Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Jenaka dalam Kemalangan

Cerita-cerita dalam buku ini menghadirkan kemalangan orang-orang biasa dengan cara yang jenaka.

8 Agustus 2020 | 00.00 WIB

Sampul buku Kisah-kisah Perdagangan Paling Gemilang karya Ben Sohib. Dok. Banana
Perbesar
Sampul buku Kisah-kisah Perdagangan Paling Gemilang karya Ben Sohib. Dok. Banana

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Muhammad Khambali

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

penulis dan pengajar, tinggal di Jakarta.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

 

Judul buku      : Kisah-kisah Perdagangan Paling Gemilang

Penulis             : Ben Sohib

Penerbit           : Banana

Cetakan           : 2020

Tebal               : 128 hlm.

Nasrul Marhaban dikenal jarang pergi ke masjid. Tapi, setelah kematiannya, namanya sering disebut oleh seorang khatib masjid di Kampung Melayu Pulo. Ia mati dan dikenang sebagai orang yang memilih kehilangan nyawanya ketimbang melihat kitab suci miliknya lenyap ditelan banjir. Tidak ada yang tahu, kecuali istrinya, bahwa sebenarnya ia mati tenggelam lantaran ingin menyelamatkan uangnya yang ia simpan di lembar-lembar halaman Al-Quran.

Cerita malang sekaligus jenaka karya Ben Sohib itu diberi judul Bagaimana Nasrul Marhaban Mati dan Dikenang. Cerpen tersebut dan sepuluh cerita lainnya termuat dalam buku Kisah-kisah Perdagangan Paling Gemilang (2020). Ben Sohib memang dikenal sebagai penulis yang gemar menggarap cerita dengan selipan humor di sana-sini. Novelnya, The Da Peci Code (2006), memakai formula serupa.

Lewat teknik bercerita yang menarik, dalam buku ini kita akan menjumpai tokoh lain serupa Nasrul Marhaban, dengan nasib yang kurang begitu mujur. Misalnya Dulah, yang berkali-kali terjebak muslihat dari perempuan yang dicintainya. Ben piawai mempermainkan nasib para tokoh dalam tulisan-tulisannya. Alih-alih menerbitkan rasa iba atau kasihan, kita justru dibawa untuk menertawakan mereka.

Sebagian besar cerpen Ben Sohib berlatar belakang Jakarta, dengan penyebutan lokasi atau nama-nama tempat yang tidak asing, seperti Kampung Melayu, Otista, dan Kebon Nanas. Tokoh-tokohnya kebanyakan orang-orang biasa, sehingga membuat kita gampang terhubung dengan mereka. Kita akan merasa bahwa tokoh-tokoh tersebut para tetangga kita di gang-gang sempit di Jakarta.  

Dalam cerpen berjudul Burung Nasar dan Kutukan Korban Kesembilan, misalnya, kita disuguhi tokoh Hisyam, yang barangkali ada di kehidupan nyata. Mereka adalah orang-orang yang memancing di air keruh, mengambil untung di atas duka orang lain, walau mungkin dalam cerpen itu tidak sepenuhnya begitu.

Hisyam terpaksa berlaku culas lantaran kepepet utang. Kisah ini seperti banyak kita jumpai dalam kehidupan nyata. Misalnya ada orang mencuri jemuran atau yang terbaru ada seorang ayah mencuri ponsel demi anaknya bisa belajar daring. Sekalipun tetap tidak dapat dibenarkan, kita dapat memahami bahwa setiap laku jahat sering kali motifnya tidak sepenuhnya hitam dan putih.

Tampaknya Ben Sohib memiliki kepekaan yang subtil dalam melihat fenomena semacam itu, dan menggalinya dengan menciptakan cerita-cerita ajaib. Ia tidak mengajak pembacanya untuk marah-marah atau membenci orang-orang seperti Hisyam.

Ben Sohib selalu jenaka, dengan sisipan “pesan moral” tanpa mesti tergelincir untuk berceramah dalam cerpennya. Kita hanya akan diajak untuk tak bisa tidak tertawa ketika Hisyam seperti kualat telah menggunakan agama demi keuntungan dirinya. Ia pun termakan oleh sumpah Al-Quran-nya.

Seperti dalam novelnya, Ben Sohib cenderung memberi semacam sentilan halus terhadap perkara kehidupan beragama dalam beberapa cerpennya. Ditambah tokoh-tokoh cerpennya yang kebanyakan keturunan Arab Betawi, atau paling tidak orang-orang yang tampak alim dan taat beribadah.

Dalam hal ini, cerpen Haji Syiah tampaknya paling kuat dan mewakili “suara” yang ingin didengungkan Ben. Tabiat baik atau buruk tidak selalu tecermin dari gelar dan embel-embel agama yang dimiliki seseorang. Cerpen Haji Syiah berlatar Kampung Melayu Pulo, yang disebut dipenuhi oleh haji dan pemabuk sekaligus.

Ia dikenal sebagai Haji Syiah bukanlah karena pengikut mazhab syiah, melainkan lantaran demen aje memasang poster bergambar Ayatullah Khomeini di dinding rumahnya. Cerita lalu bergulir pada bagaimana Haji Syiah bisa dekat dengan dua pemuda pemabuk bernama Faruk dan Ketel, yang sering membuat perkara. Haji Syiah dan istrinya tidak memiliki anak. Mereka pun seperti melihat bayang-bayang anak lelaki impiannya pada kedua pemuda itu.

Terbitlah di hati Haji Syiah rasa kasih sayang orang tua terhadap anaknya. Dengan cara halus, Haji Syiah berhasil menarik kedua pemuda itu dari kubangan khamr. Hidayah pun datang. Faruk dan Ketel pamit dan kabarnya nyantri di pondok pesantren di Pandeglang. Haji Syiah, yang gembira mendengar berita itu, dibikin patah hati ketika akhirnya bertemu dengan mereka. Sikap mereka berubah terhadapnya.  

Ben menutup buku ini dengan cerpen Kisah-kisah Perdagangan Paling Gemilang. Cerpen yang menjadi judul buku itu berisi empat cerita, yang tentu saja kisah-kisah di dalamnya tidaklah gemilang. Dengan banyak eksplorasi teknik bercerita, Ben Sohib cukup usil dalam menggarap setiap narasi.

Tragedi dan komedi dibenturkan. Kejahilan dan keluguan dihadirkan bersamaan. Hasilnya, setiap membaca cerpen-cerpen Ben Sohib, kita hanya perlu mengikuti kemalangan tokoh-tokohnya, dan tahu bahwa kita akan dibawa ke sebuah tikungan cerita yang jenaka. **

 

 

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus