Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Dari Utara ke Selatan

Sebuah konser gamelan kontemporer digelar di Bentara Budaya Bali. Empat kelompok gamelan memunculkan "pengetahuan baru".

1 Agustus 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bertempat di panggung terbuka Bentara Budaya Bali, 18 Juli lalu, konser musik internasional yang diikuti empat kelompok gamelan berlangsung. Pencetus gagasan konser adalah I Wayan Gde Yudane, komponis kelahiran Bali. Ia dalam pengantar menyatakan konser bertaraf internasional itu mengambil tema "North to South: An International Concert of New Music for Gamelan". Bagi masyarakat Bali, kata north diterjemahkan sebagai utara, gunung, atau suci, dan south diterjemahkan sebagai selatan, laut, atau sekuler. Dua kutub yang berbeda tapi memiliki kekuatan penting dalam konsep keharmonisan. Secara geografis, konser diwakili oleh kelompok gamelan dari Vancouver, Kanada (Utara), dan gamelan dari Selandia Baru (Selatan). Sedangkan dataran tengah diwakili kelompok gamelan dari Bali (Sekaa Wrdhi Swaram dan Gamelan Salukat).

Gamelan kontemporer Bali tak dapat dipisahkan dari adanya Pekan Komponis Muda di Taman Ismail Marzuki pada 1979. Kegiatan itu melahirkan komponis kontemporer seperti I Nyoman Astita (Eka Dasa Ludra), I Wayan Dibia (Kendang Sangkep), I Ketut Gde Asnawa (Kosong), I Wayan Rai S. (Trompong Beruk), I Nyoman Windha (Palapa), I Wayan Sadra (Beringin Kurung), dan I Wayan Yudane (Laya).

Di dunia Barat sendiri kini berkembang sejumlah kelompok gamelan yang masing-masing memiliki ciri khas tersendiri sesuai dengan ekspresi komponisnya. Saat dilaksanakan The First International Gamelan Festival di Vancouver (1986), saya melihat ada enam kelompok gamelan yang berkembang di Amerika Serikat, Kanada, Eropa, Jepang, dan Australia. Kelompok-kelompok itu terbagi dalam berbagai kecenderungan. Pertama mereka yang lebih tertarik mempelajari filosofi, etika, dan estetika gamelan serta nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Kelompok ini diwakili antara lain oleh Sekar Jaya (Berkeley), gamelan Universitas Hawaii, gamelan California Institute of Arts, gamelan Gita Sari (Holy Cross), dan gamelan Giri Mekar (Bard College). Belakangan kelompok-kelompok gamelan tersebut sudah memainkan lagu ciptaan baru.

Kedua, mereka yang menggunakan gamelan tradisional untuk memainkan komposisi baru berdasarkan musik kontemporer Barat dengan tetap mengedepankan ciri khas dari pola-pola gamelan, seperti konsep struktur kolotomik. Kelompok ini diwakili Dharma Budaya (Osaka), gamelan Son of Lion (New York), dan Galak Tika dari Massachusetts Institute of Technology (MIT).

Ketiga, mereka yang memakai instrumen baru yang diadaptasi dari gamelan untuk memainkan komposisi musik kontemporer berdasarkan pola-pola gamelan tradisional, semisal gamelan Si Betty dari San Jose State University. Sedangkan kelompok keempat adalah yang menggunakan instrumen baru untuk memainkan komposisi kontemporer berdasarkan musik kontemporer Barat, di antaranya gamelan Pacifica of Seattle, The Berkeley Gamelan, dan The Bay Area New Gamelan.

Ada juga kelompok kelima yang menggunakan alat-alat musik Barat (Symphony Orchestra) untuk memainkan komposisi yang berdasarkan bentuk dan warna gamelan, seperti ditunjukkan oleh Claude Debussy, Colin McPhee, dan Jose Evangelista, di samping kelompok keenam yang menggunakan segala instrumen penghasil bunyi untuk memainkan musik avant-garde, misalnya Banjar Grupe dari Berlin, Jerman.

Bila dikaitkan dengan penggolongan tersebut, gamelan yang ditampilkan dalam konser "North to South" di Bentara Budaya Bali adalah tergolong gamelan klasifikasi kedua, yaitu gamelan tradisional memainkan lagu ciptaan baru yang berdasarkan komposisi Barat dan Bali. Dalam konser "North to South" ditampilkan empat ansambel Bali yang unik, yaitu gamelan Taniwha Jaya dari Wellington, Selandia Baru, dengan menampilkan empat karya dengan empat komposer, yaitu Padhasapa karya Jason Erskkine, Delirious Euphoria karya Briar Prastiti, Headrush karya Gareth Farr, dan Shadows karya Anton Killin.

Pada 2003, ansambel Gong Kebyar memiliki instrumen seperti trompong, reyong, gangsa, kendang, dan gong, yang dibawa dari Bali ke Selandia Baru dan gamelan itu dibeli oleh seorang komposer, Gareth Farr. Gamelan yang diberi nama Taniwha Jaya itu kemudian menjadi wahana menyajikan lagu-lagu kontemporer. Ansambel Gong Kebyar juga dipadukan dengan violin, yang bukan hanya jadi pemanis lagu, melainkan juga jadi pembawa melodi dalam setiap sekuen gamelan terkait.

Karya-karya empat komponis itu tampaknya banyak dipengaruhi gaya gurunya, yaitu I Wayan Gde Yudane, yang menjadi dosen tamu dari kelompok Taniwha Jaya. Masuknya violin memberi ciri khas bagi gamelan itu. Interaksi instrumen trompong dan gender dengan violin menciptakan suasana yang apik dan anggun, mengantar penonton ke alam niskala. Bahkan Made Mangku Pastika menyatakan, sewaktu mendengarkan komposisi dari Selandia Baru ini, ia merasa seperti hendak trance, tergetar bebunyian yang hening dan ritmis.

Gamelan Gita Asmara (Vancouver) menampilkan komponis ternama, Michael Tenzer. Ia komposer yang terbilang lebih senior daripada komposer lain yang terlibat dalam konser itu. Komposisinya yang berjudul Sinar Jegog (Light of Jegog Ensemble, 1985), Situ Banda (Bridge of Monkeys, 1989), Puser Belah (Unstable Center, 2003), dan Buk Katah (Under Leaf, 2006) banyak mempengaruhi penciptaan komposisi baru gamelan Bali. Pada konser itu, sekaa Gita Asmara, yang dipimpin I Wayan Sudirana, menampilkan karya berjudul Sphinx garapan Michael Tenzer, yang dibayangi tarian improvisasi oleh koreografernya sendiri, yaitu Justine A. Chambers.

Ada kesan dari penonton bahwa tari modern yang ditampilkan itu lebih bersifat siluet, menggunakan ruang terbatas, gerakan rinci, penafsiran, dan watak tokoh mitologi Mesir yang menggambarkan makhluk berbadan singa berkepala manusia. Kendatipun diniatkan tari mengiringi musik, bukan musik mengiringi tari, Michael Tenzer, yang langsung memainkan kendang, selalu berinteraksi dengan cermat memberi makna pada tata gerak dan tata ruang yang diperagakan sang koreografer. Kendang dimainkan dengan mengintrodusir pola-pola ritmis tabla India, yang terkenal yang kompleks dan rumit.

Ketiga adalah gamelan Salukat dari Ubud, Bali, yang menampilkan komposer I Dewa Ketut Alit, komponis kontemporer Bali yang namanya cukup dikenal di Amerika Serikat dan sering bekerja sama dengan gamelan Galak Tika MIT, Boston. Sekaa ini didukung 25 penabuh, yang bermain menggunakan seperangkat gamelan Salukat, sejenis gamelan Semar Pagulingan yang memiliki tujuh nada pokok. Mereka menampilkan karya bertajuk Genetik.

Selain mengeksplorasi teknik gamelan Bali yang berpusat pada teknik kotekan, melodi, dan ritme-ritme yang kompleks, komposisi ini dituntun oleh matra pernapasan para penabuhnya. Instrumen penuntun matra yang disebut kajar tidak dimainkan sesuai dengan fungsinya, tapi dilakukan oleh penabuh dengan mengatur pernapasan seperti wanita melahirkan, dimulai dari tempo pelan, sedang, dan tiba-tiba cepat. Perubahan dinamika, cepat, lambat, keras, dan lirih dalam Genetik diperkaya dengan teknik kotekan atau pukulan yang saling bersahut secara rumit dan kompleks.

Selain menghadirkan keindahan dalam kekompleksan, Genetik menyuguhkan kesederhanaan dengan memainkan akor, nada-nada berjarak empat dan berjarak tiga, juga mengeksplorasi bunyi dua gong besar, tidak hanya memperkenalkan prinsip gelombang, getaran bunyi gong lanang (laki-laki) dan wadon (perempuan), tapi juga mengeksplorasi bunyi lewat torehan-torehan pada bagian perut kedua gong itu sendiri. Komposisi ini mengekspresikan pula bunyi-bunyian dari suling yang nadanya diatur rendah, menengah, dan tinggi.

Penyajian terakhir, gamelan Wrdhi Swaram mengusung lagu Water karya I Wayan Gde Yudane. Musik garapan Yudane ini mengalir dari hulu ke hilir, North to South, kaja ke kelod, dan bolak-balik ke pusar sentrifugalnya. Instrumen-instrumen gamelan Bali yang sudah ditentukan fungsinya, seperti gangsa pembawa melodi, reyong pembawa ritme kotekan (pukulan saling-kait), dan kendang pengatur dinamika, di tangan Yudane diubah menjadi capaian baru. Gamelan Bali yang lazimnya bersifat heterofoni, yaitu satu melodi dengan lapisan orkestrasi yang berbeda-beda, kini dijadikan musik polifoni yang banyak melodi, mencerminkan kemampuan sang komposer menciptakan orkestrasi alternatif pada musik untuk gamelan.

Sepanjang pertunjukan berdurasi satu setengah jam itu, para penonton terbawa oleh aneka bebunyian yang bersifat kontemplatif dan meditatif sekaligus memperoleh pengetahuan baru bagi pengembangan gamelan Bali. Tak aneh bila penonton banyak yang menyatakan "an excellent concert".

Profesor Dr I Made Bandem, Entomusikolog

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus