Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dari sehelai kain sepanjang dua meter yang telah bolong di beberapa titik, desainer Edward Hutabarat dapat mengisahkan sejarah panjang akulturasi batik Indonesia. Kain itu adalah batik bermotif sidomukti yang ia beli di Pasar Klewer, Solo, hampir 15 tahun lalu. Sidomukti menampilkan motif geometris yang kaya detail, biasa digunakan dalam upacara pernikahan. Pada kain milik Edward, motifnya lebih spesial karena tak hanya berwarna cokelat soga khas Surakarta, tapi juga ada nuansa merah dan hijau yang matang, khas batik tiga negeri. "Batik tiga negeri adalah batik paling eksklusif," ujar Edward, 58 tahun.
Batik itu dibuat oleh keluarga Tjoa pada awal 1900-an. Keluarga Tjoa-diawali oleh Tjoa Giok Tjiam-adalah keluarga peranakan Cina di Solo yang turun-temurun memproduksi batik. Suatu ketika, keluarga ini ingin membuat batik berkualitas tinggi yang memadankan beberapa warna, termasuk merah, yang menjadi warna khas etnis Tionghoa. Hanya, di Solo, saat itu cuma ada pewarna soga.
Setelah digambari motif, sehelai kain dikirim oleh keluarga Tjoa ke Lasem, yang berjarak 160 kilometer, hanya untuk diberi warna merah. Lasem masa itu adalah jagonya pembuat warna merah. Selanjutnya, kain tersebut dikirim ke Pekalongan untuk mendapat warna biru dan hijau. Dari Pekalongan, barulah kain itu dikembalikan ke Solo untuk diberi warna soga. Dari proses pewarnaan di tiga wilayah inilah batik tersebut mendapatkan namanya.
Kini tentu tak perlu serepot itu lagi untuk mewarnai batik. Batik tiga negeri asli bikinan keluarga Tjoa pun menjadi barang langka yang diburu para kolektor. Saat Edward membelinya pada 2002, sehelai batik tiga negeri ditebusnya seharga Rp 2,5 juta. Batik ini juga dipercaya sangat sakral, bahkan punya kekuatan magis. "Sebuah pernikahan zaman dulu bisa batal kalau tidak ada seserahan kain tiga negeri," ucap desainer Didi Budiardjo.
Batik tiga negeri keluarga Tjoa ini menjadi salah satu koleksi yang dipamerkan dalam "Pameran Tiga Negeri: Peranakan Fashion & Collection of Edward Hutabarat, Didi Budiardjo, dan Adrian Gan". Pameran ini berlangsung hingga akhir pekan lalu di Dia.Lo.Gue Artspace, Jakarta Selatan. Tiga desainer mapan itu memamerkan macam-macam desain busana dan kain tradisional yang ternyata mendapat pengaruh budaya etnis Cina. "Pengaruh ini sudah muncul sejak abad ke-16," kata Edo-sapaan akrab Edward.
Pengaruh Cina dapat ditelusuri hingga 1481, saat Sunan Gunung Jati memperistri Putri Lie Ong Tien dari Negeri Tirai Bambu. Dari tanah kelahirannya, sang putri membawa serta macam-macam benda seperti sutra, sisir, dan keramik, yang rata-rata bermotif awan dalam warna biru-putih. Awan dalam Taoisme melambangkan kedekatan dengan pencipta sekaligus sesuatu yang bergerak dalam harmoni. Motif ini umum diaplikasikan dalam berbagai kerajinan tangan masyarakat Cina. "Motif awan itu kemudian menjadi inspirasi masyarakat Cirebon dalam membuat batik mega mendung," ujar Edo.
Batik mega mendung hingga kini menjadi ikon Cirebon. Edo turut memamerkan batik mega mendung kreasinya yang dikerjakan bersama pembatik Pekalongan. Motif mega mendung dibuat Edo dalam warna senada biru-putih dan merah-putih yang dipadukan dengan motif garis khas Pekalongan.
Koleksi berharga lainnya adalah kain-kain Go Tik Swan yang dikumpulkan oleh Didi Budiardjo. Didi telah bertahun-tahun mengumpulkan kain bikinan maestro batik asal Solo itu dan kini memiliki puluhan lembar. Go Tik Swan adalah orang yang diminta Sukarno menciptakan "batik Indonesia".
Demi memenuhi permintaan presiden pertama itu, Go Tik Swan mengunjungi sentra-sentra batik. Dia menggali pola-pola batik langka yang menjadi pusaka Keraton Surakarta dan Yogyakarta kemudian mengkreasikannya dalam warna-warni cerah seperti batik pesisir. Inilah yang kemudian diperkenalkan sebagai batik Indonesia. Atas karya-karyanya, Go Tik Swan menjadi orang Tionghoa pertama yang menerima anugerah derajat tertinggi dari Keraton Kasunanan, yaitu sebagai Panembahan Hardjonagoro.
Meski menciptakan batik Indonesia, Go Tik Swan tak lepas dari pengaruh Tionghoa yang melekat padanya. Misalnya saat menciptakan Sawunggaling. Didi memamerkan dua kain Sawunggaling Go Tik Swan, yaitu Sawunggaling Latar Truntum dan Sawunggaling Warna. Kedua kain itu menampilkan motif burung yang merentangkan sayap dan ekor. Motif ini terinspirasi dari sabung ayam yang disaksikan Go di sebuah pura di Bali. Saat membuat pola Sawunggaling, Go menggabungkan ayam dengan merak dan phoenix, hewan legenda di tanah Cina.
Pameran dua pekan ini disebut sebagai proyek Roro Jonggrang oleh Edo. Persiapannya hanya beberapa hari. Awalnya adalah berita-berita di televisi dan media sosial belakangan yang meresahkan Edo. Dia melihat keberagaman Indonesia terancam akibat menajamnya gesekan antarkelompok. Saling tuduh, saling hina, dan kebencian pada kelompok tertentu, seperti keturunan Cina, mengemuka. "Tapi saya bukan tipikal orang yang yel-yel atau mencuit di Twitter. Saya mau buat sesuatu yang efeknya tahan lama," kata Edo.
Edo lalu melihat koleksi kain yang ia kumpulkan dari perjalanannya berkeliling Nusantara sejak 1992. Ia menyadari motif yang tercetak pada kain-kain berusia puluhan tahun itu menyimpan fakta kuat bahwa akulturasi budaya telah berlangsung sekian abad. Cina menjadi salah satu kebudayaan yang paling kuat mempengaruhi tradisi Indonesia. Segera saja Edo mengajak Didi dan Adrian Gan, yang punya banyak koleksi berciri khas peranakan Cina, berkolaborasi membuat pameran. "Ini baru awal. Berikutnya saya berharap ada Museum Cina Peranakan. Saya bersedia menjadi penyumbang koleksi pertama," kata Edo.
Tak hanya pada motif batik, jejak tradisi Cina dapat ditemukan pada banyak aspek yang kini diterima sebagai kebudayaan lokal. Sulaman kapalo paniti dari Pandai Sikek, Sumatera Barat, pun disebut Edo berasal dari Cina. Begitu pula motif mawar di Sambas, kebaya encim, dan ornamen burung hong di hiasan kepala pengantin Betawi dan banyak jejak lainnya. "Cina peranakan adalah bagian yang memperindah kebudayaan dan peradaban kita sejak dulu. Kebersamaan itu ada, ini fakta sejarahnya," ucap Edo.
Menariknya, walaupun terpengaruh budaya Cina, tak semua pula tradisi itu ditemukan di negara Cina sana. Menurut Didi, keturunan peranakan Cina telah menyebar ke seluruh Indonesia dan melebur sehingga menciptakan bentuk tradisi baru. "Kesamaan yang masih bisa terlihat adalah maximally but in harmony," ujar Didi.
MOYANG KASIH DEWIMERDEKA
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo