Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hermien Y. Kleden
*) Wartawan Tempo
DiI antara penggandrung sepak bola, saya masuk golongan anak bawang pasif. Saya tak menonton siaran pertandingan—di stadion apalagi. Saya belajar ihwal bola bila ada kewajiban menulis belaka. Walhasil, hubungan saya dengan bola jauhlah dari sikap berpihak yang penuh emosi, degup jantung, dan panas hati disertai puja dan cerca. Toh, tempik-sorak para wartawan yang menonton siaran babak penyisihan Piala Eropa 2016 selama tiga pekan terakhir membuat saya terpaksa aktif menjadi "penonton pasif": tanpa nongkrong di depan televisi, saya bisa menandai hasil pertandingan hingga babak perempat final pekan ini lewat pekik-jerit mereka dari ruang redaksi di lantai tiga dan empat—ini jantung newsroom—Gedung Tempo.
Terus terang, yang menarik perhatian saya bukan gol yang tercipta, melainkan bahasa khas yang melukiskan pertandingan: dukungan dan ejekan, ekspresi amarah dan kegembiraan. Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan bola sebagai "benda bulat yang dibuat dari karet dan sebagainya untuk bermain-main". Pendek dan sederhana. Tapi, kita tahu, si bundar telah melahirkan terobosan paling spektakuler dalam sejarah olahraga dunia: pemain terbaik, rekor terhebat, bayaran termahal, retorika siaran paling kreatif, juga "bahasa bola"—jika saya boleh menyebut demikian—yang imajinatif dan membikin bola tak sekadar bundar.
Reportase pertandingan bola adalah arena perjumpaan dengan ledakan verba serba keras. Satu contoh: tim penyerang mengobarkan neraka di depan gawang tatkala bola liar bergulir ke jaring lawan. Kiper menghadang bahaya itu sepenuh awas. Dia menjatuhkan tubuhnya seraya memalang bola. Dan menggagalkan gol dalam duel hidup-mati di bawah tatapan ribuan penonton.
Kata-kata meluncur bagaikan oxymoron yang beradu: berhasil menggagalkan, duel hidup-mati. Atau exaggeration, istilah yang hiperbolik dan melebih-lebihkan yang meningkatkan debar jantung: neraka di depan gawang—a matter of to be or not to be—yang membikin kita menahan napas, dibanding neraka di tengah lapangan. Tiap gol menjadi titik ledak semua superlatif dalam emosi bahasa. Kekalahan, sebaliknya, membawa duka bagaikan meratapi kalah perang.
Saya teringat duel dua regu dari klasemen puncak Piala Dunia 2006: Jerman versus Italia. Sama-sama perkasa, dengan strategi berbeda. Memilih jurus bertahan, tim Italia menyimak petuah Fabio Cannavaro, kapten tim Italia, dengan saksama: "Bentengi gawang bagai peti besi! Gerendel rapat setiap peluang! Cattenacio!" ujar il capitano Cannavaro.
Pertarungan dua "pahlawan perkasa"—begitu media melukiskannya—barangkali salah satu babak paling menguras emosi pada Piala Dunia itu. Italia menghembalangkan tim Jerman di Stadion Dortmund, di tanah air mereka sendiri. Peristiwa ini bisa saja ditulis dengan lempang: "... wasit meniup peluit di menit terakhir setelah dua gol Italia menghentikan langkah Jerman. Pendukung Tim Panzer amat bersedih."
Bandingkan dengan petikan reportase ini: "Seluruh negeri terperangkap dalam kelu tatkala jantung Panzer ditikam oleh tombak-tombak Azzurri. Pertempuran berakhir. Anak-anak Bavaria rebah, pucat seperti musim gugur—sebelum bangkit mengitari Westfalenstadion Dortmund, memberi hormat kepada khalayak." Dunia mengenang tangis Michael Ballack, kapten Tim Panzer Jerman ketika itu. Dan media menuliskannya dengan gagah: "Michael Ballack melolong seperti serigala prairie yang terluka. Parau dan getir, tanpa kata-kata. Dia berpamit kepada dunia karena Jerman hanya sampai di sini."
Mengapa bola melahirkan parole penuh bunga-bunga? Sebagai anak bawang bola, saya tidak punya teori apa-apa. Tapi saya memberanikan jawaban ini: energi pemain di lapangan bertanding melawan emosi penonton di luar lapangan. Kecepatan, ketangkasan, Ausdauer—daya tahan dan kecerdasan pemain beradu dengan degup jantung dan harap-cemas penonton. Tendangan melengkung indah ke arah gawang lawan menemukan puisi dadakan dari komentator televisi atau radio.
Apa pun tradisinya, permainan cantik Amerika Selatan, kick and rush sepak bola Inggris yang amat determinatif, atau disiplin-tempur sepak bola Jerman, semuanya beradu di lapangan berumput dan sabung-menyabung dalam emosi penonton. Argentina, negara Katolik yang kian kosong gereja-gerejanya itu, bisa mendapatkan Katedral Buenos Aires padat macam kaleng sarden saban kali timnya bertanding.
Itu pula yang terjadi saat Argentina menghadapi Jerman di final Piala Dunia 2014. Tatkala gol dari kaki Mario Goetze menebas jaring Tim Tango setelah perpanjangan waktu, media-media setempat kembali menuliskan suatu doa dan ratapan yang ditangiskan para ibu di Katedral Buenos Aires: O, Senor, mi Dios, porche Tu has abandonado, Argentina. Ya Tuhan, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan Argentina.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo