Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Celah Pungutan Beleid Pendidikan

Peralihan wewenang mengelola sekolah menengah atas ke pemerintah provinsi memunculkan masalah baru. Ada celah menarik pungutan.

6 Februari 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BAMBANG Agus Santoso tak menyangka pertemuan komite sekolah dan wali murid Sekolah Menengah Atas Negeri 17 Surabaya pada Sabtu tiga pekan lalu bakal berbuntut panjang. Padahal pertemuan selama 30 menit itu berjalan lancar. "Secara umum oke," kata Kepala SMA 17 Surabaya itu, Selasa dua pekan lalu.

Hari itu, sekolah mengumpulkan wali murid di ruang kelas masing-masing. Agenda utama pertemuan ini adalah sosialisasi Surat Edaran Gubernur Jawa Timur tentang Sumbangan Pendanaan Pendidikan Sekolah Menengah Atas dan Sekolah Menengah Kejuruan. Surat itu menegaskan kewenangan penyelenggaraan pendidikan SMA negeri dan SMK negeri tidak lagi pada pemerintah kota atau kabupaten, tapi diambil alih pemerintah provinsi. Edaran tersebut menindaklanjuti Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yang mulai berlaku pada 1 Oktober 2016.

Sebelumnya, Pemerintah Kota Surabaya sudah enam tahun menggratiskan pendidikan tingkat menengah atas. Kebijakan sekolah negeri tanpa biaya itu berlaku sejak Wali Kota Tri Rismaharini memimpin Surabaya. Kini, setelah wewenang penyelenggaraan pendidikan menengah beralih ke provinsi, sekolah menengah atas dan kejuruan di Surabaya berancang-ancang kembali menarik iuran.

SMA Negeri 17 Surabaya termasuk yang kembali berniat menarik pungutan. Dalam pertemuan berbungkus sosialisasi surat edaran gubernur itu, sekolah pun mengedarkan surat pernyataan kesanggupan membayar sumbangan pembinaan pendidikan (SPP). Meski disebutkan sumbangan itu "semampu" wali murid, blangko pernyataan mencantumkan sanksi kepada siswa yang tidak sanggup membayar.

Sumbangan "semampu"-nya yang disertai ancaman sanksi ini segera meresahkan orang tua murid. Tak lama setelah pertemuan bubar, salinan pernyataan itu beredar dan menjadi viral di media sosial. Sejumlah media massa lokal dan nasional memberitakan kontroversi surat pernyataan itu serta keberatan orang tua siswa.

Tak mau jadi bulan-bulanan, Bambang akhirnya meralat surat pernyataan itu dan menghapus kalimat pemberian sanksi. "Itu hanya kesalahan diksi," Bambang berkilah. Meski telah menghapus "ancaman sanksi", SMA Negeri 17 tetap menarik iuran. Terakhir, nilai iurannya tak lagi diserahkan kepada kesanggupan wali murid. Sekolah mematok SPP sebesar Rp 150 ribu per bulan.

Menurut Bambang, angka Rp 150 ribu itu berdasarkan hasil musyawarah kerja semua kepala sekolah menengah atas negeri di Surabaya. Kepala sekolah merujuk pada biaya operasional pendidikan daerah yang kini tidak lagi dikucurkan Pemerintah Kota Surabaya, yakni Rp 152 ribu per siswa per bulan. "Itu juga sudah disepakati komite sekolah," ujar Bambang.

Bambang lantas membeberkan perhitungan biaya per siswa per tahun di Surabaya, yang totalnya sekitar Rp 3 juta. Adapun biaya operasional sekolah yang disediakan pemerintah per siswa hanya Rp 1,4 juta. "Kekurangannya, jika dibagi 12 bulan, keluar angka segitu," kata Bambang. Iuran bulanan siswa, menurut dia, akan dipakai untuk membayar honor guru dan pegawai tak tetap serta buat membiayai sebagian proses belajar-mengajar.

Murningsih, wali murid kelas XII SMA Negeri 17 Surabaya, termasuk yang berkeberatan atas sumbangan yang dipatok Rp 150 ribu. Sebab, pengeluaran bulanan dia akan bertambah. Sebelumnya, tiap hari, Murningsih hanya memberi uang saku untuk anaknya. "Belum lagi biaya anak saya yang masih kuliah," ujarnya.

Bambang Supriyadi, Ketua Komite Sekolah SMA Negeri 17 Surabaya, berjanji menampung keluhan wali murid seperti Murningsih. Namun dia juga membayangkan bagaimana repotnya nanti menerima keluhan dari banyak orang tua siswa. Karena itu, dia berharap kebijakan gratis sekolah menengah atas dan kejuruan dilanjutkan pemerintah provinsi. "Apalagi di SMK negeri, SPP-nya lebih mahal," ujarnya.

Kepala Dinas Pendidikan Jawa Timur Saiful Rachman memupus harapan akan sekolah gratis itu. Menurut dia, saat ini Pemerintah Provinsi Jawa Timur belum bisa membebaskan iuran pendidikan untuk SMA dan SMK negeri. "Anggaran untuk pendidikan terbatas," kata Saiful tanpa merinci besarannya. Meski begitu, dia menjamin pendidikan untuk siswa miskin tetap tanpa pungutan. Pemerintah provinsi, kata dia, menganggarkan Rp 141 miliar untuk menutupi biaya pendidikan sekitar 200 ribu siswa miskin.

Menurut Saiful, surat edaran Gubernur Jawa Timur tanggal 5 Januari 2017 memang menetapkan patokan tertinggi untuk sumbangan pendidikan di Surabaya. Rinciannya, untuk SMA negeri Rp 135 ribu, SMK negeri nonteknik Rp 175 ribu, dan SMK negeri teknik Rp 215 ribu per bulan. Sedangkan sumbangan terendah berlaku di Kabupaten Bangkalan, dengan rincian SMA negeri Rp 65 ribu, SMK negeri nonteknik Rp 95 ribu, dan SMK negeri teknik 125 ribu per bulan. "Kami sudah memperhitungkan semuanya dengan matang," ujar Saiful. "Sekolah yang memungut SPP melebihi patokan ini akan diberi sanksi."

Jauh sebelum wali murid menentang pemberlakuan lagi iuran sekolah, pada Maret 2016, Pemerintah Kota Surabaya dan Pemerintah Kota Blitar telah mengajukan uji materi (judicial review) atas Undang-Undang Pemerintahan Daerah ke Mahkamah Konstitusi. Kedua pemerintah kota ini menggugat pasal pengambilalihan pengelolaan SMA dan SMK oleh pemerintah provinsi. "Kami masih menunggu hasil uji materi," ujar Wali Kota Tri Rismaharini.

Risma juga mengaku gamang untuk mengucurkan bantuan bagi sekolah menengah atas dan kejuruan. Ia khawatir pungutan akan tetap ditarik meski pemerintah kota sudah memberikan bantuan. "Nanti percuma kalau murid masih disuruh membayar," ujarnya.

Sementara Pemerintah Kota Surabaya masih menunggu putusan Mahkamah Konstitusi, Pemerintah Kota Banjar, Jawa Barat, sudah memastikan program pendidikan gratis tetap berjalan. Wali Kota Banjar Ade Uu Sukaesih memutuskan menyalurkan hibah bagi sekolah menengah atas. "Instruksi Wali Kota, program Banjar Cerdas tetap dilanjutkan," kata Kepala Bidang Pendidikan Dasar Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Banjar Ahmad Yani.

Yang berubah, menurut Yani, adalah mekanisme penyaluran dananya. Kini sekolah menengah atas dan kejuruan tidak otomatis mendapat bantuan dana. Mereka harus mengirimkan usul atau proposal untuk mendapat hibah. Nilai hibah pun bisa berbeda, bergantung pada jumlah siswa dan proposal kegiatan.

Sebelum wewenang mengelola SMA dan SMK diambil alih provinsi, Pemerintah Kota Banjar mengalokasikan bantuan dana pendidikan Rp 1,1 juta per siswa per tahun. Tahun ini, alokasi dana hibah per siswa Rp 200 ribu per tahun. Menurut Yani, alokasi bantuan per siswa turun karena SMA dan SMK negeri juga menerima dana pendidikan dari anggaran nasional dan provinsi. "Kurangnya kami tutup dengan program Banjar Cerdas," ujar Yani.

Linda Trianita | Nur Hadi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus