DOLOROSA menemukan gerak. Bukan gerak sebagai gerak misalnya pada kinetic art, melainkan gerak sebagai bahasa. Dan bahasa itu ia sampaikan lewat tubuh, tubuh perempuan. Sebagian besar dari 48 karya dalam pameran tunggal pertama pematung ini, di Galeri Nasional, Jakarta, sampai 31 Oktober, berupa figur perempuan yang menggeliat melawan, memprotes, berteriak, mengaduh, bertahan… dan sebagainya.
Karya pertama begitu penonton memasuki ruang pameran terdiri atas lima figur terjongkok, sementara di belakang sesosok figur mendongak. Si pendongak itu merengkuh empat figur, sedangkan satu figur lagi menempelkan kepalanya ke lengan kanan si pendongak.
Ada gerak di situ, terbentuk oleh lengan yang merengkuh, tubuh yang membungkuk, dan kepala yang mendongak. Wajah si pendongak terkesan lebam, dengan mata yang masuk ke dalam, dan mulut menganga membentuk sebuah "o" yang tak sepenuhnya bulat.
Keseluruhan patung berjudul Antikekerasan (1999) ini mengesankan sesuatu yang jauh dari rasa senang. Geliat dan posisi keenam figur mengekspresikan perlawanan, protes, bisa juga ketakberdayaan. Kepedihan makin terjelaskan oleh figur di tengah yang terjongkok: kedua lengannya melengkung ke dada, mendekap sesosok orok.
Karya ini bukan yang terbaik, tapi rasanya mengandung semua unsur gerak, posisi, dan ekspresi yang menandai karya-karya Dolorosa Sinaga, terutama karya figur berkelompok. Adalah gerak kesakitan (meminjam istilah I. Wibowo, salah seorang yang menulis di katalogus), adalah geliat kepedihan. Lihatlah itu dalam Resistant (1996), Mengapa Kauculik Anak Kami (2001), I Don't Want to Bargain with You Anymore (1999), atau pada patung dengan banyak figur: Gerak Berlawan (2001) dan The Grief (2000).
Ekspresi itu dicapai Dolo dengan cara "menyederhanakan" bentuk. Figur dipiuhkan (didistorsi) tanpa otot, bentuk plastis keseluruhan badan direduksi, bahkan jari kaki dan tangan boleh dikata diabaikan. Juga wajah; hanya seceruk lubang sebagai penanda mata. Tapi wajah inilah ibarat juru bicara seluruh tubuh yang menggeliat itu. Mulut yang melongo itu seperti berteriak, mengaduh, melolong, menggumam—menyuarakan gerakan atau posisi tubuh yang sakit itu.
Yang kemudian dicapai, perempuan bukan lagi mewakili sesosok bentuk, melainkan sebuah gagasan, sebuah ide. Penanggalan "aksesori-aksesori" (otot, plastisitas, dan lain-lainnya) tak memberi penonton kesempatan beranjak dari keseluruhan ke bagian-bagian. Detail bukan saja tidak penting, tapi Dolo memang sengaja menghilangkannya.
Pemiuhan bentuk sudah lama dilakukan Dolo. Salah satu hasil terjauh dan terbaik sampai kini adalah Torso karya tahun 1998. Karya ini hampir sebuah patung abstrak atau nonfiguratif. Bentuk figur benar-benar di-luluhkan, hanya ada bidang tak beraturan berombak. Asosiasi masih dimungkinkan; bentuk bidang berombak itu kira-kira sebuah tubuh yang berlenggok.
Tapi tak ada kelanjutan dari Torso. Ada sesuatu yang kemudian "membelokkan" jalur pemiuhan bentuk itu, hingga, misalnya, pematung ini tak menciptakan patung nonfiguratif. Bisa jadi munculnya gagasan "perempuan" membuat Dolo kembali memerlukan bentuk figur. Lebih dari itu, bisa jadi Dolo memang sengaja memilih perempuan sepenuhnya sebagai tema pokok (subject matter).
"Pertemuan"-nya dengan karya-karya berbau realisme sosialis Käthe Kollwitz tampaknya yang memunculkan ide perempuan dan penderitaan. Dan semua itu sesungguhnya sudah terjadi dalam diri pematung ini ketika ia berada dalam lingkungan orang yang terpinggirkan karena ideologinya dianggap berbeda dengan ideologi arus besar (baca: pemerintah). Sebelum bertemu dengan karya-karya Kollwitz, penggrafis dan pematung Jerman yang dibenci Nazi, Dolo sudah akrab dengan Pramoedya Ananta Toer, sastrawan yang belasan tahun mendekam di Pulau Buru sebagai tahanan politik.
Di paruh kedua 1990-an, perhatian Dolo kepada mereka yang dikalahkan, mereka yang terus berjuang merebut hak-hak asasi mereka, semakin konkret. Bahkan rumahnya dijadikan salah satu markas tim relawan setelah kerusuhan berbau rasial di Jakarta pada pertengahan Mei 1998.
Sebuah tema besar belum tentu melahirkan karya besar. Keberpihakan seniman pada perjuangan membuka risiko karyanya menjadi slogan. Dolo, terlihat dari pameran ini, terselamatkan dari dua masalah itu. Ia tak hanya menggarap tema, dan tak jatuh membuat slogan.
Karya-karyanya memang mengandung unsur-unsur yang biasanya terlihat pada patung berbau realisme sosialis. Tangan yang mengacung dan jari-jari yang tergenggam. Wajah yang berteriak pantang menyerah. Bentuk-bentuk grotesque yang tidak "indah".
Tapi Dolo tak kehilangan sensualitas. Tanpa Judul (perunggu, 1997), figur yang mendekam, kaki terlipat ke dada, punggung agak melengkung, sulit dikatakan tidak sensual. Juga Dolo tak meninggalkan hal-hal yang jauh dari berteriak, tapi sekadar berbisik liris. Lihat Penari Selendang I (2001). Komposisi figur dengan selendang yang gemulai membentuk huruf "S" mengingatkan pada karya Dolo awal 1990-an. Itulah ketika ia menggarap gerak penari menjadi teme-tema karyanya. Puncaknya, menurut saya, adalah Penari Bedoyo (1994). Patung ini (tak disertakan dalam pameran tunggalnya kini) seperti meringkas seluruh gerak tari bedaya dalam satu bentuk: tangan kiri penari yang merentang ke samping menjinjing kain, tangan kanannya lurus ke bawah bak tangan pada wayang kulit, lalu keseluruhan sosok itu, terasa merekam seluruh gerak.
Juga perempuan yang suka bergurau ini tak kehilangan humornya. Dalai Lama (2001) duduk di kursi, tercenung; kepalanya miring ditopang tangan kanannya, yang bertumpu pada sandaran kursi. Ada suasana santai dan lucu. Juga karya ini menunjukkan pematungnya menguasai anatomi dengan pas. Itu sebabnya pemiuhan yang dilakukan Dolo terasa wajar, bukan karena ia tak menguasai teknik.
Tiga hal yang masih ada dalam diri Dolo menyelamatkan karya-karyanya hingga tak menjadi slogan. Dan pilihannya pada perempuan sebagai ide memang pas. Nasib perempuan, di mana pun, menjadi semacam barometer: adakah dalam satu lingkungan, satu bangsa, kemanusiaan ditegakkan. Karena itu, mengekspresikan penderitaan, kepedihan, ketertindasan, dan sejenisnya lewat tubuh perempuan adalah pilihan yang kreatif.
Bambang Bujono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini