Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Entah sudah berapa ribu kali si Badut mati. Tapi lagu itu bercerita tentang suatu fragmen di hari Jumat Kliwon, manakala si penyanyi siap-siap memandikan burung kesayangannya. Si Badut, perkutut itu, burung peninggalan Majapahit, berhak mendapat perlakuan istimewakita mendengar suara bariton si penyanyi menyusun argumen. Tapi istrinya ogah mengerti, seraya tak melihat jalan lain buat si Badut kecuali dua: dibiarkan bebas, atau disembelih. Hidup sudah melelahkan, dan tanpa merawat burung sekalipun seorang ibu rumah tangga harus main akrobat mengurus keluarga.
Perkutut lagu tahun 1970-an, dan kita tahu, dibawakan oleh duet Benyamin S.-Ida Royani dalam irama gambang kromong modern yang mengajak kita membayangkan sebuah keluarga Betawi. Ya, keluarga di sebuah rumah sederhana: ada sang istri sedang berjuang di dapur, ada suaminya lagi mematut-matut burung. Musik bertempo sedang. Di antara iringan drum ketimbang gendang, bas elektrik ketimbang gong, kita mendengar Benyamin menyeret lagu itu perlahan keluar konteks, lantas mendaratkannya persis di tengah-tengah tafsir yang erotis. Sangat asosiatif, ia mengalunkan lirik yang intinya kira-kira mengingatkan: ada "burung" lain di luar perkutut itu.
Di penghujung lagu, si Badut kembali ke sosok semula, seekor perkutut. Kita tahu Benyamin tak akan membiarkan burungnya terbang bebas, apalagi disembelih. Tapi nasib si Badut tak bagus: ia mati diterkam kucing. Tragis, namun suara Benyamin terdengar enteng, mungkin sedikit geli, menyaksikan usahanya yang begitu gigih mempertahankan makhluk kesayangannya gagal oleh kejadian yang tak pernah dibayangkan.
Perkutut jenis gambang kromong yang biasa dinyanyikan Benyamintokoh yang sepuluh tahun lalu telah berpulang, tapi hingga sekarang tetap "hidup" bersama film-film dan album-album lagunya. Sebenarnya Benyamin S., putra kelahiran Kampung Bugis, Kemayoran, bukan orang pertama yang membawakan gambang kromong. Ada Rachmat Kartolo dan Franz Daromez, dua penyanyi bersuara hebat, bertampang cakep, yang lebih dulu hadir di dunia itu tahun 1960-an. Tapi, dari perkembangan waktu, tersingkaplah bahwa wajah dan penampilan fisik ternyata bukan modal utama keberhasilan di dunia itu. Dan Benyamin membuktikan bahwa humor adonan inti musik itu. Segalanya tidak bisa diambil terlalu serius.
Humor Benyamin humor Betawi. Dia bisa berbentuk slapstick yang biasa kita dapatkan di sepanjang perjalanan film komedidari film bisu Charlie Chaplin dulu hingga Dono Warkop belakangan ini. Prinsipnya: pokoknya tak ada yang lebih lucu dari kesialan orang. Baik orang lain maupun diri sendiri. Dan perbedaan antara Dono Warkop, Charlie Chaplin, dan Benyamin mungkin terletak pada kemampuan Benyamin mengungkap itu sonder bahasa gambar sama sekali. Dalam album-albumnya, ia mengartikulasikan slapstick melalui bahasa yang lebih terbatas, bahasa musikal, bahasa lisan. Tentu, bahasa lisan yang sanggup melukiskan suasana dengan akurat.
Lagu Ondel-ondel adalah salah satu puncak humor jenis ini. Ondel-ondel jenis gambang kromong yang punya kekayaan ritme cukup melimpah. Dari liriknya, kita pun bisa menangkap setting kejadiannya yang unik: di sebuah arak-arakan pengantin sunat, ketika ondel-ondel jadi pemandangan yang menghibur. Tiga serangkai bapak-ibu-anak ondel-ondel pandai ngibing mengikuti tepukan gendang yang hot. Namun, panorama ini sekonyong-konyong menjadi tawar jika dibandingkan dengan kejadian yang lebih seru selanjutnya. Seorang penonton iseng, menaruh puntung rokok di atas kepala anak ondel-ondel, dan akibatnya spektakuler: sebuah hiruk-pikuk. Si anak jejingkrakan, api di kepalanya mulai berkobar, dan para pengiring pengantin sunat panik bukan kepalang. Dan puncaknya, seember air comberan memadamkan kepala yang berasap itu. Tapi penonton bukannya merasa lega. Mereka menyambut adegan itu bagian dari tontonan; mereka bersorak-sorai, horeee .
Humor Benyamin humor Betawi. Dia bisa berupa slapstick atau humor seks, sesuatu yang selalu disembunyikan, ditabukan, tapi menimbulkan tawa jika disentuh. Perkutut mengandung keduanya. Namun, di luar itu, gambang kromong Benyamin juga merupakan rekaman keadaan sehari-hari orang Betawi dengan setting gang-gang kecil di metropolitan, kampung-kampung lama yang rapat penduduk. Gara-gara Anak berbicara tentang dua tetangga berselisih setelah anak mereka berantem. Benyamin tangkas menangkap paradoks dari sebuah ironi: sementara kepala dan hati kedua tetangga masih panas, anak mereka sudah bermain bersama. Sedangkan lagu Tukang Kridit merekam pertengkaran tukang kredit dengan seorang ibu. Melalui tukang kredit, Benyamin membaca fenomena: orang begitu mudah mengutang, tapi begitu susah membayar cicilan.
Benyamin dan gambang kromong, dua sosok tak terpisah. Tapi gambang kromong bukan cinta pertama di dalam dunia musik. Gambang kromong adalah sebuah pintu belakang yang menyelamatkan Benyamin dari politik yang menuntut dan melarang. Pada tahun 1965, Koes Bersaudara masuk penjara gara-gara melanggar larangan membawakan lagu-lagu "ngak-ngik-ngok". Tapi itu tidak membuat Benyamin meninggalkan lagu-lagu seperti Blue Moon, Unchained Melody, dan My Way. Ia memutuskan terjun ke gambang kromong setelah Blue Moon yang dibawakannya dengan apik di sebuah klub malam di Kemayoran dikecam. Dan ia dituntut menyanyikan lagu yang punya identitas Indonesia (lihat, Potret Benyamin Apa Adanya).
Benyamin tak pernah sepenuhnya meninggalkan musik Barat. Pengamat musik progressive rock Denny M.R. menyebut: musik Benyamin dipengaruhi John Mayall, Led Zeppelin, Deep Purple, bahkan JethroTull. Denny mencium pengaruh John Mayall, tokoh blues kulit putih tahun 1970-an, dalam lagu Luntang-lantung. Luntang-lantung lagu yang berkisah tentang seorang pemuda yang putus asa mencari kerja. Perutnya keroncongan, jalannya sempoyongan. Tapi, ketika melepas penat di dekat sebuah rumah, ia disangka maling jemuran. Permainan bas dan biola dalam lagu Crying yang dibawakan kelompok John Mayall & Bluesbreaker memang hadir dalam Luntang-lantung, tapi dalam tempo lebih cepat. Benyamin juga mengikuti garis melodi yang sama. Ya, ia memetik ilham dari John Mayall, tapi kemudian mengembangkan dengan kreativitasnya yang acap mencengangkan.
Lagu Kesurupan mengingatkan kita akan tokoh musik kulit hitam James Brown. Dalam Soul Survivor, James Brown Story, sebuah narasi tentang perjalanan hidup dan musik "bapak moyang musik soul" ini, ia mengaku dengan suara serak: ada perasaan terluka ketika orang berteriak. Memang, suara Brown tidak melodius. Secara umum bisa dikatakan, musiknya hanya permainan irama yang teramat kaya. Teriakannya menyelinap di antara ketukan: terkadang mengejutkan seperti tembakan kanon, terkadang hanya menegaskan aksentuasi barisan peniup trombon, trompet, atau saksofon. Dan Benyamin melakukan hal yang sama dalam Kesurupan. Ia nyeletuk di antara dua ketukan, mendengus, berteriak, bahkan mencuri kesempatan buat nyerocos panjangpeluang untuk menembakkan humor.
Kesurupan bergerak dalam irama soul. Lagu itu dialog imajinatif antara Benyamin dan setan yang tiba-tiba menumpang di tubuh anaknya. Setan yang tersinggung lantaran pondokannya di pohon asem diusik, diinjak, dan ditendang sang anak. Setan bandel itu akhirnya angkat kaki, berjanji tak akan kembali lagi, setelah diusir dengan paksa. Di sepanjang lagu, Benyamin memperlihatkan spontanitasnya. Sementara dari tradisi musik gospel di Amerika ada James Brown yang biasa mendengus dan berteriak spontan, dari tradisi musik Betawi ada seorang Benyamin yang memiliki senggakan yang membuat musik bergelombang, tidak datar, tidak monoton.
Musik Benyamin: gambang kromong, blues, soul, keroncong, dan lain-lain. Dari instrumen yang digunakan, kita tahu gambang kromong punya peran dominan. Musik yang memadukan alat-alat musik Indonesia, Cina, dan perkusi Eropa. Namanya diambil dari dua alat Indonesia: gambang (xylophone) dan kromong (gong kecil). Tapi instrumen-instrumen musik yang digunakannya meliputi rebab dua senar, suling, gong, kendang, kecrekkadang masih ditambah gitar elektrik, klarinet, saksofon, organ dan gitar Hawaiian.
Orkes gambang kromong saat ini hanya bisa ditemukan di pinggiran Jakarta: di Kampung Dadap, Mauk, Sewan di Tangerang. Daerah-daerah tempat masyarakat Betawi dan Tionghoa sudah menyatu.
Ya, musik Benyamin musik gado-gado. Ia banyak mendengar, memetik pelajaran dari dunia di sekitarnya, kemudian menatanya kembali dalam bentuk baru. Di sepanjang perjalanan kariernya yang hampir 30 tahun, Benyamin bukan hanya berhasil mengukuhkan budaya Betawi bagian dari sebuah melting pot, budaya nasional. Ia juga sukses menjadikan budaya Betawi menjadi semacam counter-culture, paling tidak satu alternatif terhadap budaya asing. Dan kita mungkin terkejut melihat wajahnya menggantikan wajah klasik si revolusioner Che Guevara di dada anak-anak muda. Entah ini gejala counter-culture atau antihero, yang terang itulah wajah Benyamin Suaeb, putra Betawi yang lahir 5 Maret 1939 dan meninggal 5 September 1995.
Idrus F. Shahab
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo