Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MACBETH
Sutradara: Justin Kurzel
Skenario: Jacob Koskoff, Michael Lesslie, Todd Louiso
Berdasarkan drama karya William Shakespeare
Pemain: Michael Fassbender, Marion Cotillard , David Thewlis
Para sineas dan sutradara teater paham tentang satu hal: pada dasarnya menampilkan karya William Shakespeare adalah persoalan tafsir. Macbeth adalah tragedi karya Shakespeare yang paling sering ditafsirkan dalam berbagai bentuk, rupa, bahasa, dan setting.
Dalam tafsir sutradara Justin Kurzel, naskah Macbeth sudah terlalu legendaris, terlalu gigantik. Maka menerjemahkannya dengan kemegahan adalah sesuatu yang klise. Bagaimana seorang sutradara masa kini bisa menandingi tafsir Akira Kurosawa terhadap Macbeth ke dunia Jepang Abad Tengah menjadi Throne of Blood (1957) yang magis sekaligus megah itu? Bagaimana bisa seorang sutradara masa kini melahirkan adegan-adegan Kurosawa yang tak terlupakan, misalnya saat Lady Asaji tampak santun duduk di belakang Taketoki Washizu (Toshiro Mifune), komandan samurai yang berambisi menjadi raja setelah mendengar ramalan tukang tenung itu? Meski Lady Asaji "hanyalah istri", ternyata kata-kata mampu menjadi kekuatan dahsyat yang mempercepat gerak Washizu untuk membunuh pimpinan.
Bagaimana pula penonton bisa melupakan tafsir Roman Polanski yang kontroversial, seperti adegan Lady Macbeth yang dikejar perasaan bersalah yang kemudian ditemukan berjalan dan bergumam dalam keadaan telanjang; atau adegan-adegan kekejian penuh darah pada akhir film ketika Macbeth berakhir di ujung pedang Macduff?
Sutradara Australia, Justin Kurzel, paham, tak mungkin dia mengambil jalan yang megah, kolosal, dan gigantik untuk memperkaya tafsir yang sudah dilakukan maestro semacam Akira Kurosawa dan sineas Roman Polanski. Kurzel memilih kesederhanaan. Setting tetap Skotlandia yang dirundung kegelisahan takhta. Raja Duncan (David Thewlis) terkesan oleh kemenangan demi kemenangan pertempuran yang dipimpin Macbeth (Michael Fassbender). Dia tentu saja mengganjarnya dengan kenaikan pangkat. Namun Raja mengumumkan bahwa takhtanya kelak diberikan kepada Malcolm. Rasa gusar dan cemburu menyembur. Harus diingat, sebelum pengumuman Raja, Macbeth dihadang empat tukang tenung—tiga dewasa dan satu anak—di antara kepungan kabut dan sinar mata yang menyorotkan masa depan Macbeth. Lady Macbeth (Marion Cotillard) yang jelita tapi penuh kuasa itu menyitir suaminya, dengan seks, dengan kata-kata yang sensual sekaligus mengikat Macbeth pada sebuah obsesi: Raja Duncan harus mati. Pisau itu, tak seperti dalam teks asli yang digambarkan melayang-layang menghampiri Macbeth (dengan kalimat terkenal "Is this a dagger which I see before me/Thehandletoward my hand? Come, let meclutch thee), kini diubah dengan tafsir baru. Kini Kurzel menyajikan sebuah imaji serdadu anak, hantu dari peperangan, yang menyodorkan pisau itu. Serdadu anak itulah yang seolah-olah mengajak Macbeth menuju kemah sang Raja. Duncan dibunuh dengan brutal hingga peraduan sang Raja bermandikan darah.
Sejak awal film, Kurzel bermain dengan dua hal: pertama dengan tafsir; kedua dengan visualisasi. Pada beberapa detik pertama film, Kurzel menampilkan sosok pemakaman jenazah bayi dari pasangan Macbeth dan Lady Macbeth. Pada naskah asli, pasangan ini tak memiliki anak. Kurzel ingin memberi sebuah konteks awal mengapa pasangan Macbeth begitu pahit pada hidup, begitu pahit pada keberhasilan orang lain. Anak-anak dalam film Kurzel menjadi sangat sentral. Bukan saja jenazahnya menjadi pembukaan film, tetapi tiga tukang tenung juga melibatkan seorang anak; dan hantu serdadu yang membawa pisau pun adalah hantu anak. Saat Macbeth mulai masuk pada kegilaan dengan membunuh semua orang yang dianggap sebagai ancaman, dia tak lagi membunuh musuh politik. Dia bahkan menikmati kejar-mengejar dengan anak dan istri Macduff di tengah hutan rimba penuh kabut yang diakhiri dengan mengikat mereka di tengah lapangan.
Kurzel tampak berambisi memperlihatkan Macbeth sebagai film yang berbicara melalui visual. Maka, bagi pencinta Shakespeare, ini menjadi tak mudah untuk diterima karena teks Shakespeare adalah mahkota dari karyanya. Kurzel hanya mengambil beberapa kalimat penting dalam naskah Macbeth, seperti ucapan Lady Macbeth yang mencoba membujuk Macbeth untuk tampil ke pesta dengan tenang dan jangan terganggu oleh imaji-imaji mereka yang sudah mati: "Gentle my lord, sleek o'er your rugged looks/ Be bright and jovial among your guests tonight."
Selebihnya, Kurzel menyederhanakan teks Shakespeare menjadi kalimat yang lebih "modern" dan sebagian yang lain divisualkan dalam gambar yang sunyi. Layar diperlakukan seperti sebuah kanvas luas tak bertepi yang dilukis dengan warna hitam, putih, dan warna kabut yang kelabu merubung pepohonan, bukit, permakaman, dan puri. Bahkan, pada adegan peperangan, Kurzel memanfaatkan adegan slow motion untuk memperlihatkan detail lumpur, darah, dan keringat serdadu dewasa dan anak yang bertempur tanpa ampun. Peperangan jelas diatur dengan koreografi, tapi Kurzel tidak bertujuan membuat kekerasan menjadi sebuah glorifikasi atau keindahan visual. Kurzel bersikap antikekerasan dan manusia cenderung akan terus-menerus merancang balas dendam sepanjang hidupnya.
Sementara pada banyak tafsir Macbeth karakter itu cenderung ditampilkan dari seorang kesatria yang sangat ambisius menjadi lelaki yang penuh keluh-kesah dan paranoid, aktor Michael Fassbender membuat penerjemahan yang berbeda. Dari Macbeth yang ambisius menjadi semakin serakah dan sangat yakin akan takdirnya sebagai raja. Begitu yakinnya dia hingga pembunuhan terhadap perempuan dan anak-anak dijustifikasi sebagai bagian dari garis tangan.
Tokoh Lady Macbeth dalam film ini adalah salah satu tafsir yang terbaik selain Lady Asaji versi Akira Kurosawa. Api yang membara membakar semangat sang suami untuk merebut takhta bercampur dengan dinginnya es saat ia mulai kecewa melihat labilnya sang suami.
Macbeth dari Kurzel menitikberatkan pada sebuah lingkaran pembalasan generasi mendatang, pada anak-anak dan bayi yang absen dalam teks asli Shakespeare. Akhir film ini, seperti juga awal dan bagian tengah, sekali lagi memperlihatkan putra kecil Banquo yang mengangkat pedang Macbeth dan berlari menuju rimba yang dipenuhi kabut. Meski Macbeth sudah tewas di tangan Macduff, kita tak tahu takhta Malcolm akan aman selamanya.
Leila S. Chudori
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo