Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
AACH... AKU JATUH CINTA
Sutradara: Garin Nugroho
Skenario: Garin Nugroho
Pemain: Pevita Pearce, Chicco Jerikho
Produksi: MVP Pictures
Setiap kali sutradara Garin Nugroho berbicara tentang cinta, dia merasa harus menggunakan puisi. Mungkin karena itulah puisi dianggap sebagai alat untuk menggerakkan hati perempuan. Film debut Garin Nugroho yang mengejutkan dunia perfilman Indonesia, yang di ambang kerontokan saat itu, Cinta dalam Sepotong Roti (1991), menggunakan serangkaian puisi Sapardi Djoko Damono, yang tak hanya puitik melalui teks, tapi juga melalui gambar. Melalui film pertamanya itu, Garin memperlihatkan sensualitas bisa lahir dengan adegan subtil dan puitis, yang sekaligus berkisah tentang emosi para tokohnya.
Dalam film terbarunya, Aach... Aku Jatuh Cinta, Garin mencoba bermain-main dengan nostalgia. "Film cinta yang lebay (berlebihan—Red)," demikian kata Garin. Maka, dengan judul yang dibuat "remaja", meski tak konsisten dengan ejaan antara "Aach" dan "jatuh cinta", Garin kemudian mencoba menceburkan penonton pada suasana dagelan cinta remaja.
Sejak dulu saya menganggap genre tersulit dalam film adalah komedi, karena urat lucu setiap orang sangat berbeda. Jika urat lucu Garin pada awal film ini belum tentu sinkron dengan urat lucu (sebagian) penonton, karena "toilet-joke"—alias humor yang melibatkan kotoran manusia secara visual—bukan humor yang menarik sama sekali. Bahwa Garin memulai menit-menit pertama dengan humor ini adalah sebuah keputusan yang fatal, karena daya tarik babak-babak berikutnya menjadi terlempar jauh ke sungai.
Tapi, demi Garin Nugroho, kita "black-out" adegan itu dari pikiran dan jiwa, dan memulai kenikmatan dari plot khas Romeo and Juliet yang dibuat "melayu", Indonesia pada 1970-an dengan nama-nama seperti Rumi (Chicco Jerikho), putra pengusaha limun—minuman sari buah yang populer pada 1970-an—yang mengagumi penyair sufi Persia, Jalaluddin Rumi. Lalu ada Yulia (Pevita Pearce), putri dari perkawinan campur. Ayah lelaki Belanda, ibu Jawa, dan anak Indo cantik dengan suara serak basah mendayu. Sejak kecil, keduanya lebih sering bertengkar untuk persoalan remeh-temeh. Rumi anak lelaki iseng yang tak tahu paham hatinya sendiri selain selalu jail kepada perempuan yang disukainya: menggodanya, mencabut behanya, mencibirnya hanya karena dia mengenakan gincu. Perempuan itu, Yulia, tentu saja cemberut, merengek, mendayu. Seluruh dunia tahu mereka saling menyukai. Hanya mereka yang tidak tahu, atau berpura-pura.
Mungkin Garin mempunyai obsesi dengan film musikal sehingga tokoh-tokohnya selalu saja menyanyi atau menari. Sejauh ini yang paling berhasil adalah film Opera Jawa, yang pernah dipilih sebagai Film Pilihan Tempo pada 2006.
Dalam film ini, tentu saja Garin ingin jenaka. Rumi dan Yulia adalah perwakilan remaja 1970-an. Rumi mengenakan cutbray, berminyak rambut, dan berlagak seperti Elvis Melayu mengutip ayat-ayat Jalaluddin Rumi di atas tumpukan jerami tebu. Lantas Yulia akan menjawab dengan air mata berlinang-linang: "Rumi, kenapa kau selalu memperlakukan aku seperti ini...?"
Lebay? Tentu. Memang itu tujuan Garin. Ia ingin menampilkan bagaimana cinta dan asmara bisa sekaligus menjadi serangkaian kekonyolan yang sebetulnya terjadi pada kita semua—meski tak ingin kita akui. Air mata, sama-sama mengutip puisi, sama-sama jengkel diselingi oleh beberapa adegan tragis sekaligus lucu. Ada saat-saat ketika Garin mengetukkan jari pada notasi yang tepat, misalnya adegan ibu Yulia yang menjadi tukang jahit dan didatangi oleh lelaki—sang ibu masih muda dan cantik—atau ayah Yulia yang dengan enteng mengepak, meninggalkan istri dengan kalimat yang kurang ajar: "Zaman sudah berubah. It's over now. Daaag...," lantas adegan-adegan sentimental saat sang ibu berjualan setup jambu. Tapi ada pula saat Garin meletakkan semua penjelasan pada klimaks cerita (ibu Yulia yang berpanjang-panjang menceritakan latar belakang perkawinannya dengan sang suami Belanda) atau Rumi di antara reruntuhan candi yang berpanjang-panjang menjelaskan mengapa dia tak kunjung berani menyatakan cinta. Pokoknya, dari serangkaian gambar menarik—meski tak semua konsisten dengan setting 1970-an itu—tiba-tiba ada saat tokoh-tokohnya disuruh banyak berbicara.
Bahwa Garin kemudian menggunakan beberapa adegan panggung dan teater di mana Rumi bersembunyi sebagai pembisik dialog, itu adalah kelebihan Garin yang selalu bisa mengaburkan batas realita dan imaji. Tapi, ketika Garin mencoba memasukkan persoalan sosial-politik, terasa para tokohnya dipaksakan untuk terjun ke dunia realitas.
Chicco Jerikho dan Pevita Pearce tampil pas. Yang menjadi problem adalah ibu Yulia (Annisa Hertami), betapapun dia mengenakan kebaya dan berkonde, tetap terlihat sama usianya dengan anaknya (Pevita Pearce).
Tapi pelajaran terbaru penonton film Garin: saat ada cinta dalam Garin, apa saja bisa terjadi dalam film-filmnya. Sebagai penontonnya sejak film pertama Garin, saya merindukan karya-karyanya yang melibatkan persoalan sosial, seperti Daun di Atas Bantal (1998) dan Rindu Kami PadaMu (2004), karena dalam film-film ini kekenesan Garin menguap.
Leila S. Chudori
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo