Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
IA bukan nabi. Tapi ia menyampaikan pesan-pesan alien. Pesan perdamaian dan cinta. Namanya Ziggy Stardust. Sosoknya berambut api dan bersepatu bot sol tebal. Dalam darahnya mengalir gen makhluk angkasa luar. Ia tak bisa diidentifikasi jenis kelaminnya. Androgini. Separuh pria separuh wanita. Dia liar. Promiskuitas. Ia melakukan seks baik dengan lelaki maupun perempuan. Ia suka menenggak alkohol. Di bumi ini, ia menjelma menjadi seorang pemusik rock.
Meski semenjak 1980-an penampilan David Bowie telah rapi, perlente, kerap menggunakan jas, dan sudah menampik pernyataan sendiri dalam wawancara dengan Playboy pada 1976 bahwa dia biseksual, karakter Ziggy Stardust tetap mempesona panggung rock. Lady Gaga pada awal-awal kariernya mengecat wajahnya dengan lambang petir, dengan warna bola mata yang berbeda—biru di kanan dan cokelat di kiri—seperti yang ditampilkan Bowie dalam film The Man Who Fell to Earth (1976), sebagai penghormatan terhadap sang legenda. "Dia seperti pangeran alien...." Ziggy Stardust, makhluk planet androgini itu, adalah alter ego dari David Bowie. Sosok imaji makhluk itu diciptakan pada tahun-tahun paling gila dari karier Bowie, tapi juga masa-masa produktifnya.
Pada akhir 1960-an, Bowie termasuk musikus rock yang terinspirasi oleh fantasi angkasa luar. Pada 1969, ia menciptakan lagu Space Oddity. Lagu ini berkisah tentang orang bernama Tom yang menjadi astronaut. Tatkala pesawat lepas landas, ia teringat istrinya. Dan, dari ketinggian antariksa, ia melihat bumi biru. Lagu ini diciptakan Bowie karena terinspirasi film Stanley Kubrick, 2001: A Space Odyssey. Pada 1970, Bowie menelurkan album The Man Who Sold the World. Lagu The Man Who Sold the World, kita tahu, kemudian pada 1993 dinyanyikan oleh Kurt Cobain dari band Nirvana. Cover album The Man Who Sold the World edisi Inggris tahun 1971 menampilkan Bowie duduk di sofa biru mengenakan gaun bermotif bunga. "Sang perempuan" bersepatu kulit hitam. Cover ini disebut-sebut menyajikan minat awal Bowie pada dunia androgini.
Desember 1971, Bowie merilis album Hunky Dory. Majalah Time pada Januari 2010 memasukkan album ini ke daftar 100 album terbaik dunia. Di sini ada lagu berjudul Life on Mars, yang sebelumnya diedarkan sebagai single. Yang bermain piano untuk lagu ini adalah Rick Wakeman, pemain keyboard grup Yes. Pada 1972, Bowie meluncurkan album The Rise and Fall of Ziggy Stardust and the Spiders from Mars. Di album inilah sosok sang alien, Ziggy Stardust, muncul pada lagu berjudul Ziggy Stardust dan Starman. Dalam wawancaranya dengan sastrawan Amerika Serikat, William Burrough, saat Burrough bertanya siapakah Ziggy, Bowie menjawab:
"Ziggy datang lima tahun menjelang bumi kiamat. Ziggy menyatakan bumi akan musnah karena telah habis sumber daya alamnya. Tapi Ziggy juga mengatakan akan datang Starman, para pengelana bintang yang menyelamatkan bumi. Mereka melakukan perjalanan dari semesta ke semesta. Mereka mencapai bumi lewat lubang hitam. Mereka akan mendarat di Greenwich Village (kawasan di New York yang menjadi tempat para seniman avant-garde, dari teater sampai musik)."
DAN kini "Ziggy Stardust" telah meninggalkan bumi. Dia berpulang dua hari setelah ulang tahunnya yang ke-69. Ia meninggalkan seorang istri, Iman Abdulmajid, 60 tahun, putri seorang diplomat Somalia, serta dua anak: Duncan Jones (44), putra dari pernikahan dengan Angie Barnet, dan Alexandria Zahra Jones (15).
Selama 18 bulan terakhir, David Bowie merahasiakan kanker lever ganas yang ia derita. Selama itu pula dia berjuang menyelesaikan dua proyek terakhirnya: album Blackstar dan teater musikal Lazarus. "Bowie masih menulis di ranjang kematiannya. Dia berjuang dan bekerja seperti singa melewati semua itu," kata Ivo van Hove seperti dikutip Independent. Bowie sempat tampil dalam pementasan perdana Lazarus pada 7 Desember 2015. Ini merupakan penampilan publik terakhirnya. Sejumlah media menulis bahwa Bowie terlihat sehat.
Blackstar merupakan kado perpisahan dari sang legenda. Album ini dirilis pada hari ulang tahunnya. Dua video musik dalam album ini juga dirilis Bowie di YouTube. Dalam klip yang berjudul sama dengan teater musikal itu, Bowie bernyanyi tentang keabadian dengan mata tertutup perban di ranjang rumah sakit: "Lihatlah saya, saya berada di surga." Tony Viscenti, kolaborator lama Bowie, lewat akun Facebook-nya menyebutkan, "Kematian Bowie tak berbeda dengan kehidupannya—sebuah pekerjaan seni."
Bowie lahir dengan nama David Robert Jones. Dia mengganti namanya menjadi David Bowie untuk membedakan dengan Davy Jones dari The Monkees, yang popularitasnya tengah menanjak kala itu. Tak banyak yang tahu bahwa dorongan bermusik David Bowie justru muncul setelah ia mendengarkan black music. "Satu hal yang membuatku ingin jadi musikus adalah Little Richard dan John Coltrane pada 1950-an," ujar Bowie dalam wawancara pada 1993. Bowie adalah orang pertama yang menyuarakan isu rasial bahkan ketika banyak penggemarnya berkulit putih.
Pada 1970-an, Bowie bermain di ranah funk dan soul. Tengoklah album-albumnya seperti Diamond Dogs (1974), Young Americans (1975), dan Station to Station (1976). Di sini imajinasi-imajinasi George Orwell dalam novel 1984 jadi inspirasinya. Transformasi musik Bowie kemudian terasa dalam Low (1977), Heroes (1977), dan Lodger (1979), tiga album yang merupakan kolaborasi Bowie dengan Brian Eno, komposer kondang dari Inggris. Tiga album ini dikenal sebagai "Trilogi Berlin". Trilogi ini diciptakan selama masa pelarian Bowie dari kecanduan kokain ke Berlin. Pada 1980-an, musiknya mulai berubah ke ranah pop dan dance. Let's Dance dan Dancing in the Street—kolaborasinya dengan Mick Jagger—merajai tangga lagu dunia. Juga Tin Machine pada akhir 1980-an.
DAVIS Bowie lebih dari lima kali datang ke Indonesia. Tak lama setelah pernikahannya dengan Iman pada 1992, ia mengunjungi Solo dan Bali. Di Solo, Setiawan Djody menemaninya bertamu ke Keraton Mangkunegaran dan Keraton Kasunanan Surakarta. Bowie dan Iman saat itu bertemu dengan Pakubuwono XII di Sasonosewoko. Mereka mengikuti Pakubuwono XII yang sedang memimpin upacara 1 Sura. Mereka menonton upacara kirab pusaka tengah malam. Bowie dan Iman tak mengenakan busana Jawa. Mereka terlihat diistimewakan karena biasanya tabu jika mengikuti ritual tanpa busana Jawa lengkap.
David Bowie, menurut Djody, tertarik pada Jawa. Bowie kemudian memiliki rumah bergaya Jawa-Bali di salah satu tempat peristirahatannya di Pulau Mustique, Karibia. Rumah itu dinamai Indonesia in Karibia. Modelnya Jawa dipadu dengan gaya Bali. Arsiteknya Arne Hasselqvist, sedangkan desain interiornya digarap Robert J. Litwiller dan Linda Garland. Paviliunnya seperti Keraton Solo. Pintu-pintunya dipesan dari Bali. Adapun kursi dan tempat tidur kombinasi Solo-Bali.
Bowie sampai ingin membuat lagu berbahasa Indonesia. Dalam album Tin Machine II (1991), ada lagu berjudul Amlapura. Adapun dalam album Black Tie, White Noise (1992), sebuah lagunya, Don't Let Me Down and Down, diterjemahkan ke bahasa Indonesia menjadi Jangan Susahkan Hatiku. Setiawan Djody, yang kala itu mengurus bisnis di New York, diundang Bowie ke studio rekamannya yang bernama Savage untuk menerjemahkan lagu. Menurut Djody, Bowie butuh lima jam merekam lagu itu agar aksennya benar. "Susah mencari kata yang tepat supaya pas dengan melodinya," ucap Djody.
Tatkala David Bowie mengunjungi Jawa, Djody ingat Bowie—yang tertarik pada ajaran Buddha—ingin bermalam di Candi Borobudur. "Saya minta izin ke Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Budiardjo untuk bermalam di lantai tertinggi yang dipenuhi stupa. Saya, David, dan Iman pergi saat magrib," kata Djody. Di puncak Borobudur itu, mereka berbicara tentang kehidupan sejak malam hingga fajar menyingsing. Saat itu, menurut Djody, Bowie telah mengalami gangguan kesehatan.
Kini David Bowie telah pergi. Lazarus, nama pementasan teater dan salah satu judul lagu dalam Blackstar, diambil Bowie dari nama tokoh Alkitab yang bangkit dari kematian. "David percaya ada kehidupan setelah kematian," ujar Djody.
Seno Joko Suyono, Amandra M. Megarini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo