Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Judul Buku: Imagined Persebaya: Persebaya, Bonek, dan Sepakbola Indonesia
Penulis: Oryza Ardyansyah Wirawan
Penerbit : Buku Litera, Yogyakarta
Cetakan Pertama: 2015, xviii+322 halaman
ISBN : 978-6027-636-85-9
Kumpulan artikel dalam buku ini dimaksudkan untuk membuka kembali sejarah Persebaya dan Bonek-entitas suporter tak terlupakan dalam sejarah sepak bola Indonesia. Bagian-bagian dalam buku ini dibagi Orzyza dalam lima bab bertajuk "You Can't Buy History", "Bonek (Bin Chelsea)", "Rivalitas", "Battle of Surabaya", serta "Hikayat Sepakbola Indonesia". Uniknya, di lembar awal masing-masing bab ditandainya dengan lima huruf khusus: B, O, N, E, dan K.
Fajar Junaedi, dosen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta yang melakukan penelitian tentang fan sepak bola di Indonesia, melukiskan dengan tepat dalam pengantarnya: "Buku ini adalah artefak tentang Persebaya, Bonek, dan sepak bola Indonesia. Sejarah sepak bola adalah sejarah Persebaya. Pun demikian, Bonek juga bagian penting dalam sejarah perkembangan sepak bola di Indonesia."
Judul "Imagined Persebaya" dipilih merujuk pada pernyataan peneliti sosial Benedict Anderson bahwa Indonesia merupakan komunitas yang dibayangkan (imagined community). Maka judul buku ini barangkali bermakna bahwa Persebaya adalah lebih dari sebuah klub, tapi imagined community bagi para fannya. Bagi Bonek, kecintaan kepada Persebaya bak api nan tak kunjung padam. Adalah imajinasi yang mempertautkan mereka sebagai saudara, meski tak pernah bertemu atau tak pula berasal dari kota/provinsi yang sama.
Buku ini menulis bahwa sebutan Bonek ternyata bukan hanya untuk mereka yang dilahirkan atau pernah tinggal di Surabaya. Tapi juga menjadi milik penggemar Persebaya di Pasuruan, Jember, dan kota-kota di Jawa Tengah, luar Jawa, hingga mancanegara. Slogan Bonek, "No leader just together" (tiada pemimpin kecuali kebersamaan) dan "Tidak ada Bonek yang paling Bonek", menjadi pemersatu, sekaligus menunjukkan karakter dan sifat egaliter khas budaya Arek.
Tidak hanya berisi opini, buku ini menjadi "basah" karena ada bagiannya yang menampilkan liputan langsung atas sebuah pertandingan. Semisal kisah penulis yang hadir menonton Liga Primer Indonesia saat Persebaya melawan Persija (Juni 2012). Sebuah laga yang berakhir rusuh karena terjadinya bentrokan antara suporter dan polisi. Tulisan ini menunjukkan betapa Bonek tak lagi menjadi momok bagi warga Tambaksari dan sekitarnya. Warung-warung dan pedagang makanan tetap buka meski kerusuhan menjalar ke luar stadion.
Sebagaimana buku ini yang mengutip lagu Working Class Hero-nya John Lennon, Bonek dianggap sebagai representasi kelas pekerja yang butuh hiburan sehabis penat bekerja. Persis seperti penggemar sepak bola di Inggris yang awalnya didominasi buruh kasar di Liverpool dan Manchester. Tak beda dengan penggila klub-klub di Sao Paulo (Brasil), buruh-buruh kereta api di Rusia pendukung Lokomotiv Moscow, dan pendukung ideologis Internazionale di Milan yang berasal dari kaum sayap sosialis anti-kapitalis.
Oryza, jurnalis pemenang penghargaan Prapanca 2010-penghargaan tertinggi untuk jurnalis Jawa Timur-secara umum telah mendokumentasikan sejarah Persebaya dan Bonek lewat bukunya ini. Ia juga merekam keprihatinannya terhadap sepak bola Indonesia.
Bukan tak ada kelemahan tentunya. Ada beberapa kekurangakuratan saat menulis beberapa nama pemain. Misalnya, dalam tulisan "10 Tim Kontroversial dan Tak Disukai di Indonesia", ada nama-nama sebagai berikut: Noach Maryen dan Louis Mahodim. Sebenarnya tak susah untuk mengecek bahwa ejaan nama yang benar ialah Noah Meriem dan Louis Mohidin.
Bagaimanapun, buku ini tetap layak menjadi salah satu referensi dan koleksi terbaik di perpustakaan pribadi para penggemar sepak bola Indonesia. Setidaknya buku ini bisa menjadi salah satu rujukan sejarah bal-balan di negeri ini.
RAK
Antropologi Kuliner Nusantara : Ekonomi, Politik, dan Sejarah di Belakang Bumbu Makanan Nusantara - Seri Buku Tempo
Penulis: Qaris Tajudin dkk
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia
Terbitan: Juli 2015
Tebal: 140 Halaman
Apa makanan khas Indonesia? Jawabannya bisa banyak dan beragam. Makanan Indonesia tidak bisa disederhanakan seperti pasta dan pizza untuk Italia, mi untuk Cina, atau burger untuk Amerika Serikat. Indonesia kaya akan alamnya, budayanya, bahasanya, begitu pun makanannya. Setiap daerah mempunyai khas masing-masing soal makanan atau masakan.
Makanan di Jawa, misalnya, punya khas rasa manis, sedangkan di Minahasa kuat dengan rasa pedas. Sedangkan di Indonesia bagian timur, orang memakai bumbu tak terlalu banyak, beda lagi di daerah Sumatera, hampir setiap masakan memakai banyak bumbu.
Ulasan tentang kuliner Indonesia ini diambil dari majalah Tempo edisi Kuliner. Buku ini seolah mengajak berwisata kuliner, hingga ke jantung belantara di pulau-pulau yang jauh, berinteraksi dengan masyarakat setempat, sampai mengikuti tata cara mereka menikmati hidangan.
The Golden Hearted General: Kisah Pengabdian Mayjen TNI Daniel Ambat, [Jayapura, Tahuna, Kinshasa]
Penulis: Maria Dominique
Penerbit: Bhamana Indonesia Gemilang
Terbitan: 2015
Buku yang mengisahkan tentang Mayjen TNI Daniel Ambat dari kecil hingga menjadi tentara, juga perihal segala penugasan dan pengabdiannya. Cerita tentang Daniel itu didasari penuturan dan kesaksian orang-orang dekatnya dan mereka yang pernah ia pimpin. Daniel, antara lain, pernah menjabat Kepala Staf Daerah Militer XVII Cendrawasih dan Panglima Divisi Infanteri 1/Kostrad.
Salah satunya diceritakan seorang pria Jawa yang mengadu nasib di Papua, bernama Marikim, yang diculik anggota OPM (Organisasi Papua Merdeka). Marikim akhirnya berhasil dibebaskan setelah proses negosiasi Daniel Ambat dengan para tangan kanan pimpinan OPM. Selain menulis tentang Daniel, penulis buku ini pernah meluncurkan buku Ancaman di Batas Negeri, buku tentang nilai heroisme Batalion Tengkorak dalam menjaga perbatasan tanah Indonesia.DANNI/PDAT
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo