BIASANYA musik klasik yang di tampilkan di TIM, kalau bukan
piano, gitar atau orkes gesek. Kali ini, 9 dan 10 Januari,
rombongan Inggeris yang dilepaskan TIM berkat kerjasama dengan
Kedutaan Inggeris di Jakarta, berujud ansambel musik tiup yang
dipimpin Philip Jones (57 tahun).
'The Philips Jones Brass Ensemble' terdiri dari 5 orang pemain,
dikunjungi penonton dalam jumlah lumayan. Mereka tampil rapi,
sopan, sedikit aristokratik. Celana hitam, jas krem dengan
kemeja biru muda, pakai dasi kupu-kupu hitam. Mereka membetulkan
letak kipas angin lebih dahulu sebelum main. Sementara itu
peralatan yang berwarna keemas-emasan tampak berkilat-kilat.
Maklum mereknya Bacb, buatan Amerika, harganya sekitar Rp 2
juta.
Ansambel tiup yang membuka lembaran 1979 di TIM ini direkam
tahun 1951. "Grup kami merupakan pionir di London dalam musik
kamar," kata John Fletcher (37 tahun, pemegang tuba). Mereka
misalnya telah membuat 20 piringan hitam. "Biasanya kami main
dengan 10 orang, tapi kali ini karena faktor biaya kami hanya
bisa hadir dalam kuintet," kata John yang juga anggota 'London
Symphony Orchestra'.
Pertunjukan terasa agak tegang -- karena sikap formil dan
aristokrat itu - meskipun difahami bila mereka menyelesaikan
nomor demi nomor dengan rapi. Malam pertama misalnya mereka
menampilkan Renaissance Suite, kumpulan beberapa ciptaan abad
pertengahan, termasuk Quintet in Db Mayor Op 7 dari Victor Ewald
(1860-1935, murid Tchaikovsky). "Ciptaan untuk musik tiup untuk
orkes kecil memang sedikit, dan kami banyak memainkan karya
Rusia," kata mereka sebelum bermain. Lepas masa jedah
ditampilkan Music Hall Joseph Horovitz dan Battle Suite Samuel
Scheidt.
Pada bagian akhir, kerjasama kelompok dan interaksi dengan lagu
terasa benar dalam harmoni, meski permainan nada-nada tinggi
seperti tiupan double staccato rasanya kurang keluar. Boleh jadi
karena persiapan kurang, atau karena kondisi gedung.
"Kita hanya berlatih sama-sama selama 2 bulan, itu pun tidak
tiap hari," kata John kepada Bachrun Suwatdi dari TEMPO. Meski
begitu jarak antara mereka dengan penonton, yang agak mengganggu
sebelum masa jedah, berhasil mereka timbun sesudah itu dengan
usaha mencairkan suasana lewat sedikit bumbu humor. Penonton
mulai menyambut lebih hangat.
Suara Ayam
Malam penampilan rasanya baru memperoleh arti justru pada
buntutnya. Ketika nomor-nomor resmi sudah rampung, kelima
sekawan meninggalkan panggung dengan anggun. Sebagaimana biasa
penonton keplok seru. Lalu mereka muncul kembali. Lebih segar,
lebih berdarah, lebih terasa sebagai manusia. Mengapa?
Pada babak tambahan itu tidak ada usaha menunjukkan keahlian.
Yang ada usaha komunikasi. Terdengar Le Petit Negre karya
Debussy-Emmerson -- nomor yang kaya dengan permainan solo yang
saling menyambut. Tepuk tangan tak henti-hentinya melihat
sesuatu yang hidup di panggung. Tak heran kalau kemudian disusul
dengan The Entertainet Joplin Iveson.
Dalam satu tendangan, lima sekawan keningrat-ningratan itu
tiba-tiba jadi intim. Mereka melompat ke irama jazz dengan gaya
swing dan rag-time. Penampilan mereka mempersembahkan beberapa
improvisasi yang membuat penonton lega. Apalagi sempat
dilemparkan Hiplips karya Lesue Pearson dan The Cuckoo, sebuah
lagu rakyat Swiss. Di sini tidak hanya tiupan mereka memukau,
atau keterampilan teknis. Dengan gerakan lucu mereka
mengeksploatir instrumen tidak sebagai alat tiup semata. Pemain
trombon betot (John Iveson, 34 tahun) atau tuba (John Fletcher)
mengetok-ngetok mouth piece. Diikuti peniup terompet (James
Watson 27 dan Philips Jones sendiri) yang menyemarakkan irama
dengan caracas. Sementara pemain horn (Ivor James, 47) membuat
suara ayam dengan kedua belah tangan.
Penonton disuguhi sesuatu yang mereka kenal. Nah, tidak sempat
dikorek apa kata Philips Jones, melihat sambutan pembeli karcis
itu. Mereka boleh bilang apresiasi musik di Jakarta memang
berbeda dengan di London. Tetapi publik memang selalu ingin
mendengar musik yang mereka sukai -- walaupun apresiasi selalu
bisa diperluas bidangnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini