Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada suatu siang yang terburu-buru. Sebuah sepeda motor DKW Hummel meluncur membelah lalu-lintas Jakarta. Dengan hati berdebar, Benyamin Suaebpengendara motor itubergegas menuju studio Dimita Records, menyerahkan lagu Nonton Bioskop kepada idolanya: Bing Slamet. "Ini, Bang, lagunya," kata Benyamin seraya menyerahkan secarik kertas kepada artis top era 1960-an itu.
Pertemuan dengan Bing Slamet pada 1968 itu titik sejarah penting bagi perjalanan karier Benyamin. Sebab, kejadian itu menjadi sumbu ledak bagi Bendemikian sapaan akrab pria kelahiran Jakarta, 5 Maret 1935, inisebagai penyanyi lagu khas Betawi. Setelah menyerahkan lagu ciptaannya untuk direkam Bing Slamet, Benyamin malah disarankan membawakan sendiri lagu ciptaannya itu. "Gua tahu lu bisa nyanyi, coba aja nyanyi," ujar Bing kala itu.
Peristiwa 37 tahun silam itu tercatat dalam biografi Benyamin, Muka Kampung Rezeki Kota, yang diluncurkan awal Juni lalu. Buku setebal 511 halaman terbitan Yayasan Benyamin Suaeb, Jakarta, itu menyuguhkan perjalanan Benyamin dari lahir hingga ajal menjemputnya. Menurut Benny Pandawa Benyamin, putra bungsu Benyamin sekaligus penggagas terbitnya buku itu, biografi tersebut menyuguhkan sosok utuh almarhum ayahnya. "Idenya muncul pada April 2003," katanya. "Buku itu terbit karena dorongan hubungan emosional dengan Babe," Benny menjelaskan.
Biografi itu dibuka dengan suasana tempat kelahiran Benyamin: Kampung Utan Panjang, Kemayoran, Jakarta. Sebuah perkampungan Betawi yang serba lugas, penuh canda, keceriaan. Lingkungan itulah yang banyak membentuk karakter Benyamin, humoris dan suka berceloteh riang. Benyamin merupakan bungsu dari delapan bersaudara pasangan Sukirman alias Suaeb dan Siti Aisyah. Kakeknya, Haji Ung, adalah tokoh Betawi terkenal, yang namanya kini terukir pada sebuah jalan di kawasan Kemayoran: Jalan Haji Ung. Kebanyakan orang melafalkannya "Jiung".
Lahir atas pertolongan dukun Saodah, Benyamin bercita-cita menjadi pilot, tapi ditentang sang ibu. "Takut nanti pesawatnya jatuh," kata ibunya. Sebelum menjadi penyanyi dan aktor film, lulusan SMA Taman Madya, Jakarta, itu pernah terdampar di beberapa tempat pekerjaan, dari kondektur bus kota, bagian amunisi peralatan TNI-AD, hingga pegawai PN Asbes Semen.
Sejak kecil Benyamin suka bermain musik. Bersama para abangnya, ia sempat membentuk grup musik dengan alat seadanya: drum minyak, kaleng biskuit, kotak obat. Sebelum dikenal sebagai penyanyi khas lagu Betawi, ia adalah penyanyi pop. Sempat bergabung dengan grup musik Melodi Ria yang berdiri pada 1957. Ia juga pernah bermain dengan dedengkot jazz Indonesia, Jack Lesmana dan Bill Saragih.
Kiprahnya dalam musik pop membawa Benyamin ke berbagai klub malam. Saat itu dia menyanyikan lagu-lagu Barat seperti Unchained Melody, Blue Moon, My Way. Tapi, apesnya, sebagaimana Koes Bersaudara yang dijebloskan ke penjara karena membawakan lagu-lagu The Beatles, Benyamin juga diganyang dan dilarang manggung di klub malam. Larangan membawakan lagu "ngak-ngik-ngok" atau lagu Barat itu dikeluarkan Presiden Soekarno pada 1965.
Ada peristiwa yang terus melekat di benak Benyamin berkenaan dengan larangan menyanyikan lagu-lagu Barat itu. Selagi asyik menyanyikan lagu Blue Moon di sebuah klub malam di Kemayoran, ia ditegur seorang wartawati harian sore pertama yang berhaluan kiri, Warta Bakti. "Kenapa nyanyiin lagu Barat, lu? Orang apa lu? Orang Indonesia? Kalau orang Indonesia, nyanyi musik Indonesia, dong!" pekik sang wartawati. Ketimbang menuai masalah, saat itu Benyamin banting setir menyanyi lagu-lagu keroncong. Hanya, pengunjung klub itu malah perlahan menyusut. Dan akhirnya sepi.
Benyamin tak patah arang. Sejak peristiwa itu, ia memutar otak. Sebagai jalan keluarnya, ia menyanyikan lagu-lagu khas Betawi dengan iringan musik gambang kromong. "Kalau tidak ada larangan Bung Karno, saya barangkali tidak akan pernah menjadi penyanyi lagu-lagu Betawi," katanya. Perlahan tapi pasti, namanya meroket sebagai penyanyi khas gaya Betawian.
Lagu-lagunya jenaka. Caranya menulis lagu, yang bisa lahir di mana saja, mungkin dapat jadi gambaran bahwa orang ini telah berusaha tampil apa adanya. Kekasaran dalam lirik-liriknya, irama yang ditemukannya, dan kadang kala kesentimentilan yang mencuat keluar dari lagu-lagunya, di samping merupakan ekspresi yang jujur juga merupakan satu cara supaya bisa komunikatif.
Dengan mengandalkan segi-segi wajar dalam lagu-lagu itu, kemudian Benyamin mencoba menitipkan sedikit pesan moral. Dengan gaya spontannya, ia berusaha menyentil kenyataan yang timpang sehari-hari. Dalam sekapur sirih Muka Kampung Rezeki Kota, Remy Sylado menulis, nyanyian-nyanyian Bang Ben merupakan ikhtisar sosial tentang Jakarta: jago kampung, ondel-ondel, kompor meleduk, copet, selebor, dan lin-lain.
Tapi, sejak 1980, Benyamin seolah tenggelam dari dunia musik. Banyak versi yang beredar seputar ketidakmunculannya itu. Mulai soal rumah tangganya bersama Noni Marhaeni hingga kesibukannya dengan pengajian Islam Jamaah-nya. Baru pada 1992, ia mengutarakan keinginannya bermain musik lagi kepada Harry Sabar. "Gua mau, dong, rekaman kayak penyanyi beneran," katanya. Maka, bersama Harry Sabar, Keenan Nasution, Odink Nasution, dan Aditya, jadilah band Al-Haj dengan album Biang Kerok. Lagu seperti Biang Kerok serta Dingin-dingin menjadi andalan album tersebut. Di album ini, Benyamin menyanyi dengan "serius". Inilah band dan album terakhir Benyamin.
Selain merekam sekitar 300 lagu (berduet dan menyanyi sendiri dalam periode 1964-1992), Benyamin juga membintangi sekitar 54 film. Dan ia sukses. Lewat film Intan Berduri (1973) dan Si Doel Anak Modern (1976), ia meraih Piala Citra sebagai Aktor Terbaik. Pada 1994, ia bermain dalam sinetron Si Doel Anak Sekolahan dengan celetukan khasnya, "tukang insinyur". Setahun kemudian, ia membintangi dua sinetron, Mat Beken dan Begaya FM.
Seniman serba bisa itu meninggal pada 5 September 1995. Detik-detik menjelang ajal menjemputnya digambarkan cukup rinci dalam Muka Kampung Rezeki Kota. Saat itu Benyamin tengah bermain sepak bola di sebuah lapangan di kawasan Lebakbulus, Jakarta Selatan. Tiba-tiba, di tengah pertandingan, ia mengeluh capek. Ia minta dipijitin. Ternyata, ia terkena serangan jantung. Ya, penggemar sepak bola itu meninggal ketika bermain olahraga kesenangannya tersebut.
Begitulah. Buku itu berupaya menyajikan Benyamin apa adanya. Juga sedetail-detailnya. "Sampai urusan tetes keringat Babe dicoba untuk diungkapkan," kata Benny Pandawa. Hanya, biografi bergaya tulisan reportase itukebetulan kedua penulis (Ludhy Cahyana dan Muhlis Suhaeri) memang pernah menjadi reporterterkesan ingin menjejalkan segudang data sang tokoh seniman Betawi itu. Termasuk daftar lagu dan film, serta bagan silsilah keluarga Benyamin. Alhasil, kepada kita seperti dihidangkan laporan panjang hasil reportase seorang wartawan.
Apa pun, sebagai debutan kedua penulis itu, Muka Kampung Rezeki Kota bisa dikatakan menarik dibaca. Setidaknya, bagi pencinta Benyamin yang sebelumnya mengenal sosok sang idola hanya sepotong-sepotong, dalam biografi itu sosok tersebut terajut dalam sebuah bingkai lumayan utuh.
Nurdin Kalim
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo