Di Gambir, tepatnya di pintu masuk Gereja Imanuel, Andrea Palladio hadir. Enam pilar penyangga dinding atap berbentuk segitiga dan dua pilar terluar saling merapat—begitulah salah satu ciri kehadiran arsitek beken yang hidup dan berpulang di Italia pada abad ke-16 itu.
Memang Giovanni Giaconi, seniman Italia yang kebetulan berkunjung penggal pekan lalu, terpesona dengan "penemuan" ini. Tapi mungkin tidak diketahuinya bahwa Palladio tidak cuma hadir di pintu masuk. Bayang-bayang Palladio ada di mana-mana. "Denahnya yang bulat persis menyerupai The Rotonda, masterpiece karya Palladio di Vicenza, Italia," ucap Han Awal, arsitek senior Indonesia yang banyak melakukan studi arsitektur di Eropa.
Pengaruh Palladio bertaburan di sepanjang jalan kolonialisme Belanda. Dia tampak di Gedung Harmoni, Harmonie Societiet, di Jakarta Pusat, yang sekarang tiada, dan Gereja Imanuel. Di samping itu, menurut Giaconi, percikan pengaruh Andrea Palladio terlihat di Museum Fatahillah (dulu rumah tinggal Gubernur Batavia), Museum Gajah, dan Galeri Nasional. Lihat pintu masuk di Museum Fatahillah: enam buah tiang ionik tegak, dengan sebuah atap segitiga di atasnya, dan patung di pucuknya.
Gaya Palladio mudah dikenali. Dia selalu membuat pintu masuk utama lebih penting dari unsur bangunan lain. Dia selalu memakai deretan pilar ionik. Salah satu dari dua jenis pilar bergaya Romawi, dengan detail feminin berupa sulur tanaman pada puncaknya. Pilar satunya dorik, bergaya maskulin. Di atas pilar-pilar itulah Palladio meletakkan bubungan atap pelana bersudut rendah dengan dinding segitiga di ujungnya (timpano). Di pucuk segitiga itu dia mengimbuhkan patung.
Palladio telah terbang jauh, melampaui waktu dan ruang. Giaconi sendiri pekan lalu mengusung puluhan gambar karya Palladio di Galeri Nasional dan Toko Buku Aksara. Dia menggambar ulang gedung rancangan Palladio dalam bentuk fasade, gambar tampak muka, dengan media cat air. Gambar-gambar itu merekam sebagian besar karya Palladio (1508-1580) setelah direnovasi sepuluh tahun terakhir ini. Semua bangunan itu masih tegak berdiri hingga kini di Italia. Termasuk Vila The Rotonda di Vicenza itu.
Palladio sejatinya seorang anak tukang batu di kota kocil Padua, Italia. Bakatnya tercium dan nasibnya berubah setelah ia bertemu dengan penyair Giangiorgio Trissino—sosok yang kemudian menjadi ayah angkatnya. Trissino membawa Palladio ke Roma, tempat Palladio memulai debutnya dengan membuat rumah tinggal Trissino. Selama hidup, Palladio merancang sekitar 65 bangunan rumah tinggal, termasuk bangunan publik (pallazi).
Dan gaya pada pintu ini sekilas memang tak ada bedanya dengan gaya klasik monumental Romawi atau Yunani. "Tapi Palladio bisa membuatnya jadi lebih manusiawi karena dipakai sebagai rumah tinggal. Dan itu selalu berulang," ujar Giaconi. Saking kentalnya ciri yang satu ini, Giaconi langsung teringat Palladio manakala ia melihat Gereja Imanuel, Jakarta.
Ciri lainnya adalah pintu masuk berpilar empat, dan biasanya Palladio menutupnya dengan tiga busur lengkung (archer) di antara dua pilarnya. Pintu masuk itu juga selalu dibuat lebih menonjol keluar dari bangunan utama. Palladio juga banyak memangkas detail kriwil pada gaya Romawi, sehingga pada setiap rumah tinggal yang dirancangnya, jendela misalnya selalu berbentuk kotak. Adalah Palladio pula yang pertama kali membuat tata ruang yang fungsional dan sistematis dalam rumah tinggal.
Palladio sebenarnya merisalahkan semua metodenya itu dalam empat buku berjudul I Quatro Libri dell'Architecture ("Empat Buku Risalah Arsitektur"). Tapi semua itu nyaris tenggelam. Baru seabad kemudian setelah kematiannya, seorang arsitek menemukan buku dan gayanya. Saat itu barulah Eropa yang sedang dilanda semangat renaisans ngeh. "Gaya Palladio dianggap mewakili napas pembaruan renaisans," ujar Giaconi.
Adalah para pengelana Inggris yang pertama kali membawa gaya Palladio ke luar Italia dan Eropa. Di Amerika, pengaruhnya bisa terlihat pada deretan pilar Gedung Putih di Washington, DC. Di Asia, dia mengilhami setiap jejak kolonialisme Eropa, termasuk di Hindia Belanda, Indonesia. "Apalagi saat itu Belanda punya policy, bangunan yang dibangun di negara jajahannya harus bergaya Eropa," Han Awal menambahkan. Tak pelak, sepanjang akhir abad ke-17-18, pengaruh Palladio bertebaran di Indonesia.
Sedangkan Italia adalah negeri dengan banyak lembaga swasta yang hirau pada bangunan tua. Giaconi sendiri awalnya arsitek di sebuah museum. Dia hanyut ke dalam karya-karya Palladio setelah sebuah lembaga memintanya mendokumentasikan ulang semua bangunan Palladio di akhir abad ke-20. Dia harus melakukan pengukuran ulang secara akurat dari nol lagi, menyidik setiap kerusakan, juga perubahan denah bangunan karena tuntutan fungsinya. Padahal sebagian besar bangunan kini milik pribadi dan ditinggali. Ada jalan panjang sebelum dia akhirnya masuk. "Ada yang proses meminta izinnya hingga enam bulan," kenangnya.
Semua dituangkan dalam gambar berskala besar (1 : 50). Sebelum dilukis dengan cat air yang dengan kuat menonjolkan kesan tua bangunan, bagian muka bangunan dipilih, karena dari situlah dapat terekam proporsi, detail, kekhasan Palladio.
Dokumentasi seperti itu salah satu upaya konservasi bangunan. "Semua harus terukur dan terekam secara akurat ditambah catatan sejarah," papar Han Awal, yang pernah meraih penghargaan internasional karena keberhasilannya mengonservasi gedung Arsip Nasional. Di Indonesia, dia sempat menggagas Pusat Pendokumentasian Arsitektur beberapa tahun lalu. Selain Imanuel, ada beberapa gedung yang telah didokumentasi, termasuk Gedung Imigrasi. Menurut rencana, dokumentasi yang sudah lengkap nanti akan dibukukan, dijadikan panduan.
Bagi Han Awal, Palladio telah menjadi ikon penting sejak berabad-abad lalu. Setelah usai era Michelangelo di abad pertengahan, Palladiolah arsitek pertama yang menggagas dan membangkitkan kembali gaya klasik Roma di Eropa pada awal era renaisans. "Dia menyederhanakannya dalam proporsi yang benar," Giaconi menyimpulkan.
Endah W.S.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini