Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Setelah terserang kantuk

Para mahasiswa indonesia mulai berani lagi memprotes pemerintah. misal unjuk rasa di yogyakarta, bandung dan jakarta. mahasiswa perlu punya keberanian moril untuk mengartikulasikan pendapatnya.

10 Desember 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ADA dua peristiwa menarik di Yogyakarta pada Oktober dan November lalu yang dilakukan mahasiswa. Pertama, sekitar seratus mahasiswa UGM berjalan bersama menuju gedung DPRD Yogyakarta untuk menggugat konsep dan pelaksanaan NKK (Normalisasi Kehidupan Kampus) dan BKK (Badan Koordinasi Kemahasiswaan). Dua konsep ini dikembangkan di zaman Daoed Joesoef dan dinilai telah menelikung kebebasan demokratik mahasiswa. Peristiwa kedua adalah permintaan "paksa" ratusan mahasiswa pada Menteri P & K Prof. Fuad Hassan untuk bersedia berdialog, sewaktu Pak Fuad mendatangi suatu acara di ISI (Institut Seni Indonesia). Menurut beberapa koran, mahasiswa juga membawa poster-poster untuk memeriahkan suasana. Bahan dialog tampaknya mirip dengan isi dialog antara Fuad Hassan dan para mahasiswa ITB beberapa hari sebelumnya di Bandung, masih di sekitar NKK dan BKK. Dua peristiwa itu cukup menarik karena terjadi di Yogyakarta. Dalam pembicaraan tentang dunia mahasiswa Indonesia, ada semacam pameo: bila mahasiswa Bandung memprotes ini dan mahasiswa Jakarta memprotes itu, tidak ada sesuatu yang luar biasa. Tapi kalau mahasiswa Yogya sampai "bergerak", pasti ada suatu perkembangan yang perlu diperhatikan. Nilai-nilai demokrasi barangkali sudah berakar lebih kuat di Jakarta dan Bandung dibandingkan dengan kota-kota lain, sebagaimana dikatakan seorang pengamat. Mahasiswa di kedua kota itu lebih cepat memberikan reaksi pada hal-hal yang dianggap tidak konstitusional. Pengalaman memang menunjukkan bahwa mahasiswa Yogya sedikit lebih lamban. Nah, jika pada dua bulan terakhir ini mahasiswa Yogya mulai bangun, kiranya memang ada perkembangan dalam masyarakat yang makin memprihatinkan. Lewat puluhan kali pertemuan dengan para mahasiswa di berbagai kampus dalam kesempatan seminar atau ceramah, saya mencatat paling tidak ada 3 hal yang menjadi keprihatinan mereka. Pertama, masa depan yang tidak begitu cerah. Pengangguran yang terus membengkak di negara kita, membuat kebanyakan mahasiswa pesimistis dan tidak yakin akan bisa memperoleh pekerjaan dengan gampang, setelah mereka lulus nanti. Kenyataan memang kadangkala memperkuat kecemasan mahasiswa. Tragedi Surabaya beberapa waktu yang lalu, misalnya, membuktikan betapa jumlah lapangan kerja yang tersedia terlalu kecil dibandingkan dengan jumlah pencari kerja yang terus bertambah. Lowongan pekerjaan yang cuma beberapa ratus dari Pemda Jawa Timur diperebutkan oleh puluhan ribu anak muda, sehingga 6 orang mati terinjak dan beberapa puluh lainnya luka-luka. Saat ini Pemda Jawa Tengah menawarkan 2.100 lowongan kerja, tetapi jumlah pelamar yang tercatat telah melampaui angka 300.000. Mudah dipahami bila mahasiswa kemudian memandang sayu masa depannya. Keprihatinan kedua menyangkut suasana sekarang yang dinilai oleh mahasiswa sebagai suasana hipokrit. Sejak tahun pertama masuk kampus, mahasiswa mendapat penataran P4. Lewat radio, televisi, dan koran, ia mendengar dan membaca anjuran para pemimpin tentang disiplin nasional, rasa kesetiakawanan, hidup sederhana, pentingnya berkorban demi suksesnya pembangunan, waskat, dan berbagai anjuran yang muluk. Tetapi dalam kenyataan, apa yang dilihat mahasiswa terlalu sering berbeda dengan apa yang didengar. Karena itu, di kalangan mahasiswa meluas cerita sinis tentang makin banyaknya mahasiswa yang menderita sakit mata dan sakit telinga. Ketika mereka diperiksa oleh dokter spesialis mata dan dokter spesialis telinga, mereka diberi tahu bahwa mata dan telinga mereka sehat sepenuhnya. Mereka jadi bingung. Akhirnya, seorang dokter tua dapat menerangkan sebab penyakit itu. Ia mengatakan, sakit mata dan sakit kuping itu disebabkan para mahasiswa terlampau sering melihat kenyataan yang berbeda dengan apa yang mereka dengar. Masalah ketiga yang melanda para mahasiswa kita barangkali dapat diistilahkan sebagai krisis identitas. Mungkin, istilah ini terlalu tajam, tetapi tampak di atas permukaan banyak mahasiswa berupaya keras mencari peran atau tugas kesejarahan mereka yang pas. Mereka bersikap sangat kritis pada angkatan-angkatan sebelumnya (angkatan 45 dan angkatan 66) dan menolak menjadi kopi-foto angkatan terdahulu. Namun, mereka belum berhasil mendefinisikan secara jelas angkatan mereka sendiri. Bila peralihan antargenerasi mengambil kurun waktu sekitar 20 tahun, sebuah angkatan baru seharusnya sudah lahir. Hal-hal inilah yang barangkali menimbulkan gejala frustrasi di kalangan mahasiswa. Protes pelajar dan mahasiswa di Ujungpandang terhadap keharusan pakai helm, protes di Bandung dan Yogya terhadap NKK dan BKK, dan puluhan unjuk rasa terhadap masalah-masalah internal mahasiswa di berbagai kampus, mungkin hanya merupakan sarana ekspresi dari sesuatu yang lebih dalam. Bukan mustahil berbagai unjuk rasa dengan sasaran berbeda-beda itu hanyalah simptom atau gejala dari suatu masalah yang lebih serius. Jadi, tidak begitu arif bila kita kemudian cepat berkesimpulan seolah-olah aksi-aksi mahasiswa itu ditunggangi, punya itikad jahat, destruktif, miopik, bahkan subversif. Sudah cukup lama mahasiswa Indonesia diserang kantuk berat, untuk tidak mengatakan tidur lelap. Di setiap negara, mahasiswa selalu berperan sebagai kekuatan moral. Kekuatan moral itu senantiasa dibutuhkan untuk mencegah penyelewengan dan penyalahgunaan kekuasaan. Kini tampak, para mahasiswa sudah mulai menggeliat bangun perlahan-lahan. Sebagai orang muda, mahasiswa memiliki idealisme dan romantisme. Tidak aneh bila kadangkala sikap mahasiswa terasa kurang realistis atau bahkan kelihatan agak "nakal". Tetapi pada umumnya gerak mahasiswa didorong lebih oleh hati nuraninya daripada oleh pertimbangan lain. Karena itu, kejujuran dan keterbukaan adalah dua kata kunci untuk menghadapi gejolak mahasiswa. Dua hal ini juga merupakan mahkota demokrasi. Jangan dilupakan, rata-rata mahasiswa sekarang cukup kritis dan cerdas dalam menilai keadaan. Mereka memerlukan penyaluran. Saya punya kesan, kemauan politik pemerintah akhir-akhir ini untuk melancarkan deregulasi dan debirokratisasi dengan Pakem, Pakto, Pakno, dan berbagai paket lain sampai ke pencabutan monopoli plastik, disambut mahasiswa dengan setengah lega. Mereka masih mengharapkan pelaksanaan yang efektif. Sekarang ini kekuatan moral mahasiswa terasa lebih diperlukan. Ada gejala apatisme yang cukup luas di tengah masyarakat. Dengan kekuatan moralnya, mahasiswa dapat mencairkan apatisme dan mendorong pemerintah untuk terus melakukan perubahan reformatif. Mahasiswa perlu punya keberanian moril untuk mengartikulasikan pendapatnya secara lugas sesuai dengan jaminan konstitusi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus