Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
I Made Budi, kelahiran Batuan 1932, wafat pada 24 Januari lalu dan diaben sembilan hari kemudian. Maestro seni lukis ini memang siap untuk pergi, setelah sekitar 10 tahun terakhir tak henti diganggu penyakit.
Masyarakat Bali lalu mengenang betapa seniman masyhur itu berkarier lewat jalan yang sulit. Kemiskinan yang melanda menjadikan Budi hanya mampu duduk hingga kelas III sekolah dasar. Ayahnya, Wayan Tana, menyarankan Budi melukis. Namun, karena melukis tak langsung menghasilkan uang, ia terpaksa bergiat jadi tukang ukir panil kayu untuk perangkat gamelan. Dari sini, Budi diam-diam belajar seni musik Bali. Ia pun jadi pintar menabuh, juga menari. Berbagai pentas ia ikuti. "Di sini saya dapat makan sambil meneruskan seni lukis," katanya sekali waktu. Adegan tari dan drama sering menjadi obyek lukisannya.
Pada pertengahan 1980-an, Budi berjumpa dengan Chapman dari Jerman dan Leonard Luecas dari Meksiko. Mereka mengatakan Budi punya potensi untuk melukis apa saja yang terlihat dan terdengar, tak peduli itu dari radio, koran, atau rumor di warung. Budi dianggap punya kepekaan untuk menangkap peristiwa sosial yang terjadi di banjar sampai kota besar. Budi pun teringat seniornya, Ida Bagus Made Widja, yang dengan bebas melukis kedatangan Presiden Sukarno di Bali pada 1950-an.
Lalu pada suatu hari, di televisi, Budi melihat pertemuan Presiden Soeharto dan Presiden Ronald Reagan. Ia bergegas melukis adegan pertemuan bersejarah itu. Setelah beberapa minggu lukisan itu digarap, keapikannya tertangkap mata seorang pengamat, yang lantas mengabarkan ihwal ini ke konsulat kedutaan di Denpasar. Lukisan Bli Reagan Lancong ke Indonesia itu kemudian dipotret dan dikirim ke Gedung Putih, Washington, DC. Eh, Reagan sangat terkesan! Maka piagam penghargaan berkop "The White House" pun dilayangkan ke Budi. Dalam piagam keren yang bertarikh 15 Juni 1987 tersebut tertera tanda tangan Ronald Reagan dan Bradley Brockmann.
Lukisan Bli Reagan tak hanya membuahkan piagam. Sejumlah sponsor menghadiahi Budi dengan paket kunjungan ke Amerika Serikat selama dua bulan pada 1989. "Saya lancong ke Las Vegas, melihat gedung-gedung gila, masuk kasino, nonton pertunjukan beling-beling (blink-blink) dan wanita-wanita telanjang bertopi kelinci main dadu." Anehnya, sepulang dari Amerika, kisah Las Vegas tak kunjung masuk ke kanvasnya. "Terlalu takjub saya. Pusing saya." Ia mengaku selama beberapa minggu tidak nyenyak tidur.
Setahun setelah itu, Budi mulai mengeksplorasi peristiwa sosial lagi. Sampai akhirnya ia menciptakan Puputan Badung, Klungkung, Buleleng pada 1992 di atas kanvas 121 x 198 sentimeter. Puputan (bahasa Bali) berarti perang habis-habisan. Puputan dalam lukisan Budi berkonteks habis-habisan melawan kolonialisme Belanda. Ini seri puputan pertama, sebelum ia melukis Puputan Margarana dan Puputan Jagaraga, yang tak pernah ia kerjakan.
Dalam detail luar biasa, dengan komposisi tertib akademis, serta dengan penggambaran anatomi "sempurna" ratusan manusia, Puputan tampil sangat seru. Ada kapal Belanda menembakkan meriam. Ada tentara Belanda membakar penduduk. Ada upaya diplomasi damai para jenderal Belanda dengan Raja. Sedangkan pejuang Bali yang bertelanjang dada riuh menyerang dengan tombak dan parang. Lukisan perang ini kompleks dan estetik, sehingga layak diposisikan sebagai adikarya lukisan Bali 1990-an. Berkat lukisan ini, panitia Bali Bangkit-Amex mengangkat Budi sebagai ikon utama seni lukis Bali era Pita Prada, mazhab setelah Pita Maha yang eksis pada 1935-1960.
Budi tak hanya mewariskan berpuluh lukisan bermutu, tapi juga 13 anak yang lahir dari 2 istri. Dari jajaran itu, yang mengikuti jejaknya sebagai pelukis hanyalah I Made Moja, kelahiran 1968. "Cuma satu, tapi Moja metaksu. Lukisannya dihargai, sehingga ia sering berpameran di luar negeri. Bahkan dia tinggal di Amerika," kata Budi.
Agus Dermawan T
pengamat seni rupa
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo