Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TIGA belas tentara mini itu memberi hormat dengan takzim. Semuanya berbaju putih, kecuali sang pemimpin yang dibalut kostum merah. Yang tak lazim: postur mereka tak tegap, tapi miring ke kiri. Pose yang ”formal” itu pun menjelma jadi jenaka. Itulah ”Hormat Bendera”, patung fiber berukuran 14 x 21,5 x 4 sentimeter.
Karya Sigit Santoso, 45 tahun, inilah salah satu yang dipamerkan dalam Common Sense di Galeri Nasional, Jakarta Pusat. Diikuti 40 perupa, acara ini diadakan 16-28 Oktober. Sigit, alumnus Institut Seni Indonesia Yogyakarta, pernah memamerkan karyanya sampai ke Hong Kong dan Shanghai, Cina.
Di tengah-tengah ruangan, ada sesosok tubuh menjuntai. Tunggu. Sulit untuk menyebutnya sebagai ”tubuh” karena ia sudah tak lengkap: kepalanya tiada, badannya pun tercabik-cabik—meski tangan dan kakinya utuh. Patung tembaga ini adalah ”Memorabilia”, karya Ichwan Noor (2008). Dua kali berpameran tunggal, seniman ini pernah menjuarai kompetisi pembuatan monumen ”Kudus Kota Kretek” pada 2005.
Common Sense adalah benang merah dari puluhan karya seni—lukis, patung, dan instalasi—yang dipajang kali ini. Tema ini dipilih untuk menunjukkan bahwa sesuatu yang dianggap common sense sebetulnya tak betul-betul berarti umum. Ia bermakna khusus, bergantung pada pengalaman budaya seseorang. Menurut kuratornya, Rizki A. Zaelani, pameran ini hendak menunjukkan setiap perupa mengekspresikan sikap atau kesadaran budayanya dengan caranya masing-masing.
Itu sebabnya, karya-karya yang diboyong ke Galeri Nasional kali ini sangat beragam—tema ataupun medianya. Selain patung dan lukisan, pameran menampilkan seni instalasi dari bahan aluminium berjudul ”Fanatik. I Love You Too Much”. Dalam bentangan aluminium itu, Entang Wiharso menampilkan aneka sosok yang bisa jadi merupakan sebuah jalinan cerita. Ada tubuh-tubuh lelaki dan perempuan saling berkaitan. Ada yang dalam pose berciuman. Ada sosok setan dengan tanduk dan lidah menjulur. Karya Entang, 42 tahun, sepintas mengingatkan kita akan relief yang terpendam di kaki Borobudur: Karmawibhangga. Alumnus ISI Yogyakarta ini telah menggelar pameran di Singapura, Filipina, Hong Kong, Finlandia, dan Amerika Serikat.
Ada pula lukisan sesosok perempuan berbaju merah, berambut keriting, dan senyum merekah. Di belakangnya tertera deretan tulisan dalam huruf Latin dan aksara Jawa: ”Tut wuri handayani” dan ”Ing ngarso sung tulodo”. Pembuatnya, Suatmadji, memberi judul karya itu: ”Guruku Cantik Sekali”.
Ada gambar Dede Eri Supria berjudul ”Strawberry”. Dalam kanvas yang didominasi warna hijau, Dede menampilkan seorang badut—dengan pupur, hidung bulat berbentuk stroberi, dan kostum meriahnya—tengah merengut. Karya-karya Dede—meski temanya beragam—tetap menampilkan ciri khas yang membedakannya dari pelukis lain.
Tak semua karya yang dipajang di Galeri Nasional buatan terbaru. Ada lukisan dan patung yang pernah dipamerkan sebelumnya, misalnya gambar buatan Galam Zulkifli berjudul ”The Last Suffer”. Lukisan tahun 2002 ”pelesetan” karya legendaris ”The Last Supper” ini sama sekali tak mengandung unsur agamis. Sang seniman malah memburamkan hampir seluruh gambar. Yang dibikin terang hanya beberapa wajah, di antaranya Nelson Mandela, Yasser Arafat, dan Abdurrahman Wahid. Di meja tergeletak berbagai jenis telepon seluler—bukan cawan suci.
Ada pula karya yang nyambung dengan kondisi politik saat ini. Lukisan di dinding berjudul ”Mari Bicara yang Baik-baik Saja” karya Farhan Siki. Perupa 38 tahun ini menorehkan sosok berwajah serigala dengan jas hitam dan dasi putih sedang berorasi. Yang hadir hanya satu: tubuh berkepala buaya dengan jas dan dasi merah. Sindiran yang menggelitik.
Andari Karina Anom
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo