Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Memahami Islam dengan Filsafat

Melalui pendekatan filsafat, penulis buku ini menyampaikan temuan dari epistemologi para pemikir muslim yang memiliki pengaruh pada karya-karyanya.

18 Juli 2020 | 00.00 WIB

Memahami Islam dengan Filsafat
Perbesar
Memahami Islam dengan Filsafat

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Taufik Kustiawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Sejarah kemajuan Islam pada masa Dinasti Abbasiyah menandai keterlibatan ilmu filsafat dalam membangun peradaban umat Islam. Peristiwa ini berlangsung pada 813-833 M ketika khalifah Al-Ma’mun berhasil membangun gedung “Bait al-Hikmah (Rumah Kebijaksanaan)”. Gedung akademis itu berguna sebagai ruang untuk mempelajari ilmu pengetahuan (filsafat) yang sedang berkembang.

Kesadaran umat Islam menerjemahkan kitab-kitab filsafat dari Yunani membawa pengaruh terhadap perkembangan ilmu sosial, mantik, sains, astronomi, matematika, geografis, dan lain-lain. Di zaman keemasan, tradisi menerjemahkan kitab filsafat mengubah paradigma dan nalar umat Islam untuk lebih mengedepankan kemajuan ilmu-ilmu sosial, astronomi, dan teknologi.
 

Namun kegemilangan dari hasil karya pemikir muslim itu malah menjadi perseturuan (konflik) yang menegangkan di kalangan umat Islam. Sebelum bangsa Arab mengenal filsafat, pada mulanya mereka tidak menaruh perhatian terhadap ilmu filsafat yang berkembang dari bangsa Mesir Kuno, Yunani, Babilonia, Persia, dan India. Hanya segelintir pemikir muslim, seperti Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Sina, Ibnu Bajah, Ibnu Thufail, dan Ibnu Rusyd. Mereka mengawali langkah pembaruan dengan memunculkan beragam epistemologi untuk memadukan filsafat dan Islam.

Sejarah berkembangnya filsafat dari pemikir muslim sering mendapat penolakan atau kecaman dari sejumlah ulama yang memiliki pandangan sangat ortodoks. Para ulama tersebut juga memvonis bahwa filsafat merupakan ilmu yang dapat memproduksi pemikiran seseorang menjadi kufur. Landasan dan sikap otoritarianisme itu membuat sejumlah ulama (konservatif) mengharamkan filsafat untuk dipelajari dan dikonsumsi muslim.

Asumsi atau pandangan ulama konservatif terhadap problem teologis sering mengandalkan pesan tekstual (Al-Quran) secara tersirat sebagai sumber primer untuk menyelesaikan persoalan umat. Cara pandang demikian sampai sekarang hampir tidak mengalami perubahan meski situasi dunia telah berubah.

Pendekatan teologis, jika hanya disandarkan pada teks tanpa didukung pola berpikir (logika) yang konstruktif, akan menimbulkan problematis atas tafsir yang dihasilkan. Meski penafsiran tersebut merupakan sebuah ijtihad, kita patut mempertimbangkan dampak dari tafsir-tafsir yang dijadikan fatwa dan doktrin sebagai dasar pedoman beragama. Problematika inilah yang sedang dikritisi oleh Aksin Wijaya dalam buku Ragam Jalan Memahami Islam (2019).

Memahami Islam bukan sekadar menonton atau mendengarkan para ustad menyampaikan dakwah di televisi ataupun media sosial, tapi juga perlu mendalaminya dengan mencari epistemologi-kebenaran dari data sejarah atas dukungan akal dan nalar yang kita miliki. Melalui pendekatan filsafat, Aksin mencoba menyampaikan temuan-temuan dari epistemologi para pemikir muslim yang memiliki pengaruh pada karya-karyanya.  

Kerangka epistemologi sebelum mencapai titik kebenaran harus melewati rasa keraguan. Seperti pernah disampaikan Al-Ghazali, “Keraguanlah yang dapat menyampaikan kebenaran. Seseorang yang tidak meragukan, berarti dia tidak bernalar. Seseorang yang tidak dapat melihat, dia akan tetap dalam kebutaan dan kesesatan” (hlm. 33).  

Ungkapan tersebut memperjelas betapa pentingnya memadukan akal pikiran dan teks (literal-kitab suci) sebagai langkah menemukan kebenaran aksiomatik. Keraguan itu mencoba menuntun kita untuk berusaha mempelajari ilmu secara mendalam dengan cara tidak tergesa-gesa. Sebab, epistemologi-keraguan bertujuan untuk menemukan kebenaran yang meyakinkan, bukan kebenaran yang ditampilkan secara (visual), melainkan kebenaran yang substansial.

Epistemologi bekerja sebagai perangkat metodologis dalam memberikan kesinambungan kegiatan ilmiah terhadap segala bidang ilmu pengetahuan, termasuk bidang teologis. Pemahaman Aksin pada epistemologi ini tidak serta-merta mengacu pada satu pandangan, melainkan beragam pandangan dari hasil telaah pemikir muslim; baik ulama klasik maupun kontemporer.

Kita dapat menyebut beberapa pemikir muslim yang berhasil memadukan filsafat dan agama sebagai jawaban sekaligus langkah pembaruan memahami Islam. Aksin memberikan pertanyaan kritis dan penting, terutama pada umat Islam masa kini. Apakah agama Islam harus tetap sebagaimana adanya pada masa Rasul ataukah ia harus berkembang mengikuti gerak sejarah manusia?

Pertanyaan inilah yang kemudian akan menentukan kesadaran umat untuk perlunya kembali mempelajari filsafat. Sebab, para pemikir Islam, seperti Al-Ghazali, Ibnu Rusyd, Abdul Karim Soroush, Muhammad Iqbal, Muhammad Said al-Ashmawi, Fazlur Rahman, dan Khaled M. Abou el-Fadl, menggunakan epistemologi serta hermeneutika untuk menelaah teks-literal supaya dapat memunculkan tafsir-tafsir sebagai jawaban atas problem teologis yang sedang berkembang.

Wajar ketika Abdul Karim Soroush menerangkan epistemologi-agama di dunia Islam modern. Tentu supaya kita semakin paham dalam membedakan pengertian agama dan pengetahuan keagamaan yang sering disalahgunakan. Soroush mengatakan bahwa agama yang datangnya dari Tuhan itu bersifat absolut, autentik, universal, dan tidak mengalami perubahan.

Sedangkan pengetahuan keagamaan lebih bersifat relatif, partikular, dan mengalami perubahan. Sebab, pengetahuan keagamaan merupakan tafsir atas pemikiran seseorang terhadap agama. Perbedaan pengertian yang menonjol tersebut sering disalahpahami demi kepentingan kelompok tertentu untuk menyamakan tafsir yang dihasilkan sebagai fatwa atau doktrin agama. Fatwa dan doktrin tersebut acap kali berkembang, tapi tidak disandarkan pada logika secara mendalam sehingga dapat berujung pada cacat pengetahuan.  

Kehadiran buku Aksin menjawab problem teologis masa kini melalui telaah pemikiran para filsuf muslim. Hal itu demi meluruskan tindakan semena-mena para ulama atau dai baru yang gampang memberikan tuduhan sesat tatkala seseorang mempelajari filsafat untuk kebutuhan umat.

Usaha para pemikir muslim bertahun-tahun mendalami ilmu filsafat hanya untuk mengembangkan khazanah kebudayaan tafsir Al-Qur’an. Tafsir-tafsir yang dihasilkan bukan semata-mata untuk kepentingan kelompok ataupun individu, melainkan mencari kebenaran serta jawaban atas problem agama dan perubahan sosial yang terjadi pada masa kini.    


Judul Buku      : Ragam Jalan Memahami Islam

Penulis             : Aksin Wijaya

Penerbit           : IRCiSoD

Tebal Buku      : 404 halaman

Cetakan            : Desember, 2019

ISBN                  : 978-623-737-814-3

 

                

               

                    

 

 

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus