Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Macbeth dalam Berbagai Jubah

Tragedi Macbeth adalah salah satu naskah William Shakespeare yang paling banyak diadaptasi di atas panggung dan layar lebar. Sebuah cerita yang memukau karena dorongan haus kekuasaan antara pasangan Macbeth dan istrinya yang tak kunjung usang. Kini muncul tafsir baru dari sutradara Justin Kurzel tentang jatuh-bangunnya kesatria Skotlandia itu. Bagaimana tafsir Justin Kurzel dibanding tafsir terhadap Macbeth sebelumnya?

15 Februari 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Akira Kurosawa pernah membawa kita ke Jepang Abad Tengah dan menamakannya Kumonosu-jô (Throne of Blood), sedangkan Roman Polanski mengangkatnya menjadi The Tragedy of Macbeth (1971), yang penuh dengan adegan brutal dan kontroversi. Mereka yang menyaksikan karya Shakespeare dalam bentuk apa pun bukan ingin mengetahui plot, karena jalan cerita dasar pasti akan dipenuhi, tapi akan menarik bagaimana sang sutradara menerjemahkannya sesuai dengan setting, negara, dan bahasa yang dipilih.

Dalam film Macbeth karya sutradara Justin Kurzel, yang kini bisa disaksikan di bioskop Indonesia, tafsir visualnya sungguh menarik.

Dalam satu adegan klimaks, Macbeth (Michael Fassbender) digambarkan menatap langit-langit kamarnya. Tetesan air dari hujan badai pada malam gelap itu merembes mengalir jatuh membasahi tangannya yang merah bernoda darah. Macbeth baru saja membunuh Duncan, Raja Skotlandia. Kejahatan pertama yang dilakukan kesatria tangguh dalam mewujudkan ambisinya menjadi raja. Sambil menggosok tangannya dengan air, Lady Macbeth (Marion Cotillard) masuk ke kamar itu. Dia baru saja meletakkan dua belati yang membunuh raja di tangan para penjaga yang tertidur pulas. Tangan perempuan itu juga penuh darah. Pasangan suami-istri itu menggosok tangan mereka di bawah tetesan air, menghapus jejak darah. "My hands are of your colour; but I shame. To wear a heart so white," perempuan itu berbisik.

Film yang masuk nominasi peraih Palme d'Or dalam Festival Film Cannes 2015 ini sepanjang film mengutamakan sinematografi yang lebih kelam tentang kesatria yang tenggelam dalam kubang terburuk manusia.

Lakon Macbeth diciptakan lebih dari 500 tahun lampau, berkisah tentang kejatuhan seorang kesatria terhormat karena ambisinya terhadap kekuasaan. William Shakespeare menafsirkan tokoh sejarah "Raja Macbeth dari Skotlandia" yang ditulis oleh Raphael Holinshed dan filsuf Hector Boece sebagai inspirasi untuk kisah tragedi Macbeth. Karena ini naskah drama, tentu saja Macbeth karya Shakespeare bukanlah potret orisinal sang tokoh nyata dalam sejarah.

Tragedi Macbeth merupakan salah satu dari 10 tragedi William Shakespeare paling terkenal sepanjang masa. Macbeth adalah karakter yang ambisius, manipulatif, dan terserang paranoia karena obsesi kekuasaannya. Macbeth yang ambisius berpegang pada ramalan tiga tukang tenung sebagai justifikasi untuk membunuh hingga akhirnya dia berhasil duduk di takhta kerajaan. Sekalipun sudah menjadi raja, dia terus-menerus merasa harus melenyapkan ancaman yang diperkirakan bisa merenggutnya. Moral politik naskah Shakespeare: mereka yang memperoleh kekuasaan dengan cara curang dan keji akan dijungkalkan dengan cara yang sama, bahkan lebih keji.

Karya Shakespeare yang diadaptasi ke atas layar lebar bisa ditelusuri hingga era film bisu Amerika Serikat pada 1906. Salah satu film Macbeth tertua yang ditemukan Tempo adalah film hitam-putih produksi Amerika Serikat pada 1948 karya Orson Welles. Istana Macbeth dalam imajinasi Welles dibangun layaknya gua dalam bukit karang. Pemeran pria dalam film ini menggunakan kostum motif tartan khas Skotlandia, sedangkan Lady Macbeth mengenakan gaun Abad Tengah beserta penutup kepala.

Dalam adaptasinya, agaknya Orson Welles ingin menampilkan benturan agama baru, yaitu Kristen, dengan agama pagan Druid. Agama baru diwakili oleh karakter pendeta Kristen, yang tidak ada dalam naskah asli Shakespeare. Sedangkan agama pagan Druid diwakili melalui tiga tukang tenung tua yang meramalkan hal-hal yang kelak menjadi ambisi Macbeth.

Macbeth, seperti banyak tragedi William Shakespeare lainnya, tak bisa dilepaskan dari elemen supernatural. Dalam Hamlet, misalnya, si tokoh utama kerap melihat hantu ayahnya sepanjang lakon. Ramalan menjadi plot tersendiri dalam Richard III. Dalam Macbeth, ramalan, hantu, dan elemen supernatural menjadi bagian tersendiri yang cukup besar untuk dieksplorasi.

Film Macbeth karya Orson Welles ini mampu menimbulkan rasa ngeri. Pada awal film, tiga tukang tenung tua bersuara melengking itu berdiri di atas tebing melengkung. Mereka membuat lempung dari tanah liat sembari membacakan mantera bak upacara voodoo. Sepanjang film, lempung menjadi simbol kebangkitan dan kehancuran Macbeth. Kemunculan mereka beberapa kali di tengah cerita tak bisa lepas dari lempung itu. Kemunculan hantu Banquo, yang hanya bisa disaksikan Macbeth, juga memperkuat elemen itu.

Akira Kurosawa mengadaptasi kisah Macbeth dalam dunia feodal Jepang dalam produksi Throne of Blood pada 1957. Kurosawa tak hanya mengambil budaya feodal samurai Jepang yang kuat sebagai latar, tapi juga potret bahwa takhta daimyo (penguasa wilayah di Jepang) dibangun lewat darah.

Karakter Macbeth ada dalam diri Taketoki Washizu (Toshiro Mifune), komandan samurai dari benteng pertama. Banquo ada dalam diri Yoshiaki Miki (Minoru Chiaki), pemimpin samurai benteng kedua. Kedua samurai yang berperang bersama ini tersesat di hutan ketika hendak menghadap daimyo Kuniharu Tsuzuki (Takamaru Sasaki)—karakter Duncan, di Istana Jaring Laba-laba.

Di hutan ini, mereka dihantui oleh suara tawa yang mengerikan dari roh penunggu hutan, pengganti karakter tiga penyihir dalam naskah asli Shakespeare. Roh itu tampak dalam wujud lelaki tua serba putih yang tengah memintal benang di gubuk di dalam hutan. Di sekitarnya, tumpukan tulang-belulang samurai membentuk gunung-gunung kecil. Roh yang bisa menghilang inilah yang menyampaikan ramalan yang kelak menjadi ambisi Washizu.

Dalam Throne of Blood, tidak ada hujan badai saat pembunuhan terjadi, seperti dalam naskah asli. Malam pembunuhan itu justru teramat hening. Elemen supernatural justru ada dalam ruangan tempat Washizu dan Lady Asaji—karakter Lady Macbeth—bermalam saat terjadinya pembunuhan. Ruangan yang dipenuhi darah, tempat terbunuhnya penguasa sebelum Washizu. Elemen supernatural juga terjadi ketika kuda yang akan digunakan Miki dan putranya untuk menghadiri undangan makan malam Washizu justru memberontak, takhayul dan pertanda khas Jepang. Lewat Throne of Blood, Kurosawa memotret ambisi, kekuasaan, serta elemen mistik dalam latar politik, sosial, dan budaya Jepang.

Macbeth produksi 1971 besutan Roman Polanski memotret elemen supernatural ini dengan gaya berbeda. Film ini dibuka dengan tiga penyihir tua menguburkan tangan yang menggenggam belati. Wajah mereka buruk. Macbeth dan Banquo menemui mereka saat hendak menghadap Raja Duncan. Aspek kekerasan justru lebih kuat dalam Macbeth garapan Polanski. Sementara Welles dan Kurosawa tidak menampilkan pembunuhan Duncan dan pembantaian keluarga Macduff di layar lebar, Polanski justru melakukan itu. Macbeth (Jon Finch) menancapkan dua belati ke dada Duncan berkali-kali di dalam layar.

Pembantaian keluarga Macduff juga amat visual. Penonton menyaksikan bayi penuh darah dalam ayunan, anak laki-laki setengah telanjang yang meronta-ronta ketika hendak dibunuh, juga Lady Macduff yang histeris melihat pembantaian dengan latar kastil yang terbakar. Tapi pembalasan terhadap Macbeth juga brutal. Kepala Macbeth diusung di ujung pedang dan diarak beramai-ramai.

Dalam adaptasi terbaru Macbeth karya Justin Kurzel, penyihir ditampilkan dalam wujud empat perempuan dari usia anak-anak hingga dewasa yang hadir dan menghilang dalam kabut. Macbeth dalam adaptasi Kurzel secara tersirat menunjukkan anak-anak Macbeth yang mati. Anak perempuannya mati pada awal film, sedangkan anak laki-lakinya yang masih remaja tewas dalam perang.

Ketika niat Macbeth bergolak untuk membunuh raja, dia melihat belati diberikan oleh anak laki-lakinya yang mati itu. Anak laki-lakinya pula yang menyebutkan isi ramalan terakhir bahwa Macbeth hanya akan mati dari laki-laki yang lahir bukan dari rahim perempuan. Macbeth adalah pergolakan hati nurani melawan ambisi. Ketika hati nurani digerakkan oleh moral dan nilai, ambisi digerakkan oleh hasrat. Hasrat Macbeth akan kekuasaan dan kerinduan dia akan sosok anak inilah yang menyebabkan dorongan hasratnya muncul dalam wujud anak laki-laki.

Elemen supernatural Macbeth bukan hanya ada dalam plot cerita. Di kalangan para pekerja teater, lakon Tragedi Macbeth punya takhayul tersendiri. Banyak pemainnya tidak menyebut nama lakon dan nama peran yang mereka mainkan, tapi menyebutnya "The Scottish Play", "The Scottish Lord", dan "The Scottish Lady". Menyebut nama lakon atau nama karakter yang akan mereka mainkan dipercaya dapat membawa sial.

Perempuan merupakan simbol femininitas, kehidupan, kelembutan, dan sensitivitas. Lady Macbeth justru sebaliknya. Dia ingin menghilangkan sisi feminin yang dianggapnya menghalangi ambisinya. Lady Macbeth adalah salah satu karakter perempuan yang paling menakutkan dalam kisah Shakespeare. Sejak pertama kemunculannya di babak satu adegan kelima, dia sudah merencanakan pembunuhan raja. Karakternya lebih kuat, lebih keji, dan lebih ambisius ketimbang suaminya. Lewat kata-katanya, Lady Macbeth memanipulasi suaminya. Dia mempertanyakan kejantanan Macbeth ketika nurani suaminya bergolak.

Namun, dalam adaptasi Kurosawa, Macbeth yang ditampilkan berbeda. Asaji (Isuzu Yamada) justru digambarkan dengan konsep perempuan ideal Jepang, feminin, pucat, sikapnya halus, geraknya anggun, tapi mulutnya lebih berbisa ketimbang ular. Tidak ada senyum di wajahnya. Tidak ada kehendak menjadi maskulin seperti dalam naskah aslinya, dia malah menebar kecurigaan yang mendorong suaminya melampiaskan niat kejinya. Kurosawa justru menekankan aspek femininitas dari sudut yang berbeda mampu menantang ambisi maskulinitas.

Ketika kejahatan yang sama dilakukan lagi dan lagi, Asaji tak sanggup menanggung beban. Dia mencuci tangannya, berusaha menghapus jejak darah di tangannya. Dalam naskah asli, Lady Macbeth tak hanya berusaha mati-matian menghapus jejak darah di tangannya, di tubuhnya, tapi mulai berjalan dalam tidurnya. Sosok yang semula tampak lebih kuat dalam mewujudkan ambisi untuk menguasai itu sesungguhnya tidak mampu menghadapi konsekuensi dari semua ambisinya.

Kematiannya dalam lakon hanya tersirat. Tapi, dalam Macbeth besutan Welles, kematian Lady Macbeth (Jeanette Nolan) cukup nyata dengan meloncat dari Istana di bukit karang. Adalah Polanski yang menyodorkan kerapuhan Lady Macbeth dalam bentuk yang berbeda. Dia menampilkan Lady Macbeth (Francesca Annis) yang berjalan dalam tidur dalam keadaan telanjang.

Di luar karya-karya yang disebutkan di atas, adaptasi modern beberapa kali mengangkat Macbeth dalam latar gangster dan dunia narkotik. Dari Joe Macbeth (1955), Men of Respect (1991), sampai Macbeth (2006) yang dibintangi Sam Worthington. Yang paling terkenal adalah Shakespeare Must Die (2012), adaptasi dari Thailand yang dilarang tayang oleh badan sensor negeri itu. Menurut harian Inggris The Guardian, larangan atas film itu mungkin disebabkan karakter utamanya, Dear Leader, adalah diktator yang digambarkan mirip Thaksin Shinawatra, perdana menteri yang dikudeta pada 2006. Film itu juga menggunakan dokumentasi kerusuhan mahasiswa di Bangkok pada 1976 dan menampilkan pembunuh jubah merah. Warna merah atau kuning adalah identitas politik bagi warga Thailand. Merah merupakan warna pendukung Thaksin, yang dikenal dengan sebutan Kaus Merah.

Amandra M. Megarani

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus