Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bea!
Di tepi sini gubuk dan karang
sekali pernah mama bilang
cerita beta cerita kau
bertulis di tanah berselang karang....
PADA mulanya adalah puisi. Ia menulis tentang Rote, sebuah pulau di Nusa Tenggara Timur. Dalam puisi berjudul "Anak Karang" itu, Gerson Poyk tak hanya melukiskan tanah kelahirannya, tapi juga mengungkap betapa susahnya hidup di pulau karang. Ia melukiskan: "pada cerita jagung dan ubi begitu merana, di tonjolan karang tapi ada nyiur dan lontar". Ini semacam kegelisahan tak berkesudahan.
Puisi yang ditulis pada 1955 itu dikumpulkan bersama 76 puisi lain dalam buku berjudul Dari Rote ke Iowa. Iowa, Amerika Serikat, menjadi impian bagi para sastrawan untuk tinggal dan menulis di sana. Gerson adalah satu sastrawan yang berkesempatan mengikuti International Writing Program di Universitas Iowa itu pada 1970-1971.
Di sana Gerson tidak hanya menulis. Ia juga membeli banyak buku filsafat yang kemudian memberi warna pada karya-karyanya. "Pulang ke Indonesia, di samping mengarang, saya baca filsafat terus," ujar Gerson dalam peluncuran dan diskusi bukunya di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Sabtu pekan lalu.
Meski tinggal dan menulis di Iowa, Gerson tetap tak terpisahkan dari Rote. "Ia menulis Rote dari Iowa," kata Sunu Wasono, pengajar Universitas Indonesia, salah seorang narasumber dalam diskusi itu. Buku itu berisi puisi yang ditulis pada 1950-an hingga sekarang.
Puisi-puisinya mengungkapkan rasa getir, sedih, dan prihatin, seperti halnya tergambar dalam prosa karyanya, terutama novel Sang Guru (1971). Bahasa puisi-puisi itu sederhana dan tidak aneh-aneh. Gerson tidak hendak membuat pusing pembaca. "Ia menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Sederhana baik diksi maupun konstruksi bahasa," ujar Sunu.
Kehadiran buku puisi ini sedikit mengejutkan. Pasalnya, selama ini Gerson lebih dikenal sebagai penulis cerita pendek dan novel. Ia juga menulis naskah monolog dan laporan jurnalistik. Namun beberapa cerpennya tak istimewa. Sebab, cerpen-cerpen itu, menurut kritikus sastra Maman S. Mahayana, banyak mengangkat persoalan sosial, yang juga diangkat pengarang lain. Maka, "Sebagai cerpen dia bagus, tapi tidak khas," katanya.
Kekuatan Gerson, menurut Maman, justru pada novel. Ia punya keunikan karena mengangkat lokalitas Nusa Tenggara Timur. "Sebagai novelis, ia mengembalikan warna lokal ke sastra Indonesia," ujarnya. "Ia pengarang yang dengan sadar menulis itu. Kultur etnis itu perlu." Itu berbeda dengan pengarang lain, semisal Navis, yang menulis lokalitas bukan dengan kesadaran, melainkan sebagai sesuatu yang mengalir begitu saja.
Salah satu novel Gerson yang kuat dengan lokalitas adalah Sang Guru. Novel itu mengisahkan tentang suka-duka seorang guru di daerahnya. "Deskripsi alamnya cukup kuat," ucap Maman.
Gerson lahir di Namodele, Pulau Rote, 16 Juni 1931. Pendidikan terakhirnya sekolah guru atas (SGA) di Surabaya. "Saya murid ikatan dinas," ujar Gerson. Setelah itu, ia menjadi guru bahasa Inggris di sekolah menengah pertama serta guru bahasa Indonesia SGA di Ternate (1956-1958) dan Bima (1958).
Namun, pada 1963, Gerson berhenti menjadi guru. Waktu itu ia hendak dipindahkan menjadi guru di Bayuwangi. Tapi, setiba di Jakarta, ia "membelot". "Saya tidak sampai di Bayuwangi. Saya melamar menjadi wartawan Sinar Harapan," ujarnya. Godaan menjadi wartawan lebih kuat karena gajinya lebih besar. "Sewaktu jadi guru gajinya 400 perak. Menjadi wartawan gajinya 40 kali lipat."
Setelah itu, Gerson menjadi lebih intens menulis cerita pendek dan novel, meski tidak meninggalkan puisi. Cerpen dan puisinya dimuat di berbagai media. Novel pertamanya Hari-hari Pertama (1968). Adapun puisinya belum pernah diterbitkan menjadi buku. "Sekarang baru diterbitkan," tuturnya.
Sebagai wartawan, dalam ingatan Peter A. Rohi, koleganya di Sinar Harapan, Gerson sering menulis dengan gaya jurnalisme sastra. Tulisan-tulisannya detail dan deskriptif. Adapun penulis dan wartawan senior Hanna Rambe, 75 tahun, mengenang Gerson mempunyai banyak ide tulisan. Setelah mundur dari Sinar Harapan pada 1970, Gerson masih kerap mengajukan usul liputan dan penulisan kepada Hanna, yang kala itu editor di Mutiara, media terbitan grup Sinar Harapan. "Ia menulis apa saja, bukan hanya sastra."
Gerson dua kali mendapat Adinegoro Award (1985 dan 1986). Sebagai sastrawan, ia menerima SEA Write Award (1989), Lifetime Achievement Award dari Kompas, dan Anugerah Kebudayaan dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (2011). Hingga kini, di usia 85 tahun, ia tetap menulis.
Semangat menulis terus hidup karena Gerson membutuhkan pendapatan untuk hidup. "Yang mendorong saya itu cucu saya," ucapnya. Sebab, sang cucu sering datang meminta uang dan memintanya menulis agar punya uang. "Saya harus mengarang terus agar cucu saya punya uang jajan. Saya berterima kasih kepada cucu saya."
MUSTAFA ISMAIL
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo