Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kawasan Kemayoran, terutama daerah Jiung, begitu padat oleh aktivitas pagi. Metromini 24, motor, mobil pribadi, bajaj, bus patas AC Mayasari Bakti jurusan Pulogadung-Tanjung Priok melintasi jalan padat di tepi Kali Sentiong yang hitam pekat, mirip cincau. Wilayah ini memang jadi jalan lintasan dari Sunter, Kemayoran, Senen, dan Cempaka Putih.
Persis di depan jembatan yang kukuh itu, terletak Jalan H. Ung, sering disingkat Jiung. Ketika sang jalan melintasi Kali Utan Panjang, tampak berderet rumah yang sudah dijadikan tempat usaha, bengkel, warteg. Di sebelah warung nasi ini berdiri rumah kerabat ibu Benyamin yang kabarnya akan dijual. Sekadar info, kebanyakan rumah yang ditempati keluarga besar Benyamin itu sudah beralih ke tangan pendatang. Kini tempat tinggal mereka sudah masuk gang.
Seorang tukang rokok menunjukkan detail lokasi wakaf Benyamin. Ya, Almarhum memberikan tanah wakaf seluas sekitar 150 meter persegi itu kepada masyarakat setempat untuk keperluan umum. Konon, Benyamin juga berpesan: kalau anak, cucu, dan keponakan hendak menikah, cukup di tanah wakaf itu saja.
Di atas tanah wakaf kini berdiri taman kanak-kanak Al-Quran (TKA) dan taman pendidikan Al-Quran (TPA) Al-Mawaddah. Di depannya tertulis "wakaf tanah almarhum H. Bunyamin Sueb. Jl. H. Ung RT 001/003. Utang Panjang, Kemayoran". Di tempat ini Benyamin menghabiskan masa kecilnya. Tentu waktu itu belum ada perosotan dan lantai semen. Selasa pekan lalu, sekitar pukul 11 siang, sekolah ini senyap, para siswa sudah pulang.
Tapi kenapa namanya menjadi Bunyamin, bukan Benyamin? "Itu salah. Anak Benyamin juga sudah protes sama lurah. Namanya kan Benyamin," ujar Cing Su, kakak ipar Benyamin, istri kakak lelakinya, almarhum Saidi. Cing adalah sebutan masyarakat Betawi untuk bibi. Perempuan yang kelihatan masih energetik di usianya yang beranjak 70 tahun itu tidak tahu bahwa nama Bunyamin Suaeb itu sesuai dengan akta dan diganti Benyamin ketika ia mulai tenar dengan alasan supaya mudah diucapkan (lihat resensi buku Muka Kampung Rezeki Kota dalam Potret Benyamin Apa Adanya).
Rumah Cing Su adalah tempat Benyamin tinggal. "Benyamin pernah tinggal di sini juga sampai anak-anaknya duduk di sekolah dasar," kata Cing Su. Dulu sekitar daerah itu berdiam sanak saudara: ibu Benyamin yang bernama Aisyah dan ayahnya, Suaeb. Anak-anak mereka Rohani, Muhamad Nur, Otto Suprapto, Rohaya, Munadji, Ruslan, Saidi, dan si bungsu Benyamin. Mereka semua sudah wafat. Saidi, kakak paling akrab yang juga pencipta lagu-lagu Benyamin, meninggal empat tahun lalu.
Tak ada foto Benyamin yang dipajang di rumah Cing Su. Yang ada malah foto Beim, putra Ben yang menjadi anggota DPD (Dewan Perwakilan Daerah), berdua dengan anak laki-laki Cing Su dan foto anak-cucunya. Cing Su mengeluarkan foto Benyamin, Saidi, dan dia ketika tahun 70-an, di antaranya perayaan ulang tahun Beibputra sulung Bendi tanah wakaf, dimeriahkan oleh Ida Royani, Frans Daromez dan band. Ironisnya, album itu sudah tak punya "baju"kendati masih dilindungi plastik bening pembungkusnya. Foto itu juga mengabadikan istri Ben, Noni, ketika belum bercerai. Beberapa ada yang sudah berjamur kena air.
Mungkin "peninggalan" Benyamin yang paling kentara adalah bakat seni yang juga mengalir pada keponakannya. Keponakan perempuannya, Ida dan Titin, waktu masih kecil suka diajak menyanyi. Kini, keduanya suka diminta tampil manggung menyanyi di acara pernikahan, diiringi organ tunggal, "Lagu Penganten Sunat dan Pilih Aje paling sering dinyanyikan," kata Ida.
Salah satu pendatang di kawasan itu, Tukio, 40 tahun, sudah bermukim sejak 1994. Ia buka usaha reparasi mesin jahit, tepat di depan gang tikus ke arah tanah wakaf, depan Kali Utan Panjang. Pria asal Jawa Tengah ini menikah dengan cucu kerabat jauh Benyamin. Menurut dia, keluarga istrinya tidak lagi dekat karena keluarga Benyamin menganut aliran Islam Jamaah. Katanya, yang bukan sealiran kesannya putus silaturahmi.
Tapi Bill Sandy, 70 tahun, seorang penjual nangka yang sudah 15 tahun mangkal tak jauh dari gang menuju tanah wakaf itu, ingat satu hal tentang tokoh ini. "Benyamin? Tahu namanya, pernah ada mobil yang beli nangka saya. Katanya, sih, buat Benyamin, tapi saya malah kagak liat mukenye. Di dalam mobil," katanya. Apa pun, setidaknya nama Benyamin masih bertahan pada tanah wakaf di atas dan jalan di sekitar arena Pekan Raya Jakarta, bekas lokasi Bandara Kemayoran.
Evieta Fadjar P.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo