Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Kesaksian Seorang Penulis pada Hari Liburnya

Benarkah waktu itu si dosen sedang berupaya membunuh kekasihnya?

8 September 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ilustrasi: Tempo/Alvin Siregar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

AKU tidak membawa kacamataku, jadi aku tidak bisa melihat dengan jelas apa yang terjadi di hadapanku. Ada jarak kira-kira lima puluh meter dari tempat aku duduk dengan tempat si dosen dan kekasihnya berenang bersama. Benarkah waktu itu si dosen sedang berupaya membunuh kekasihnya? Apakah ketika si dosen berdiri di cekungan laut itu lalu kedua tangannya berada di atas kepala si perempuan, itulah saat-saat ia berusaha menenggelamkan kekasihnya?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Aku malah mengira mereka sedang berbuat sesuatu yang cabul. Ya betul-betul cabul. Si dosen berdiri di sana hanya mengenakan celana kolor hitam. Sementara tubuh si perempuan masih sepenuhnya berada dalam air. Perempuan itu lalu merapatkan dirinya ke kaki si dosen, hingga kepalanya... maaf mengucapkan ini, sejajar dengan kemaluan si dosen.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tubuh si dosen bergoyang ke kanan dan ke kiri, kedua tangannya berada di atas kepala perempuan. Kepala perempuan itu pun ikut bergerak ke kanan dan ke kiri berupaya tetap sejajar dengan kemaluan si dosen. Gerakan mereka saling beriringan. Selama beberapa menit mereka terus melakukan gerakan itu. Apakah si perempuan sedang melakukan sesuatu menggunakan mulutnya pada kemaluan si dosen? Aku tak tahu pasti. Perempuan itu membelakangiku.

Dan sudah kukatakan pula, aku tidak membawa kacamataku sehingga sulit melihat dengan jelas. Mataku ini betul-betul rabun akibat terlalu banyak membaca sejak kecil. Meski aku berada di lokasi kejadian, perkara si dosen menutupi percobaan pembunuhan kekasihnya dengan kegiatan berenang bersama tak bisa kusimpulkan dengan pasti.

Andai waktu itu aku tak lupa membawa kacamataku, barangkali aku punya kesempatan untuk berbuat sesuatu demi menyelamatkan perempuan itu. Tapi setelah saya pikir lagi, si dosen memang tahu rencananya akan berhasil. Ia tahu tak ada yang menyaksikan kejahatannya, sebab satu-satunya pengunjung lain di pantai itu adalah aku, penulis yang sedang menikmati hari liburnya, yang lupa membawa kacamata sehingga tak dapat menyaksikan jelas peristiwa genting yang sedang berlangsung tak jauh dari tempat duduk bersantai.

Begitulah kesaksian yang kuberikan atas peristiwa pembunuhan berencana si dosen. Aku tak menyangka laporan menghilangnya kekasih si dosen bergayung-sambut dengan terkuaknya fakta baru tentang ditemukannya potongan-potongan tubuh manusia dalam toples-toples spesimen biota laut yang ada di rumah si dosen.

Dosen itu seorang lelaki berusia empat puluh tahun yang mengampu mata kuliah biologi perikanan. Aku kerap melihatnya memasukkan toples-toples kosong ke dalam mobilnya ketika ia akan pergi ke kampus tempatnya mengajar, lalu kembali ke rumah dengan toples-toples yang sudah berisi awetan biota laut.

Aku pernah berpapasan dengannya saat aku pulang membawa belanjaan dari supermarket. Ia sedang mengeluarkan toples-toples dari mobilnya. Dalam toples itu kulihat ada cumi, gurita, lobster, sotong, ikan kerapu, semuanya terendam dalam larutan berwarna kuning kental. Mungkin larutan itu formalin yang digunakan untuk mengawetkan biota-biota tersebut. Aku menyapanya, mengatakan ia terlihat sibuk sekali. Lalu ia membalas dengan senyuman hangat sambil menunjuk toples-toples berisi awetan biota laut yang disiapkannya untuk praktikum di kampus.

Tak ada lagi interaksi lebih. Sisanya selalu berupa ucapan basa-basi. Setiap kali melihat sorot matanya yang simpatik, kadang-kadang terlintas dalam benakku, ia sepertinya bisa menjadi kawan mengobrol yang menyenangkan. Tetapi kami sama-sama dua orang yang sangat sibuk dengan pekerjaan masing-masing sehingga tak memiliki banyak waktu untuk melanjutkan sapaan sepintas lalu itu menjadi percakapan yang lebih panjang.

Meski begitu, satu-satunya yang kupikir tetap menghubungkanku dengan si dosen adalah keberadaan koran yang tersampir di gerbang rumahnya. Dosen itu berlangganan koran. Aku suka menebak waktu dari ada atau tidaknya koran pagi pada gerbang rumahnya. Aku melakukannya selama aku mengurung diri di rumah untuk menyelesaikan novelku yang cukup tebal. Setiap hari aku menghabiskan waktu empat sampai lima jam untuk menulis.

Sesudah menulis aku meregangkan tubuhku lalu jatuh tertidur selama berjam-jam. Ketika aku terbangun, hari hampir gelap. Cahaya redup yang masuk ke kamar membuatku menerka-nerka apakah hari sudah sore atau pagi. Sepintas warna langit yang terlihat dari jendela mirip seperti langit subuh sekaligus langit senja. Jarum jam dinding menunjuk angka enam. Apakah itu pukul enam pagi atau enam sore?

Aku baru mengetahuinya ketika beranjak ke balkon dan melihat ke bawah ada koran edisi pagi yang tersampir di gerbang rumah si dosen. Tahulah aku bahwa hari memang sudah pagi. Pada saat itu aku melihat si dosen sudah berpakaian rapi. Dalam pelukannya, toples-toples berisi awetan biota laut yang akan dibawanya ke kampus. Siapa yang bakal mengira kalau ternyata di dalam toples-toples itulah ia menyimpan potongan-potongan tubuh kekasihnya. Waktu itu tentu tak ada yang mengira sebab perempuan tersebut masih tinggal di rumah si dosen.

Bila aku terbangun lalu memandang dari balkon dan tak menemukan koran yang tersampir di gerbang, tahulah aku hari sudah sore. Lalu malam perlahan-lahan turun. Aku tak langsung beranjak dari balkon, melainkan duduk melamun di sana, memandang ke arah gerbang rumah si dosen.

Biasanya satu jam kemudian, tampaklah si dosen bersama kekasihnya sedang bersiap-siap untuk pergi makan malam. Bau parfum mereka tercium sampai ke balkon. Melihat tawa mereka saat itu sulit kubayangkan dalam beberapa minggu kemudian si dosen menenggelamkan kekasihnya, memotong-motong tubuh perempuan itu, lalu memasukkan potongan-potongan tubuh itu ke dalam toples-toples biota lautnya.

Menebak waktu dari koran yang tersampir di gerbang rumah si dosen, melihat si dosen bersiap-siap pergi ke kampus sambil membawa toples-toples berisi biota laut, menyaksikan si dosen dan kekasihnya keluar rumah untuk pergi makan malam, adalah serangkaian pengisi jeda yang bisa kulakukan dari atas balkon di tengah kesibukanku menyelesaikan novel. Bisa kukatakan itulah yang menjadi hiburanku. Aku tak punya banyak waktu untuk bersantai. Tenggat waktu kompetisi penulisan novel sudah semakin dekat. Sementara novel yang kuselesaikan harus berjumlah minimal empat puluh ribu kata.

Aku bekerja dengan sangat keras demi mencapai target. Hadiah yang disediakan kompetisi menulis tahun ini cukup besar, masing-masing lima puluh juta untuk lima orang pemenang. Jumlah hadiah yang kupikir dapat menjadi motivasi terkuat bagi penulis untuk menanggulangi ketidakjelasan nasib ekonominya di negeri yang pemerintahnya tak begitu peduli akan kesejahteraan penulis. Aku benar-benar menggantungkan harapanku pada kompetisi menulis kali ini sebab aku harus membantu ibuku melunasi utang pembayaran sewa rumah sejak ayah tak pernah pulang lagi untuk memberi nafkah keluarga kami.

Bab novelku sudah tiba pada bagian yang menceritakan tentang seseorang yang kehilangan bayangannya. Ia seorang lelaki berusia tiga puluh tahun yang menginginkan bayangannya kembali. Ia sudah mencari bayangannya ke mana-mana. Ia ingin minta maaf kepada bayangannya karena telah mencampakkan bayangannya begitu saja. Tetapi semua itu tak lantas menemui jalan mudah sebab ia dan bayangannya tak lagi memiliki paham yang sama. Bayangannya pun bukanlah sosok yang menerima begitu saja setelah merasa dikhianati.

“Aku merasa telah melakukan kesalahan yang besar. Tak seharusnya aku mencampakkan kamu. Mulanya aku pikir dengan melepas bayangan, aku bisa lebih berdaulat menentukan pilihanku sendiri. Memang aku bisa keluar dari diriku yang lama, memilih jalan yang selama ini kupikir takkan pernah kutempuh.

Tapi ternyata pilihanku kali ini membawaku pada bencana. Aku merasa kini sudah berubah menjadi seseorang yang tak kukenal. Iblis berumur dua puluh ribu tahun itu pun tak bisa memberiku jawaban yang pasti ketika aku bertanya siapakah diriku sebenarnya? Apakah pikiran yang kugunakan saat ini berasal dari diriku yang sesungguhnya?” Itulah ucapan yang disampaikan lelaki berusia tiga puluh tahun itu di hadapan bayangannya ketika mereka bertemu kembali.

“Mengapa baru sekarang kau menyatakan penyesalanmu? Semua sudah terlambat. Kau tidak bisa mengambilku kembali. Kini aku adalah sosok yang terpisah darimu,” jawab bayangan tanpa memedulikan nada penyesalan dalam kalimat yang diucapkan lelaki itu.

“Tidak bisa! Aku ingin mengambilmu kembali. Sebab kau adalah diriku yang lama. Aku ingin menjadi diriku yang dulu lagi.”

“Aku sudah menjadi bayangan yang merdeka. Bukan lagi bayangan dirimu. Bukan bayangan siapa-siapa. Aku adalah masa lalu. Lagipula mengapa kau yakin dirimu yang sekarang bukanlah dirimu yang sesungguhnya? Kau sudah melewati banyak hal. Kau sudah berubah. Sekalipun pilihan yang kaugunakan kini membawamu pada bencana, tetap saja itulah hasil dari perubahan yang terjadi pada dirimu sekarang.”

Lelaki itu putus asa mendengar penolakan bayangannya. Selama-lamanya ia tak akan pernah bisa menyatu kembali bersama bayangannya sebab mereka dua sosok yang tak lagi sepaham.

Aku berpikir apakah aku harus membuang bab tentang bayangan itu dari novelku, sebab kurasa narasinya tak berjalan sesuai rencanaku. Aku menginginkan bayangan itu sebagai simbol dari pikiran. Kehilangan bayangan berarti kehilangan pikiran. Artinya sang tokoh tak bisa lagi memiliki pikiran yang berdaulat. Segala hal yang terjadi pada dirinya ditentukan dari kekuasaan luar. Tetapi ketika kutulis, semua yang kurencanakan berjalan tak sesuai bagan awal. Bayangan yang kutulis di sini menjadi sekadar dari “diri yang lain” dari diri sang tokoh utama.

Selama beberapa hari setelah menyelesaikan bab tentang tokoh yang kehilangan bayangannya, aku tak bisa melanjutkan novelku. Pikiranku tersumbat. Alirannya betul-betul macet seperti selokan yang dipenuhi sampah. Aku melihat kalender. Masih tersisa tiga minggu lagi menuju tenggat waktu pengumpulan naskah novel kompetisi. Aku menimbang-nimbang perlukah aku melakukan sesuatu yang berbeda sebelum kembali melanjutkan penulisan novelku? Tak ada jalan keluar selain berlibur.

Seharusnya hari liburanku baru tiba setelah semua pekerjaan ini selesai. Tapi kali ini dengan terpaksa aku memajukan hari liburku. Aku membayangkan mencium harum garam, ombak yang membentur tebing, biru laut yang bersinar di bawah terpaan sinar matahari. Aku memutuskan menghabiskan hari liburku di pantai. Ada pantai yang letaknya tak jauh dari tempat tinggalku. Dibutuhkan waktu tiga puluh menit menuju pantai itu.

Aku tak punya rencana yang pasti tentang liburan sehingga ketika aku tiba di pantai, aku melakukan hal biasa yang dilakukan penulis, yaitu membaca buku. Aku lupa membawa kacamataku. Tapi ini pun tak menjadi masalah, sebab aku membaca buku di alam terbuka dengan bantuan sinar matahari yang sangat cerah.

Tentu saja karena ini adalah hari libur yang mendadak, segala hal menjadi tak terduga. Begitu pula ketika aku melihat si dosen bersama kekasihnya berada di tempat favoritku, sebuah cekungan yang dibatasi patahan-patahan tebing. Patahan tebing itu menjadi pembatas alami cekungan itu dengan laut lepas. Cekungan itu menampung air laut yang membentur tebing. Membuatnya tampak seperti kolam alami.

Sudah lama aku tak mengunjungi cekungan itu, sehingga ketika aku melihat si dosen bersama kekasihnya sedang berenang bersama di sana, hal itu mengejutkanku. Rupanya ada juga yang mengetahui cekungan tersembunyi ini.

Aku pun tak menyangka bahwa apa yang kusaksikan di cekungan itu di kemudian hari akan menjadi pernyataan kesaksian yang kusampaikan di hadapan ahli hukum:

Ketika dosen itu menggendong kekasihnya dengan langkah terburu-buru, aku langsung bertanya, “Apa yang terjadi?” Dosen itu menjawab, “Dia pingsan. Ini latihan berenang pertamanya. Dia tidak kuat. Saya akan membawanya ke rumah sakit.”

Aku tak bertanya lebih lanjut. Saat itu yang aku pikirkan sebatas, “Akhirnya cekungan ini menjadi milik aku sepenuhnya. Aku bisa berlibur dengan tenang.”

Tentu aku sedikit heran mengapa perempuan itu tiba-tiba pingsan. Rasanya mereka baru saja melakukan perbuatan tak senonoh di hadapan penulis yang matanya rabun parah. Atau ternyata yang aku kira perbuatan cabul itu sebenarnya adalah tindakan si dosen membenamkan kepala perempuan itu ke dalam air hingga perempuan itu kehabisan napas? Aku tak tahu mana yang pasti sebab aku tak membawa kacamataku. Apa yang kulihat saat itu betul-betul kabur.

Beberapa minggu kemudian terdapat pengumuman bahwa perempuan itu hilang. Lalu yang juga mengejutkan aku, tak berselang lama setelah itu terkuak fakta penemuan potongan-potongan mayat perempuan itu dalam toples-toples biota laut milik si dosen.

Seusai mendengarkan kesaksianku, tibalah kini dosen itu yang mendapat giliran berbicara. Tetapi apa yang ia bicarakan tak begitu jelas. Suaranya seperti tak diberi jalan mulus untuk melewati mulutnya.

“Bayangan...” kata si dosen.

Ahli-ahli hukum yang berada di ruangan itu terdiam bersama seakan-akan sedang menahan napas menunggu apa yang selanjutnya diucapkan si dosen.

“Bukan saya yang melakukan perbuatan itu. Bayangan sayalah yang melakukannya. Saya sudah lama berpisah dengan bayangan saya. Perbuatan keji itu dilakukan olehnya. Mestinya kalian menangkap bayangan saya. Cari dia ke seluruh penjuru kota. Tangkap dia sekarang juga!”

Dosen itu lalu tertawa terbahak-bahak. Ia tertawa tak henti-hentinya. Orang-orang di ruangan itu sepakat menyatakan bahwa dosen itu benar-benar gila.


Mataram, 14 – 17 Juni 2024

Iin Farliani, penulis fiksi pendek, puisi, esai, dan novel. Buku kumpulan cerpen terbarunya berjudul Mei Salon (Mizan Pustaka, 2024).

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Iin Farliani

Iin Farliani

Iin Farliani adalah penulis fiksi pendek, puisi, esai, dan novel. Bergiat di Komunitas Akarpohon.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus