MANISRENGGO tak banyak berubah. Kecamatan di Kabupaten Klaten
(Ja-Teng) ini tetap berdebu di musim kemarau, memutihkan daun
tembakau dan palawija tanaman penduduk. Lebih dari itu sebagian
dari seluruh areal kecamatan yang sekitar 3.000 ha itu, terdiri
dari tanah kering bercampur pasir dari Gunung Merapi.
Di luar Manisrenggo memang terlihat perubahan. Jalan menuju
kesana mulus beraspal, sebuah dam di Sambirejo seharga Rp 26
juta sedang dibangun. "Itu hasil swadaya masyarakat," kata
Soekandar, mantri polisi Manisrenggo. Di kecamatan itu juga
sudah ada 4 SLTP, 1 SLTA, sebuah madrasah dan enam masjid.
Orang seperti Giyo Utomo, 55 tahun, memang mengakui "Manisrenggo
maju sejak zaman pembangunan ini." Tapi dia sendiri sebagai
warga desa yang tak bertanah, merasa tak maju-maju. Sejak 1949
sampai sekarang tetap memahat batu nisan sambil memburuh tani di
Desa Bendosari Kelurahan Tanjungsari, Manisrenggo.
Banyak petani lain senasib dengan Giyo. Barangkali juga lantaran
tak ada lagi cara bawon dalam musim panen. Bawon adalah
persentase upah buat buruh pengetam padi. Sekarang lebih banyak
dipakai cara tebasan -- diborongkan kepada orang yang biasanya
mengambil buruh upahan dari luar. Di Manisrenggo, yang
menggunakan cara bawon tinggal 10-17% saja.
Dengan begitu lebih banyak lagi bu nlh tani yang kehilangan
pekerjaan. Apalagi sejak 4 tahun lalu 9 buller masuk Manisrenggo
untuk mengupas padi satu kemajuan tapi selalu disertai akibat
banyak kaum wanita desa kehilangan pekerjaan. Mereka kini tidak
lagi sempat memburuh sebagai penumbuk padi dengan lesung.
Petani Manisrenggo rata-rata hanya memiliki tanah kurang dari 1
ha. Yang tak bertanah lebih besar lagi. Manisrenggo yang
meliputi 16 kelurahan itu berpenduduk 35.000 jiwa lebih. Hanya
sekitar 5.000 kk memiliki tanah rata-rata 0,5 ha (disebut kuli
kenceng), selebihnya buruh 8.000 lebih buruh tani, 150 buruh
industri.
Di Klaten, sudah sejak 1911 tanah pertanian dipecah-pecah. Tapi
tetap saja lebih banyak petani tak bertanah. Keadaan ini tentu
saja merupakan sumber keresahan. Sehingga menjelang meletusnya
G-30-S/PKI pada 1964/65, PKI memanfaatkan keadaan itu dengan
melancarkan "aksi sepihak" dan dikenal dengan Peristiwa
Manisrenggo.
Di Desa Kranggan, Kecamatan Manisrenggo misalnya, pernah muncul
aksi sepihak itu. Kasusnya bermula dari soal sewa-menyewa tanah.
Kebetulan pihak penyewa kebanyakan terdiri dari orang-orang
non-PKI yang berduit. Mereka disokong oleh kalangan NU atau
bekas Masyumi. Sedang pihak kuli kenceng didukung oleh BTI/PKI.
Siang hari, tanah digarap oleh penyewa, malamnya tanaman
dicabuti pemilik tanah dan ditanami tanaman lain.
Peristiwa yang lebih besar dari Manisrenggo muncul di Desa
Gadungan, Kecamatan Wedi, juga di Klaten. Tanah negara di desa
itu atas instruksi Presiden akan dipakai untuk perusahaan
perkebunan tembakau. Tapi penduduk yang telah menempatinya
mempertahankannya dengan dukungan BTI/PKI. Bentrokan fisik tak
terelakkan, "sampai-sampai Pak Pratikto, Bupati Klaten waktu
itu, juga akan diganyang oleh PKI," kata Soeripto Wiromartono,
Kepala Desa Barukan Kecamatan Manisrenggo.
Dikeroyok
Ingat Peristiwa Bandar Betsy? Desa di Kecamatan Bandar,
Kabupaten Simalungun, Sum-Ut, menjelang meletusnya
G-30-S/PKI, terjadi bentrokan fisik antara para petani (yang
didukung BTI) dengan pihak perkebunan. PTP IV (karet) bermaksud
memperluas areal perkebunan yang sejak lama diusahakan oleh
petani.
Pertengahan Mei 1965, petani menghalangi traktor perkebunan
menggusur tanah. Peltu Sudjono yang membantu mengamankan
penggusuran itu dikeroyok beramai-ramai oleh sekitar 100 petani.
Sudjono tewas. Dua tahun kemudian monumen Letda Anumerta Sudjono
dibangun di atas taman seluas 1 ha, di tengah perkebunan karet.
Tiga belas orang yang terlibat rata-rata dihukum 3,5 tahun 3
orang di antaranya 15 tahun.
Meski digusur. 64 kk petani BTI di Bandar Betsy di antaranya
ditampung di areal 25 ha di Lorong Tempel, satu di antara 5
lorong di Bandar Betsy. Belakangan, areal yang sempit itu oleh
PTP IV diambil 8,2 ha hingga sisanya tinggal 16,8 ha. "Sekarang
setiap kk hanya menggarap 1/2 rante, bahkan ada yang 1/4 rante.
Itu hanya cukup untuk gubuk dan pekarangan sempit saja," ujar
Suhardji, Kepala Desa Bandar Betsy sekarang 25 rante kira-kira
seluas 1 ha.
Luas Bandar Betsy 1.600 ha dihuni 445 kk -- dari areal tersebut
sebanyak 1.369 ha diusahakan PTP IV. "Karena itu banyak petani
yang memburuh ke desa-desa tetangga," kata Suhardji dengan
prihatin.
Di Jawa Timur, juga ada peristiwa seseram Bandar Betsy.
Ceritanya bermula di tahun 50-an ketika ribuan penduduk
menduduki perkebunan bekas milik Belanda di Desa Jengkol
Kecamatan Ploso, 15 km arah tenggara Kediri yang waktu itu
dikenal sebagai basis PKI. Lima tahun kemudian, pihak Perusahaan
Perkebunan Negara menemui kesulitan menguasai tanah itu kembali.
Meskipun kemudian ada kesepakatan menampung penduduk di lereng
Gunung Kelud, pemindahan itu tidak mudah. "Di siang hari
orang-orang dewasa pada menghilang," cerita seorang pensiunan
Polri. Siang hari petugas perkebunan membersihkan areal,
malamnya penduduk menanaminya kembali dengan pisang atau jagung.
Akhirnya, 1961, pihak perkebunan mendatangkan traktor dikawal
Polri.
Tapi mereka dihadang penduduk. "Kami tidak bisa berbuat apa-apa.
Habis, banyak perempuan anggota Gerwani yang telanjang bulat
menghadang traktor," lanjut pensiunan Polri itu. Akhirnya para
petugas perkebunan dan anggota Polri itu disekap oleh penduduk
sehari penuh di kandang kambing. Letda Pol. Soemarwan yang waktu
itu membujuk penduduk, malah dikalungi cangkul dan sabit.
Memikat Punai
Akhirnya puluhan anggota ABRI "menyerbu". Penduduk bertahan.
Tua, muda, laki, perempuan dan anak-anak Siap menghadang dengan
senjata tajam. Ketika anggota-anggota ABRI itu melepaskan
tembakan peringatan, ada penduduk berusaha merebut senjata api.
Anggota-anggota BTI itu bubar setelah 8 orang di antara mereka
menjadi korban.
Setahun kemudian, awal 1962, mereka bersedia dipindahkan. Dan
sekarang mereka tinggal terpencar di 5 desa Kecamatan Ngancar,
di lereng Gunung Kelud. Rata-rata menanam nenas di areal I ha.
"Mereka tidak lagi jadi masalah," ujar Sadikin, Kepala Desa
Bedali, tempat 64 kk asal Jengkol kini bermukim. Penduduk di
lereng Kelud ini umumnya miskin, tanahnya tandus. Tak sejengka
pun yang bisa ditanami padi.
Gambaran lain lagi di sebuah desa bekas basis PKI yang bernama
Kampung Kolam di Kecamatan Percut Sungai Tuan, Deli Serdang di
Sum-Ut. Kini desa seluas 600 ha (2/3 di antaranya sawah tadah
hujan) dan berpenduduk 812 kk itu, setiap pagi desa ini mengirim
9 ton sayur ke Medan, menempuh jarak l6 km.
Kecuali 10 orang bekas tapol PKI golongan B yang dibina secara
khusus, umumnya penduduk kini hidup rukun. "Yang bekas PKI dan
yang bukan tak jadi soal lagi," kata Mansur, Khatib masjid desa.
Kini 95% penduduk beragama Islam. Dan sejak 1969 Supangkat,
Kepala Desanya, menggalakkan pendidikan agama. Desa ini terdiri
12 lorong, setiap lorong memiliki surau dan sebuah STM alias
serikat tolong-menolong.
Desa itu kini nampak aman. Suwardi, 60 tahun, bekas pentolan
BTI, kini malas keluar rumah. Lepas dari tahanan 1967, semula ia
sering berjualan sayur ke Medan. Tapi ketika seorang anggota
Koramil di Lubuk Pakam terbunuh, dia bersama 100 cks BTI lainnya
ditahan 9 bulan. Sejak itu ia enggan bepergian. Untuk menghidupi
keempat anaknya, sekarang ia menggarap sawah miliknya sendiri.
Dan kadang-kadang memikat burung punai untuk dijual.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini