Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Buntut yang sedap

Ansemble musik tiup dari inggris yang berjumlah 5 orang tampil di tim. acara tambahan setelah nomor resmi, memikat penonton karena apresiasi musiknya yang penuh improvisasi.(ms)

20 Januari 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BIASANYA musik klasik yang di tampilkan di TIM, kalau bukan piano, gitar atau orkes gesek. Kali ini, 9 dan 10 Januari, rombongan Inggeris yang dilepaskan TIM berkat kerjasama dengan Kedutaan Inggeris di Jakarta, berujud ansambel musik tiup yang dipimpin Philip Jones (57 tahun). 'The Philips Jones Brass Ensemble' terdiri dari 5 orang pemain, dikunjungi penonton dalam jumlah lumayan. Mereka tampil rapi, sopan, sedikit aristokratik. Celana hitam, jas krem dengan kemeja biru muda, pakai dasi kupu-kupu hitam. Mereka membetulkan letak kipas angin lebih dahulu sebelum main. Sementara itu peralatan yang berwarna keemas-emasan tampak berkilat-kilat. Maklum mereknya Bacb, buatan Amerika, harganya sekitar Rp 2 juta. Ansambel tiup yang membuka lembaran 1979 di TIM ini direkam tahun 1951. "Grup kami merupakan pionir di London dalam musik kamar," kata John Fletcher (37 tahun, pemegang tuba). Mereka misalnya telah membuat 20 piringan hitam. "Biasanya kami main dengan 10 orang, tapi kali ini karena faktor biaya kami hanya bisa hadir dalam kuintet," kata John yang juga anggota 'London Symphony Orchestra'. Pertunjukan terasa agak tegang -- karena sikap formil dan aristokrat itu - meskipun difahami bila mereka menyelesaikan nomor demi nomor dengan rapi. Malam pertama misalnya mereka menampilkan Renaissance Suite, kumpulan beberapa ciptaan abad pertengahan, termasuk Quintet in Db Mayor Op 7 dari Victor Ewald (1860-1935, murid Tchaikovsky). "Ciptaan untuk musik tiup untuk orkes kecil memang sedikit, dan kami banyak memainkan karya Rusia," kata mereka sebelum bermain. Lepas masa jedah ditampilkan Music Hall Joseph Horovitz dan Battle Suite Samuel Scheidt. Pada bagian akhir, kerjasama kelompok dan interaksi dengan lagu terasa benar dalam harmoni, meski permainan nada-nada tinggi seperti tiupan double staccato rasanya kurang keluar. Boleh jadi karena persiapan kurang, atau karena kondisi gedung. "Kita hanya berlatih sama-sama selama 2 bulan, itu pun tidak tiap hari," kata John kepada Bachrun Suwatdi dari TEMPO. Meski begitu jarak antara mereka dengan penonton, yang agak mengganggu sebelum masa jedah, berhasil mereka timbun sesudah itu dengan usaha mencairkan suasana lewat sedikit bumbu humor. Penonton mulai menyambut lebih hangat. Suara Ayam Malam penampilan rasanya baru memperoleh arti justru pada buntutnya. Ketika nomor-nomor resmi sudah rampung, kelima sekawan meninggalkan panggung dengan anggun. Sebagaimana biasa penonton keplok seru. Lalu mereka muncul kembali. Lebih segar, lebih berdarah, lebih terasa sebagai manusia. Mengapa? Pada babak tambahan itu tidak ada usaha menunjukkan keahlian. Yang ada usaha komunikasi. Terdengar Le Petit Negre karya Debussy-Emmerson -- nomor yang kaya dengan permainan solo yang saling menyambut. Tepuk tangan tak henti-hentinya melihat sesuatu yang hidup di panggung. Tak heran kalau kemudian disusul dengan The Entertainet Joplin Iveson. Dalam satu tendangan, lima sekawan keningrat-ningratan itu tiba-tiba jadi intim. Mereka melompat ke irama jazz dengan gaya swing dan rag-time. Penampilan mereka mempersembahkan beberapa improvisasi yang membuat penonton lega. Apalagi sempat dilemparkan Hiplips karya Lesue Pearson dan The Cuckoo, sebuah lagu rakyat Swiss. Di sini tidak hanya tiupan mereka memukau, atau keterampilan teknis. Dengan gerakan lucu mereka mengeksploatir instrumen tidak sebagai alat tiup semata. Pemain trombon betot (John Iveson, 34 tahun) atau tuba (John Fletcher) mengetok-ngetok mouth piece. Diikuti peniup terompet (James Watson 27 dan Philips Jones sendiri) yang menyemarakkan irama dengan caracas. Sementara pemain horn (Ivor James, 47) membuat suara ayam dengan kedua belah tangan. Penonton disuguhi sesuatu yang mereka kenal. Nah, tidak sempat dikorek apa kata Philips Jones, melihat sambutan pembeli karcis itu. Mereka boleh bilang apresiasi musik di Jakarta memang berbeda dengan di London. Tetapi publik memang selalu ingin mendengar musik yang mereka sukai -- walaupun apresiasi selalu bisa diperluas bidangnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus