The Politics of Power: Freeport in Suharto's Indonesia | Penulis | : | Denise Leith | Penerbit | : | University of Hawai'i Press, Honolulu, 2003 |
|
Grasberg, Irian Jaya, tahun 1996. Perusahaan tambang Freeport-McMoRan Copper & Gold. Inc. dengan bangga menerbitkan buku Grasberg:
Penambangan Tembaga dan Emas di Pegunungan Irian Jaya pada Endapan yang Paling Terpencil di Dunia. Penulisnya George A. Mealey, seorang geolog yang kemudian jadi Presiden Direktur Freeport-McMoRan. Grasberg adalah tempat penambangan emas terbesar kedua dan penambangan tembaga ketiga di dunia.
Buku setebal 380 halaman itu menggambarkan bagaimana penemuan dua tambang, Ertsberg dan Grasberg, dan apa arti pentingnya bagi perusahaan tambang besar asal Amerika seperti Freeport. Menarik, tapi itulah glorifikasi perusahaan tambang dan para geolog yang berhasil menemukannya. Di sinilah buku The Politics of Power: Freeport in Suharto's Indonesia melengkapi yang ditinggalkan Grasberg: nasib penduduk asli yang hidup secara tradisional di bawah pemerintah yang korup, ditopang militer.
Sebenarnya penulis Denise Leith, seorang doktor politik lulusan Macquarie University, Sydney, hanya mau melukiskan perjalanan Freeport sejak masuk ke Papua (1967) hingga masa transisi setelah jatuhnya Soeharto. Tapi inilah negeri dengan catatan korupsi sangat mencorong, dan buku ini berkisah tentang keuntungan yang jatuh ke tangan rezim.
Ketika kontrak antara Freeport dan pemerintah Indonesia ditandatangani pertama kali, pemerintah Indonesia terkesan gagap. Freeport boleh memakai tempat itu selama 30 tahun, tiga tahun bebas pajak, plus keringanan pajak tahun-tahun berikutnya. Posisi tawar pemerintah sangat lemah. Tahun 1991 kontrak diperbaharui, dan Soeharto, yang sadar posisinya, mengajukan berbagai hal untuk kepentingan rezim politiknya. Saham Freeport harus dibagi kepada pemerintah Indonesia, dan sempat dijalankan lewat pengusaha Aburizal Bakrie. Menteri Pertambangan Ginandjar Kartasasmita, pengusaha Abdul Latief, dan keluarga Soeharto ikut bersama-sama mencicipi madu Freeport.
Menurut Leith, kontribusi ekonomi dan politik Freeport bagi kekuasaan politik Soeharto sangat besar. Secara ekonomi, dari tahun 1975 hingga 1986 saja Freeport telah memberikan uang kepada pemerintah rata-rata US$ 28,2 juta per tahun dan menjadi pembayar pajak terbesar di Indonesia pada 1988 dan 1989. Dari tahun 1991 hingga 2000, Freeport telah memberikan keuntungan langsung bagi pemerintah Indonesia sebesar US$ 1,6 miliar dan mempekerjakan 14 ribu karyawan.
Begitu pula keuntungan politik. Sejak Freeport masuk, Soeharto seolah mendapat legitimasi atas kekuasaannya dari Amerika. Dua tahun setelah Sukarno jatuh itu, pemerintah Amerika langsung setuju memberi pinjaman kepada Freeport sebesar US$ 60 juta untuk membuka proyek di Irian Jaya. Simbiosis-mutualistis terjadi, semua berjalan aman, sampai akhirnya muncul laporan Uskup Muninghoff tentang pembunuhan dan penyiksaan sejumlah anggota masyarakat Amungme pada 1995. Freeport dituding punya andil dalam pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan militer Indonesia.
Tudingan yang wajar. Buku ini menyebut bahwa per tahunnya Freeport mengeluarkan uang hingga US$ 11 juta untuk kepentingan TNI di Papua. Sejumlah pensiunan tentara Amerika dan Indonesia, polisi federal, serta konsultan keamanan lain dipekerjakan untuk kepentingan perusahaan.
Freeport perusahaan penuh warna, bahkan cukup kontroversial. Pada 1995 Walhi pernah menggugat PT Freeport karena tidak mau menunjukkan dokumen Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL) dan Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL). Sarwono Kusumaatmadja, Menteri Negara Lingkungan kala itu, pernah meminta agar Freeport melakukan audit lingkungan.
Belakangan ini ada tanda-tanda perusahaan mau mengubah kebijakan terhadap masyarakat sekitar. Tapi Leith sendiri mengaku dalam pengantarnya, dua isu masih susah diteliti tentang Freeport: soal hak-hak asasi manusia, dan kaitannya dengan elite politik Indonesia.
Buku ini menghadirkan gambaran yang cukup komprehensif atas Freeport dengan mengandalkan banyak sumber, termasuk dokumen resmi Freeport. Juga hubungan antara kekuasaan negara dan kekuasaan bisnis, dan dampaknya terhadap masyarakat sekitar. Hasilnya, masyarakat hampir tak pernah menang menghadapi kerja sama dua kekuasaan itu.
Ignatius Haryanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini