Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Demokrasi Patronase di Indonesia

Klientelisme membuat demokrasi Indonesia menjadi demokrasi patronase. Bukan efek dari lemahnya partai politik, melainkan sistem yang justru secara fungsional menghidupi partai.

26 Mei 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Demokrasi Patronase di Indonesia/Amazon. com

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KINERJA demokrasi tampak dalam performa kelembagaan yang formal seperti partai politik, organisasi kemasyarakatan, serta lembaga eksekutif dan legislatif. Namun detak dan napas lembaga-lembaga demokrasi tersebut diaktifkan oleh suatu aliran dan praktik informal yang diistilahkan sebagai klientelisme. Karena klientelisme, demokrasi di Indonesia menjadi demokrasi patronase yang membuat para politikusnya menggunakan the goods and benefits that distribute through clientelistic exchange untuk mendapatkan dukungan suara elektoral.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dengan adanya klientelisme ini, korupsi politik, jual-beli suara, mahar politik, dan politik uang yang merajalela dalam politik kita sekarang tidak dapat dipandang sebagai efek samping yang sekadar menunjukkan adanya disfungsi dalam sistem demokrasi. Semua praktik kotor itu justru harus dilihat sebagai ciri atau karakter utama dari sistem politik.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Penulis buku Democracy for Sale: Elections, Clientelism, and the State in Indonesia ini, Edward Aspinall dan Ward Berenschot, mendefinisikan klientelisme sebagai praktik pertukaran sumber daya atau keuntungan materiel, termasuk uang, barang, pekerjaan, pelayanan publik, dan kontrak, dalam rangka mendapatkan dukungan politik baik berupa suara, donasi, maupun sokongan kampanye (halaman 25). Dalam konteks Indonesia, Aspinall dan Berenschot menamai klientelismenya sebagai freewheeling clientelism atau klientelisme semau gue. 

Karakter freewheeling ini menunjukkan kelenturan praktik transaksional yang melampaui aturan-aturan hukum serta longgarnya komitmen etis antara elite dan partai serta sesama politikus (halaman 41).  Sifat ini terlihat secara telanjang, misalnya, dari begitu lemahnya ikatan dan lo-yalitas politikus terhadap partai. Politikus tidak memiliki afinitas yang kuat dengan partai-partai yang menominasikan mereka karena merasa telah memenuhi kewajiban dengan memberikan mahar sebagai bayaran untuk nominasi tersebut (halaman 83). 

Klientelisme dan patronase berubah-ubah dalam sejarah politik di Indonesia. Pada masa Orde Lama, klientelisme tumbuh berbasis partai. Kala itu, partai mulai berfungsi sebagai penyalur pelbagai sumber daya bagi birokrasi. Pada masa Orde Baru, klientelisme berubah menjadi patronase yang sentralistis, yang membuat negara memegang monopoli penyaluran pelbagai sumber daya ke akar rumput. Ketika klientelisme terpusat Orde Baru itu berakhir, muncullah klientelisme semau gue dalam “Demokrasi Patronase”. 

Melalui penjelasan historis ini, Aspinall dan Berenschot menampik argumen yang menekankan klientelisme sebagai lambang dari lemahnya partai politik. Klientelisme bukanlah efek dari lemahnya partai, melainkan sistem yang justru secara fung-sional menghidupi partai itu sendiri. Ia tumbuh dengan diperkuat oleh berbagai latar belakang, seperti keterbela-kangan pembangunan ekonomi dan kemis-kinan, ketersediaan klien-klien yang murah yang harganya bisa dijangkau para politikus, serta lemahnya pertumbuhan kelas menengah dan negara hukum (halaman 230). 

Merujuk pada latar belakang -tersebut, klientelisme mungkin dapat berkurang apa-bila masyarakat makin maju secara -eko-nomi. Selain itu, klientelisme tidak akan laku jika patronase dianggap sebagai cara berpolitik yang berbiaya tinggi sehingga makin dihindari oleh para -politikus.

Dalam buku ini, Aspinall, peneliti politik dari Australian National University, Australia; dan Berenschot, peneliti senior di KITLV Leiden, Belanda, memberikan cermin yang benderang mengenai bagaimana politik telah diinvasi total oleh praktik jual-beli. Melalui buku ini, kedua penulis menyampaikan kritik simpatik dengan mengkhawatirkan prospek pemerintahan yang baik di Indonesia PADA masa depan. 

Buku Democracy for Sale ini menyisakan dua pertanyaan besar yang belum terja-wab, yaitu pertama, bila urat nadi politik adalah klientelisme, mungkinkah ia diha-dapi melalui kerja institusional dari lembaga-lembaga yang ia ciptakan sendiri? Selama politik telanjur menjadi sarana jual-beli, selama itu pula ia akan dideterminasi oleh pembeli yang terkuat. Akibatnya, politik tidak dapat lagi dipakai sebagai saluran keadilan dan kebebasan. Kedua, politik jenis apa yang bisa melampaui dan memutus lingkaran klientelisme ini?

ROBERTUS ROBET, PENELITI TAMU PADA CENTRE FOR INDONESIAN LAW AND ISLAM SOCIETY MELBOURNE LAW SCHOOL, UNIVERSITY OF MELBOURNE, AUSTRALIA
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus