BENTUKNYA meyakinkan: kulit tebal, judul dalam huruf berwarna keemasan, 338 halaman, dijilid rapi, dengan kertas jenis art paper. Itulah jilid pertama dari Ensiklopedi Nasional Indonesia (ENI) yang terbit September lalu. Penerbitnya, PT Cipta Adi Pustaka, terhitung pendatang baru dalam dunia penerbitan. Didirikan dua tahun silam oleh Dr. B. Setiawan dkk., penerbit ini mengkhususkan diri dalam penerbitan buku-buku referensi. Salah satu penerbitannya adalah Ensiklopedi Budaya Nasional, seri pertama tentang Keris dan Senjata Tradisional Lainnya, 239 halaman, ditulis oleh Bambang Harsrinuksmo. Boenyamin Setiawanlah yang punya ide untuk menerbitkan ENI ini. "Itu berangkat dari hasrat dan kesenangan kami untuk membikin buku referensi," ujar E. Nugroho, yang menjadi pemimpin redaksi ENI. B. Setiawan yang sarjana farmakologi dan E. Nugroho yang dokter telah lama bekerja sama, antara lain dalam majalah Aha, Aku Tahu. Di situ Nugroho, 40 tahun, duduk sebagai pemimpin redaksi, dan Boenyamin, 55 tahun, sebagai pemimpin umum. Dua tahun silam ide itu digodok dan dituangkan dalam suatu perencanaan yang matang. Yang pertama kali dilakukan adalah mencari bentuk ensiklopedi. "Ini yang susah," kata Nugroho. Sebab, bentuk itu menentukan cara penulisan dan pengumpulan bahan, sehingga bisa berbeda dari ensiklopedi lainnya yang pernah diterbitkan di sini. Akhirnya ditetapkan, ENI harus memuat segala informasi tentang Indonesia, yang disuguhkan dalam bentuk penulisan ringkas tapi informatif atau mudah dimengerti. Sasaran pembacanya: siswa SMA ke atas. Segala informasi yang mereka butuhkan mesti termuat di ENI. Data yang dimasukkan sekadar fakta, bukan opini. "Kami ingin ensi ini menjadi referensi terlengkap dan terakurat tentang Indonesia," ucap B. Setiawan. B. Setiawan dan Nugroho merasa, saat ini masih sulit mendapatkan bahan rujukan yang berbicara tentang Indonesia, yang mengupas hal-hal yang erat kaitannya dengan Indonesia, dan yang mengungkapkan Indonesia secara lebih mendalam dan seimbang. Karena itulah 60 persen isi ENI membahas tentang Indonesia. Malah ada bidang yang 95 persen membahas tentang Indonesia bidang flora dan fauna, misalnya. "Kami harap, ENI ini akan lebih menampilkan citra Indonesia," kata Nugroho. Berdasarkan jumlah entri atau judul yang didaftar, diperkirakan ENI ini akan terbit 21 jilid. Namun, setelah diseleksi ulang, dan diputuskan untuk menulis secara lebih ringkas, ENI ini cukup 18 jilid saja, terdiri dari 10.500 halaman. Direncanakan, 20 persen halaman akan memuat foto gambar, atau ilustrasi. Pada ENI ini akan termuat 33.000 judul yang terurai dalam indeks menjadi 150.000 entri. Isi ENI cukup lengkap. Hampir semua kecamatan, kabupaten, daerah sejarah dan pariwisata di Indonesia terdapat di dalamnya. Juga tokoh-tokoh terkenal. Menurut B. Setiawan, pihaknya selalu melakukan cek dan pengecekan ulang sebelum naskah ditulis. Selain tulisan para ahli, data-data juga dikumpulkan dari para bupati dan Bappeda dari seluruh Indonesia. Penerbitan sebuah ensiklopedi selalu merupakan pekerjaan raksasa. Begitu juga pada ENI. Sekitar 400 orang - -semuanya orang Indonesia -- terlibat. Ada pemimpin umum dan pemimpin redaksi, juga pemimpin usaha. Lalu ada 3 orang redaktur senior dan 13 redaktur yunior yang bertugas mengkoordinasi dan mengedit naskah. Setelah itu ada 6 pemimpin kelompok ilmu (matematika, alam, ilmu hayati, ilmu pengetahuan sosial, humaniora, dan umum). Mereka bertugas mengkoordinasikan naskah dan mengontak 65 pemimpin rubrik. Di bawah mereka ada sekitar 350 penulis dari bidang keahlian masing-masing. Tokoh-tokoh yang dihimpun dalam penyusunan ENI ini cukup mengesankan. Ada Prof.Dr. Teuku Jacob (antropologi ragawi), Dr. Nurcholish Madjid (agama Islam), Soebagio I.N. (biografi), Dr. Mien Rifai (flora), dan Prof.Dr. Padmo Wahjono (hukum). Setiap tulisan dihargai Rp 25 per kata. Biasanya setiap halaman terdiri dari 700 kata. Semua ini tentu membutuhkan dana yang besar. Soalnya, selama dua tahun persiapan, biaya keluar terus tanpa ada pemasukan. Nugroho menolak mengungkapkan berapa dana yang diperlukan untuk penerbitan ENI ini. Kini, ENI telah siap terbit 6 jilid, hingga huruf H (jilid 1 termuat entri A hingga Amyo). Jilid 2, menurut rencana, terbit pekan ini. Setiap jilid dicetak 5.000 eksemplar. Tidak seperti saat-saat persiapan terbit, kini proses penerbitan jilid-jilid berikutnya lebih mudah, sebab semua dikerjakan dengan komputer, dengan program dBase III dan Wordstar. Karena itu, setiap setengah bulan direncanakan akan terbit satu jilid ENI. Dengan begitu, diharapkan pertengahan tahun depan seluruh ENI telah selesai diterbitkan. Menurut rencana, ENI ini akan diperbarui setiap lima tahun. B. Setiawan dan Nugroho yakin, ENI yang dijual per jilid Rp 48.000 ini akan cukup banyak peminatnya. Tampaknya memang begitu. Menurut Edy Budhiman, Direktur PT Kencana Dwisarana Sajati, yang memasarkan ENI, dalam masa sebulan pemasaran (sejak September) sudah terjual seribu eksemplar ENI jilid 1, dengan harga promosi (sampai akhir Desember) Rp 44.000. "Kami optimistis laku," ujarnya. Edy Budhiman punya strategi pemasaran yang khas. Ia tidak menjual ENI di toko buku, tapi menjajakannya dari pintu ke pintu. Untuk itu, ia mengerahkan armada pemasaran yang terdiri dari 350 orang di 7 kota. Dibanding beberapa ensiklopedi yang pernah terbit di Indonesia, ENI tampaknya memang lebih unggul. Daya tariknya terutama terletak pada fokus informasinya tentang Indonesia, yang saat ini memang sering dicari. Untuk itu, ENI memang disiapkan secara serius. Cukup banyaknya foto, gambar, peta, dan ilustrasi dalam ensiklopedi ini membuatnya lebih menarik. Dua buah potret lukisan Basuki Abdullah, misalnya, menghiasi uraian tentang pelukis ini. Begitu juga dua lukisan Affandi (sayang bukan karya yang terbaik) melengkapi entri tentang pelukis ini. Tulisan tentang adat penguburan pada berbagai suku di Indonesia, misalnya, mencakup 7 halaman. Uraian tentang Kabupaten Ainaro, Timor Timur, cukup lengkap, dengan peta, jumlah penduduk, juga jumlah sapi, kuda, babi, dan kambing di kabupaten ini. Masalah kebebasan akademis, yang belakangan ramai diperbincangkan di Indonesia dibahas secara menarik dalam ENI. Bukan saja diuraikan sejarah dan perkembangannya di luar negeri, disertai contoh-contoh, tapi juga perkembangannya di Indonesia -- termasuk akibat NKK, yang antara lain membuat para dosen perguruan tinggi negeri "tidak dapat mengemukakan pendapat yang tidak sejalan dengan pemerintah". Yang baru dalam ENI ini adalah dicantumkannya nama penulis tiap entri di akhir tulisan. Demikianlah di akhir naskah tentang Afganistan, tertulis nama Y. Joko Suyono. Dan di akhir tulisan tentang Hikayat Amir Hamzah, tercantum nama penulisnya, Jakob Sumardjo. Tentu saja masih ada yang perlu diperbaiki. Misalnya tercantum nama Ruslan Abdulgani, tapi yang tertulis di foto adalah Roeslan Abdulgani. Penyegaran data tampaknya juga perlu. Achmad Affandi, umpamanya, tertulis masih menjabat Menteri Pertanian. Daftar gubernur Akabri, sayang tanpa uraian, kapan mereka memegang jabatan. Yang terasa mengganjal adalah cukup banyaknya foto yang terlalu kecil (dibanding foto tokoh) hingga kurang berfungsi. Desain caption foto juga terlalu rapat, tanpa jarak yang cukup dengan tulisan, hingga mengganggu pembaca. Namun, secara keseluruhan, jilid 1 ENI ini tampaknya menjanjikan suatu ensiklopedi Indonesia yang terlengkap -- dan cocok untuk masyarakat kita yang pernah diterbitkan di sini selama ini. Dan lagi enak dibaca. Susanto Pundjomartono & Ahmadie Thaha
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini