak bisa masuk ke dalam komposisi yang seharusnya merupakan frase, misalnya ”pascameletusnya” atau ”pasca-meletusnya” atau ”pasca mele-tusnya”, ”pasca terjadinya bencana”, ”pasca terserang stroke”. Yang tepat untuk itu ialah adverbia setelah, ya-itu ”setelah meletusnya Gunung Me-rapi”, ”setelah lengsernya Soeharto”, ”setelah terjadinya bencana”, ”setelah terserang stroke”.

Kalau masih juga teperdaya ”kode linguistik” yang satu ini, bolehlah dicamkan ucapan Marie Chauval, kurator Rosslyn Trust, kepada Robert Langdon, ”Mungkin kau salah mem-baca artinya.”

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

slot-iklan300x250

PODCAST REKOMENDASI TEMPO

  • Podcast Terkait
  • Podcast Terbaru
close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus