Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Edward Soeryadjaya sampai bersitegang urat leher ketika menjawab pertanyaan para wakil rakyat di Senayan dalam kaitan dengan masalah Kemayoran. Sebagai Direktur Utama PT Jakarta International Trade Fair (JITF), putra sulung William Soeryadjaya, pendiri Astra, itu Jumat pekan lalu datang ke pertemuan tertutup dengan Panitia Kerja Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Rapat sedianya membahas pengelolaan Gelanggang Olahraga Bung Karno dan lahan bekas Bandara Kemayoran. Edward sendiri diundang karena JITF mengelola areal pameran di atas lahan tersebut.
Entah disengaja atau tidak, dalam rapat itu para wakil rakyat lebih banyak menyoal kasus sengketa Edward dengan Hartati Murdaya, wanita pengusaha yang juga anggota MPR. Konflik antara keduanya sudah merebak sejak sebulan belakangan ini. "Delapan puluh persen pertanyaan anggota Dewan berkisar tentang sengketa itu," ujar Edward, yang datang ke Senayan didampingi sejumlah stafnya.
Ternyata anggota Dewan khawatir, sengketa itu akan berdampak buruk pada status tanah areal Kemayoran. Mau tak mau Edward pun berpanjang-lebar menjelaskan persoalan yang membelit perusahaannya. "Gayanya meyakinkan dan heroik," kata Chotibul Umam Wiranu, wakil rakyat dari Partai Kebangkitan Bangsa, sambil tersenyum.
Ihwal perseteruan antara dua pengusaha kondang itu bermula dari utang JITF yang digunakan untuk membangun aula dan ruang pameran berskala internasional di atas lahan seluas 44 hektare di Kemayoran. Jumlah utang tersebut mencapai 8,75 miliar yen dan US$ 23,058 juta. Utang itu dikucurkan oleh konsorsium 57 institusi di Jepang yang dikoordinasi oleh Japan Bank for International Corporation (JBIC).
Untuk mengawasi pembangunan dan pengelolaan JITF, konsorsium JBIC lantas membentuk Jakarta Development Corporation (JDC). Perusahaan ini kebagian 42,5 persen saham JITF. Pemilik mayoritas lain adalah PT Jaya Nusa Pradana (JNP), yang menguasai 52,5 persen saham, dan sisanya dimiliki oleh Badan Pengelola Kompleks Kemayoran (BPKK) yang dibentuk oleh Sekretariat Negara.
Pemerintah DKI Jakarta secara tak langsung ikut punya andil di JITF melalui JNP. Soalnya, di perusahaan ini mereka memiliki 25 persen saham melalui Yayasan Pekan Raya Jakarta (YPRJ). Sedangkan saham yang 75 persen dikuasai oleh PT Griya Nusantara Pratama (GNP) kepunyaan Edward.
Celakanya, bisnis ajang pameran yang dikelola JITF tak secerah yang diperkirakan semula. Badai krisis ekonomi dan kerusuhan yang gampang meletup di mana-mana membuat aktivitas pameran lesu.
Kinerja JITF terus merosot—antara lain karena pamerannya sepi pengunjung—sementara kerugian terus membubung. Dalam situasi itu, Hartati mengaku bertemu Abdul Muis dari Badan Pengelola Kompleks Kemayoran yang menjadi komisaris JITF. "Pak Muis bercerita sulitnya kondisi keuangan perusahaan yang pada 2001 menderita kerugian Rp 1,1 triliun," ujar Hartati, yang juga bos Berca, produsen sepatu Nike itu.
Kocek perusahaan yang kosong kerontang membuat JITF tak mampu membayar kewajibannya kepada JDC. Padahal utangnya telah beranak-pinak menjadi US$ 122 juta. Mungkin lantaran khawatir uangnya tidak akan kembali, JDC akhirnya memberi kesempatan kepada pengelola JITF agar mencari investor baru untuk membeli kredit tersebut. Syaratnya gampang: investor itu harus dari Indonesia.
Saat itulah Muis mengajak Hartati masuk ke JITF. Mulanya ia mendompleng PT Pasar Gambir Kemayoran (PGK) yang menjadi penawar utama aset kredit itu. Hartati mengaku tertarik dengan syarat selain mendapat 42,5 persen saham, ia juga diberi hak berunding langsung dengan JDC dalam upaya meminta diskon utang.
Maka, digelarlah pertemuan antara pihak Hartati, yang belakangan mengibarkan bendera sendiri yaitu PT Central Citra Murdaya (CCM), dan para pemegang saham lokal JITF. Rapat berlangsung di Hotel Shangri-La dan dipimpin oleh Edward Soeryadjaya. Pesertanya antara lain Mardowo, yang mewakili BPKK, Abdul Muis sebagai Komisaris JITF, Mario Triono Mustafa selaku Direktur JNP, Rusdi Yusuf dari DKI, serta Hartati Murdaya sendiri.
Saat itu, Hartati minta hak untuk melakukan due diligence secara hukum dan keuangan terhadap JITF. Sedangkan Rusdi Yusuf menuntut agar, jika CCM masuk, Pemda DKI tak mau lagi di bawah JNP. Pihaknya ingin menjadi pemegang saham langsung JITF sebesar 13,13 persen. "Permintaan itu disetujui oleh Edward," ujar Hartati.
Dalam perundingan semula, JDC memin- ta Hartati membayar US$ 20 juta untuk pengganti 42,5 persen saham JDC, serta membeli hak tagih atas utang JITF sebesar US$ 122 juta. Tapi, akhirnya disepakati Hartati cukup membayar US$ 10 juta. Sebagai kendaraan, ia menggunakan Jerome International Ltd. (JIL), yang berbasis di Mauritius.
Setelah proses jual-beli selesai, Hartati meminta Edward menyerahkan 10 persen saham JITF yang dimiliki JNP sebagai pembayar utang. Alhasil, komposisi kepemilikan saham berubah. Kelak, CCM menguasai 52,5 persen, Pemda DKI 13,13 persen, BPKK 5 persen, dan JNP 29 persen. Namun, Edward menolak dan tetap minta agar utang tersebut direstrukturisasi. "Ia minta waktu selama tujuh tahun untuk membayar utang tersebut dengan bunga serendah-rendahnya," tutur Hartati dalam nada kesal.
Jengkel dengan situasi itu, bos Grup Berca ini akhirnya meminta Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menyita dan melelang jaminan aset-aset JITF. Ia sendiri mengaku akan mengikuti proses lelang. "Bila menang, saya akan menuntut hak-hak sebagai pemegang saham mayoritas," ujarnya.
Toh, Edward tak gentar. Sambil menyorongkan segepok dokumen, ia menjelaskan bahwa perundingan soal penyelesaian utang dengan JDC sebetulnya telah berlangsung lama. Dua tahun lalu, misalnya, telah tercapai kesepakatan bahwa utang sebesar US$ 122 juta cukup dibayar US$ 20 juta saja.
Selanjutnya, Oktober tahun lalu diusulkan jumlah utang dipotong lagi menjadi tinggal US$ 10 juta. "Usul itu disampaikan oleh Akbar Tandjung, Gubernur Sutiyoso, dan Direksi JITF," ujar Edward. Sayang, ketika itu JDC menyatakan tak setuju. Nah, ketika sekarang JIL diperbolehkan membeli dengan harga yang sama, muncul kecurigaan bahwa JDC dan JIL telah meniadakan hak JITF untuk menyelesaikan utangnya. Mungkin karena itu, Edward berubah sikap.
Soal harga jual yang US$ 10 juta, Edward juga pu-nya bukti bahwa nilai sesungguhnya cuma US$ 7 juta. "Jadi, JDC dan JIL telah memberikan keterangan yang tidak benar dalam akta cessie," ujarnya. Atas dasar itu, Edward balas menyerang dengan mengadukan pelanggaran ini kepada polisi dan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Sebagai senjata pamungkas, Edward menyodorkan surat Sekretaris BPKK, Mardowo, yang isinya tak menyetujui tindakan JIL meminta eksekusi terhadap aset. "Patut diingat, BPKK merupakan pemegang hak penguasaan lahan (HPL) di Kemayoran," ujarnya.
Hartati segera membantah penjelasan Edward. Menurut dia, diskon utang yang ia peroleh merupakan hasil jerih payahnya sendiri berunding dengan JDC. "Lihat, dong, di risalah kan tertulis, saya meminta hak untuk negosiasi langsung dengan JDC, bukan lewat Edward," ujarnya.
Perseteruan dua tokoh selebriti ini kian seru karena keduanya memiliki beking. JITF tampaknya didukung oleh BPKK. Sebaliknya, Hartati mendapat angin dari kalangan pemda. "Edward ngeyel, tak mau berdamai. Dia maunya ke pengadilan," ujar Rusdi Yusuf dari Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda)
Rusdi mengaku, pihaknya tak peduli siapa yang akan menjadi pengendali di JITF selama porsi sahamnya tetap dipertahankan. "Yang penting, proses hukum sudah dijalani," ujarnya ringan.
Nugroho Dewanto, Iwan Setiawan, Dara Meutia Uning
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo