Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saat ekonomi bergerak lamban, buruh selalu jadi korban. Pekerja di sejumlah industri mulai dirumahkan. Pemerintah perlu mencegah agar tak terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran.
Rasionalisasi mulai dilakukan oleh perusahaan seperti PT Ford Motor Indonesia, PT Panasonic Lighting, PT Toshiba Consumer Products Indonesia, dan PT Chevron Pacific Indonesia. Menurut data Kementerian Tenaga Kerja, jumlah karyawan yang terkena PHK sejak Januari lalu sekitar 1.300 di DKI Jakarta, Kalimantan Selatan, dan Sulawesi Selatan.
Pemecatan buruh merupakan isu supersensitif bagi pemerintah. Pemerintah Joko Widodo tentu tak mau dicap gagal menyediakan lapangan kerja untuk rakyatnya—meski faktanya bisa jadi demikian. Apalagi bila isu PHK massal dikaitkan dengan janji semasa kampanye pemilihan presiden serta peluang mempertahankan kekuasaan.
Ketimbang sibuk membantah soal kemungkinan PHK massal, pemerintah semestinya lebih serius mengantisipasinya. Tanpa PHK massal sekalipun, angka pengangguran terbuka terus meningkat. Badan Pusat Statistik melaporkan, sampai Agustus 2015, dari 122,38 juta angkatan kerja, 7,56 juta orang menganggur. Jumlah ini bertambah 320 ribu orang dibanding periode yang sama tahun sebelumnya. Adapun angkatan kerja yang termasuk kategori setengah menganggur sekitar 9,74 juta orang.
Ekonomi Indonesia pada 2015 hanya tumbuh 4,79 persen, melambat bila dibanding tahun 2014 sebesar 5,02 persen. Inilah yang perlu diperhatikan. Tanpa pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, ancaman PHK akan terus membayangi. Pemerintah semestinya menjadikan pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi (5,04 persen) pada triwulan IV tahun lalu sebagai momentum untuk menggerakkan perekonomian tahun ini.
Pemerintah Jokowi selama ini juga belum membuat kebijakan yang jelas, terutama menyangkut nasib buruh dan pengusaha. Sepaket dengan Kebijakan Ekonomi IV, pada Oktober lalu, Presiden Jokowi memang telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan. Namun banyak pengusaha menilai paket itu belum membantu mereka bangkit dari kelesuan. Sebaliknya, kaum buruh menganggap aturan tersebut mengorbankan hak mereka untuk memperoleh upah layak.
Kebijakan perburuhan seharusnya jauh dari bias politik. Jangan demi popularitas, pemerintah memilih kebijakan pro-buruh yang memperburuk iklim usaha. Tidak pula sebaliknya: untuk melindungi pengusaha, pemerintah menindas kaum pekerja. Tantangan bagi pemerintah adalah bagaimana mendorong kebangkitan dunia usaha sekaligus melindungi para pekerja.
Pemerintah semestinya lebih berfokus memberantas penyebab ekonomi biaya tinggi. Itu musuh bersama pengusaha dan pekerja. Selama ini, pengusaha terus mengeluhkan maraknya pungutan liar, dari tahap perizinan, produksi, sampai distribusi. Biaya siluman pun telah menggerus keuntungan perusahaan, yang seharusnya bisa dipakai untuk menyejahterakan karyawan. Dibanding pemicu ekonomi biaya tinggi lainnya, aneka pungli sebetulnya lebih mudah dikikis. Yang diperlukan hanyalah ketegasan.
Pada masa sulit, pemerintah seyogianya mengalah. Pemerintah perlu mengerem nafsu menaikkan pajak dan berbagai tarif lain agar tak terlalu membebani pengusaha. Pada saat yang sama, perlu konsistensi pemerintah untuk mempermudah izin investasi, akses atas bahan baku produksi, serta jaringan distribusi. Bila langkah cerdas tak dilakukan, situasi ekonomi bisa memburuk dan ancaman pemecatan massal bisa menjadi kenyataan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo