Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
GAGASAN populisme Islam yang saya utarakan selama ini, baik dalam acara diskusi maupun melalui buku Islamic Populism in Indonesia and the Middle East (Cambridge University Press, 2016), sebetulnya adalah varian dari populisme secara umum. Populisme Islam di Indonesia relatif kurang berhasil dibandingkan dengan di negeri lain, seperti Turki. Di sana, Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP), yang berkuasa sejak 2002, mampu menggabungkan berbagai elemen umat Islam dalam suatu agenda yang koheren. Arahnya untuk menggantikan elite ekonomi politik rezim Kemalis sebelumnya.
Sebaliknya, politik berdasarkan kesadaran umat di Indonesia cenderung tercerai-berai, dengan berbagai jenis kendaraan yang saling bersaing tanpa memiliki agenda yang mengikat para pengikutnya. Misalnya, ada partai-partai politik Islam yang terserap dalam sistem demokrasi elektoral yang amat sarat politik uang. Sedangkan sistem tersebut menyediakan sarana buat kepentingan oligarki ekonomi politik, yang merupakan produk masa Orde Baru, untuk mempertahankan kekuasaannya dalam alam demokrasi.
Ada juga organisasi kemasyarakatan dan kelaskaran yang berada di luar sistem resmi ini, karena tidak mempunyai sumber daya untuk bersaing di dalamnya. Namun mereka terkait juga dengan faksi-faksi oligarki yang berkompetisi ketika ada keperluan memobilisasi massa, termasuk melalui sentimen solidaritas keagamaan.
Hakikat populisme dalam bentuk apa pun di dunia saat ini adalah respons terhadap berbagai dislokasi sosial yang disebabkan oleh neoliberalisme global. Wujudnya bisa berupa hilangnya kepastian kerja di berbagai industri, penggusuran komunitas untuk proyek investasi, tekanan fiskal terhadap layanan sosial negara, dan kompetisi antarindividu yang demikian menekan sehingga menyusutkan solidaritas sosial.
Bedanya, sementara konsep "rakyat yang tertindas" oleh sekelompok kecil elite mendasari populisme umum, populisme Islam mengakar pada konsep "umat yang terpinggirkan". Namun konsep "umat", sebagaimana "rakyat", mengaburkan kenyataan sosiologis bahwa komponennya sangat beragam, sejalan dengan transformasi sosial yang dibawa oleh pembangunan ekonomi.
Di Indonesia, sebagaimana di negeri mayoritas Islam lainnya, tentu ada umat yang kaya, miskin, dan menengah. Ada pula umat yang tinggal di kota dan yang tinggal di desa. Di antara umat itu, ada yang dekat dengan kekuasaan dan ada yang jauh darinya. Politik mobilisasi massa yang merujuk pada solidaritas umat mengandalkan kemampuan mengurangi kesan perbedaan di kalangan umat yang sebenarnya amat beragam secara sosiologis.
Dalam hal ini, populisme Islam mempunyai kemiripan dengan populisme dalam bentuk umum, yang, misalnya, berhasil memobilisasi massa untuk kemenangan Donald Trump di Amerika Serikat. Caranya, mempersatukan berbagai elemen masyarakat yang sama-sama merasa ditinggalkan oleh proses globalisasi yang melahirkan jurang kaya-miskin luar biasa dan menimbun rasa frustrasi.
Populisme Islam di Indonesia juga menyerap kemarahan terpendam terhadap ketidakadilan sosial yang dapat dilihat dengan kasatmata. Sebagai contoh, kini jurang kaya-miskin sudah mencapai tingkat paling tinggi dalam sejarah, melalui suatu proses yang dimulai sejak dasawarsa terakhir Orde Baru. Demokrasi tidak berhasil memutarbalikkan proses itu, malah meneruskannya. Menurut laporan Bank Dunia tahun 2016, satu persen rakyat Indonesia sekarang menguasai 50 persen kekayaan di negeri ini.
Lantas mengapa populisme mengambil bentuk "Islam", dalam arti menggunakan idiom dan simbolisme yang diasosiasikan dengan agama mayoritas rakyat Indonesia? Memang masih ada populisme nasionalis yang jitu dan banyak bertumpu pada jargon Sukarnois-yang telah diupayakan dan diklaim oleh Joko Widodo ataupun Prabowo Subianto ketika bertarung pada 2014. Namun bahwa tradisi politik liberal ataupun demokrasi sosial telah dimatikan pada masa Orde Baru semakin memungkinkan rekonstruksi idiom keagamaan dalam pertarungan konkret untuk kekuasaan dan akses pada sumber daya material.
Kemenangan Trump di Amerika bukan merupakan ancaman terhadap elite Amerika. Arus populisme di belakangnya lebih menjadi alat faksi-faksi elite yang bertarung daripada sarana penguatan rakyat yang sebenarnya. Demikian juga di Eropa telah muncul arus populisme; dipimpin Le Pen di Prancis, Wilders di Belanda, dan Orban di Hungaria. Padahal mereka memusuhi instrumen seperti serikat buruh, yang secara tradisional memperjuangkan keadilan sosial. Di Australia, arus ini dipimpin Hanson, yang dikenal antimuslim, walau dulu dia lebih anti-imigran Asia.
Semua arus populisme ini memanfaatkan rasa tidak aman rakyat dengan menyalahkan kaum imigran, terutama yang berlatar belakang Islam. Imigran tersebut dianggap bukan bagian dari "rakyat", meskipun sudah puluhan tahun hidup di negeri Barat.
Di Indonesia pun mobilisasi kekecewaan rakyat melalui solidaritas keagamaan besar kemungkinannya menjadi pion dalam pertarungan antarfaksi oligarki. Hal ini terlihat dalam aneka kompleksitas yang mewarnai kompetisi untuk memenangi posisi Gubernur DKI Jakarta dewasa ini.
Akibatnya adalah perusakan terhadap demokrasi Indonesia, yang sebenarnya sudah cukup dirusak oleh oligarki yang mendominasinya. Bukannya mengkritik gubernur inkumben karena kebijakan penggusuran rakyat atau reklamasi, misalnya, diskursus publik malah penuh sesak dengan debat berbau suku, agama, ras, dan antargolongan. Hasilnya adalah pengucilan sebagian masyarakat, dengan karakteristik berbeda dari mayoritas, walaupun sudah turun-temurun tinggal di Indonesia.
Debat seperti ini sulit menjadi ancaman terhadap kepentingan oligarki karena mudah digunakan untuk mengalihkan perhatian masyarakat. Bukannya mempersoalkan penyalahgunaan kekuasaan sistemik oleh oligarki, masyarakat beralih ke hal-hal yang mudah dimanipulasi secara emosional. Antara lain, lewat pidato berapi-api tokoh karismatik yang melihat "pintu masuk" ke sistem ekonomi politik resmi yang tadinya relatif tertutup baginya.
Debat tersebut juga semakin merusak mutu demokrasi Indonesia dalam arti lain. Karena kompetisi elektoral yang sarat politik uang menjadi instrumen oligarki untuk mempertahankan posisinya, perhatian terhadap hak asasi manusia tidak pernah diutamakan. Karena itu, kita melihat bahwa demokrasi Indonesia sering diwarnai peristiwa perampasan hak asasi, terutama terhadap kaum minoritas; lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT); bahkan perempuan.
Besar kemungkinan kecenderungan ini akan berlanjut apabila populisme berdasarkan identitas mayoritas terus dimanfaatkan oleh oligarki. Kita sudah melihat contoh di negeri lain: di India, nasionalisme Hindutva dikembangkan oleh Partai Rakyat India (BJP) yang berkuasa. Korbannya adalah rakyat India yang muslim karena dikucilkan dari imajinasi nasionalisme sempit yang berdasarkan identitas agama. Di Amerika, jalan kemenangan Trump sudah dibuka lebar oleh gerakan Tea Party sebelumnya, yang banyak dihuni kaum fundamentalis Kristen dan bersifat amat xenophobic.
Keberhasilan bentuk populisme mana pun dewasa ini bergantung pada kemampuan merekatkan berbagai komponen masyarakat yang masing-masing memiliki kepentingan sendiri. Mereka turut dipersatukan lewat idiom dan simbolisme politik yang, setidaknya untuk sementara, seakan-akan melenyapkan perbedaan.
Demikianlah, populisme Islam di Turki berhasil merekatkan berbagai elemen umat negeri itu. Salah satu pilarnya adalah kelas menengah terdidik baru yang ambisi sosialnya diblokir oleh struktur kekuasaan yang didominasi kaum Kemalis dan kroninya. Merekalah yang menduduki posisi-posisi penting dalam AKP.
Pilar lain adalah kelas pemodal dari luar Istanbul-disebut borjuasi Anatolia-yang cenderung memiliki kultur religius. Mereka berhasil maju lewat pembangunan berorientasi ekspor sejak 1980-an dan berambisi menyaingi konglomerat besar berbasis di Istanbul yang dekat dengan kaum Kemalis yang sekuler. Kaum miskin pun menjadi pilar lain aliansi yang dipimpin AKP lewat kegiatan sosial dan amal yang dimungkinkan karena adanya uang pemodal Anatolia.
Di Indonesia, aliansi populisme Islam yang kohesif seperti ini tidak ada. Akibatnya, politik yang berlandaskan solidaritas umat semakin mudah menjadi mainan oligarki, seperti dijelaskan tadi. Elemen penting yang tak hadir adalah kelas pemodal besar Islam-karena dunia konglomerat cenderung dikuasai etnis Cina dan kroni peninggalan era Soeharto.
Partai politik Islam pun biasanya berbasis kelas menengah belaka. Sedangkan laskar-laskar yang mempunyai akses kepada kelas bawah banyak memakai mekanisme yang bersinggungan dengan dunia preman. Walhasil, walau berbagai elemen masyarakat dapat dimobilisasi bersama-misalnya dalam demo-demo anti-Ahok-loyalitas mereka belum tentu bisa dibina untuk waktu lama.
Karena itu, kekuasaan negara masih jauh dari gapaian populisme Islam; tidak seperti di Turki. Bahkan penguasaan terhadap civil society pun belum pernah tercapai, beda dengan Al-Ikhwan al-Muslimun di Mesir, misalnya. Dalam perkembangannya, Al-Ikhwan al-Muslimun juga disokong oleh aliansi masyarakat seperti di Turki, walau tidak dalam derajat koherensi yang sama. Kita mengetahui bahwa upaya Al-Ikhwan al-Muslimun untuk menerjemahkan kekuatan civil society menjadi dominasi pada negara berakhir dengan tragis. Di Indonesia, populisme Islam, sejauh berkembang, masih saja sulit melepaskan diri dari cengkeraman oligarki.
Vedi R. Hadiz
Guru Besar Kajian Asia, Asia Institute, University Of Melbourne, Australia
Keberhasilan bentuk populisme mana pun dewasa ini bergantung pada kemampuan merekatkan berbagai komponen masyarakat yang masing-masing memiliki kepentingan sendiri. Mereka turut dipersatukan lewat idiom dan simbolisme politik yang, setidaknya untuk sementara, seakan-akan melenyapkan perbedaan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo