Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Dulu Pagi Saya Dinas Tentara, Malam Latihan Teater ....

Amoroso Katamsi belum berhenti berteater. Meski jalannya tertatih, ia masih mampu berakting dalam pentas monolog bertajuk Meniti 77, Mengalir dalam Kehidupan di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat, Jumat dan Sabtu dua pekan lalu. Di usianya yang akan memasuki 77 tahun pada Oktober nanti, dia lancar membawakan monolog karya Putu Wijaya berjudul Hero. "Saya kangen naik panggung lagi," katanya.

Dunia teater telah digeluti Amoroso sejak 1961, saat dia menjadi mahasiswa di Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Pria kelahiran Jakarta, 21 Oktober 1938, ini mengawalinya dengan masuk kelompok teater pimpinan W.S. Rendra, Studi Grup Drama Jogja. "Tahun 1990-an saya pentas bersama Teater Kecil (sutradara Arifin C. Noer) membawakan lakon Sumur tanpa Dasar," ujarnya. "Itu terakhir saya naik panggung."

Dunia Amoroso bisa dibilang unik. Selain sebagai aktor, di masa aktifnya ia dikenal sebagai dokter dan perwira militer sekaligus. Kehidupan seniman dan militernya bisa dijalaninya tanpa berbenturan. Senin sore itu, kepada Seno Joko Suyono, Subkhan, dan Nurdin Kalim dari Tempo di rumahnya di Perumahan Margahayu Jaya, Bekasi Timur, Jawa Barat, ia mengenang perjalanan teater dan karier kemiliterannya.

26 Januari 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Saya mulai main teater pada 1961. Awalnya saya mengikuti lomba deklamasi di Yogyakarta. Jurinya saat itu Mas Willy (panggilan Rendra). Selesai lomba, Mas Willy bertanya ke saya: "Dik, gelem main sandiwara?" Saya jawab mau. Mas Willy bilang, "Besok ke rumah saya, ya?"

Saat itu Mas Willy tengah mempersiapkan pentas Oedipus. Kelompok teater Mas Willy bernama Studi Grup Drama Jogja. Anggotanya antara lain Arifin C. Noer, Dedi Soetomo, dan Suparto Tegal. Kebetulan Mas Willy membutuhkan pemain untuk adegan seorang pemimpin rakyat yang berbentuk kor. Saat pertunjukan itu dibawa ke Jakarta, saya menggantikan Suparto Tegal, yang sebelumnya menjadi Creon.

Seingat saya, pada 1964, Mas Willy ikut menandatangani Manifesto Kebudayaan (Manikebu). Seniman yang menandatangani Manikebu kalau mau menggelar pentas pasti dipersulit. Kita enggak bisa pentas. Kami yang dulunya berasal dari Studi Grup Drama Jogja akhirnya berpencar ke mana-mana. Saya dan Arifin C. Noer ke Teater Muslim, yang dipimpin Muhammad Diponegoro.

Saya ingat waktu itu banyak seniman membentuk teater berbasis agama agar memiliki backing. Darmanto Jatman membuat grup Teater Kristen di Semarang. Jasso Winarto bikin grup Starka, kependekan dari Studi Teater Katolik. Chaerul Umam di Pekalongan bergabung dengan grup Teater Cuiri.

Di Teater Muslim, saya memainkan Iblis karya Mas Dipo (Muhammad Diponegoro) dan Telah Pergi Ia Telah Kembali Ia karya Arifin C. Noer. Pada 1965, lakon Iblis dibawa ke Jakarta. Kami bermain di lantai bawah Masjid Al-Azhar. Seharusnya Mas Dipo ikut, tapi dia tidak bisa berangkat, lalu diserahkan kepada saya dan Taufik Effendi. Saya menyutradarai Iblis bersama Taufik Effendi. Taufik pada zaman pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono menjadi Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara. Dia ikut Partai Demokrat.

Membagi waktu antara kuliah kedokteran dan teater saat itu memang agak gila. Jadi, pagi saya kuliah, sore praktikum, malamnya berlatih teater. Teater Muslim dulu berlatih di alun-alun utara di dekat masjid atau di rumah Mas Dipo di Kauman. Juga di Sekolah Muhammadiyah dekat Ngabean. Selama bergabung dengan Teater Muslim, saya terlibat dalam sekitar 10 lakon.

Saya lulus dokter pada 1966. Umur saya 28 tahun. Saat itu Mas Willy juga baru pulang dari Amerika. Dia mau bikin teater lagi. Dia datang ke rumah saya di Baciro: "Dik, yuk bikin grup lagi." Saya bilang: "Mas, saya sudah lulus. Saya sudah di Angkatan Laut." Ketika itu saya memang sudah diangkat jadi letnan. Jadi, tatkala sudah sarjana kedokteran atau doktorandus, saya mendaftar ke AL. Karena sudah sarjana, diangkat jadi letnan.

Karena itu, ketika Mas Willy membentuk Bengkel Teater, saya hanya bisa membantu di awalnya. Saya hanya bisa membantu menghubungi teman-teman, menyampaikan kabar Mas Willy mau membikin teater lagi. Sewaktu pembentukan, ada Moorti Poernomo, Azwar A.N., Bakdi Soemanto.

Sebagai letnan Angkatan Laut, pertama kali saya ditempatkan di Surabaya. Saya masuk latihan militer tujuh bulan. Tiga bulan pertama di Malang selatan. Waktu itu istri saya, Pranawengrum, tidak ikut ke Surabaya. Saat itu saya sudah nikah.

Saya ketemu Pranawengrum pada 1961. Saya mewakili mahasiswa Yogya untuk lomba deklamasi pekan seni mahasiswa di Bali. Pranawengrum mewakili untuk kompetisi menyanyi seriosa. Ke Bali waktu itu naik kereta. Tatkala saya naik, sudah ada teman saya, deklamator Erna Harningastuti, duduk bersama Pranawengrum. Kebetulan bangku di sebelah mereka kosong. "Kene wae, Dik (duduk sini saja, Dik)," kata Erna. Itu awal pertemuan saya dengan Pranawengrum. Dia saat itu kuliah jurusan sosial politik.

Di Surabaya, saya ditempatkan di kapal patroli fregat Ngurah Rai. Hampir dua tahun lebih. Pada 1969, saya dipindahkan ke Semarang. Lalu, pada awal 1970-an, saya ditempatkan di Dinas Jawatan Kesehatan Angkatan Laut Mabes AL Jakarta dengan pangkat mayor. Saya jadi Kepala Bagian Personalia dan Pendidikan.

Nah, di Jakarta itu, Desember 1973, saya menyempatkan diri menonton pementasan Mas Willy, Mastodon dan Burung Kondor, di Istora Senayan. Sewaktu memberikan ucapan selamat kepada Mas Willy di belakang panggung, saya ketemu Arifin C. Noer. Arifin bilang: "Lho, Amoroso, kamu di sini sekarang? Ikut aku yuk, aku sekarang punya teater, namanya Teater Kecil." Keesokan harinya saya ke Taman Ismail Marzuki melihat latihan Teater Kecil. Waktu itu Arifin lagi latihan. Naskahnya berjudul Kucak Kacik.

Sejak itu, saya bergabung dengan Teater Kecil. Saya aktif ikut main dalam pementasan Teater Kecil Kucak Kacik, Dalam Bayangan Tuhan, Sumur tanpa Dasar, Sandek Pemuda Pekerja, dan sebagainya. Saya tidak pernah main di luar Teater Kecil sejak itu hingga Arifin meninggal pada 1995. Pada saat bersamaan, saya tetap aktif dalam kedinasan. Pagi saya dinas tentara, malam saya di teater. Kalau saya dinas luar, tentu saya tak bisa ikut pementasan. Tapi saya tetap membantu yang kecil-kecil, seperti ikut main gitar, jimbe, atau perkusi. Yang memang agak terganggu adalah jadwal praktek dokter saya, yang sama-sama malam hari.

Awalnya atasan saya di AL tidak tahu saya pemain teater. Tapi, karena banyak ditulis di koran, akhirnya mereka jadi tahu. Prinsipnya, saya selalu berdisiplin di dinas saya. Bila ada kegiatan kesenian di dinas, saya sempatkan ikut. Istri saya yang penyanyi juga ikut. Saya bermakna juga bagi mereka. Jadinya atasan enggak keberatan.

Selain berteater, saya sesungguhnya juga aktif dalam paduan suara. Saya dan istri bergabung dalam paduan suara. Saat saya masih di Yogya, grup paduan suara yang saya ikuti adalah Pusat Olah Vokal Jogja pimpinan Nortier Simanungkalit. Paduan suara ini kemudian ganti nama menjadi Tri Ubaya Cakti. Waktu itu Angkatan Darat sedang gencar memasyarakatkan doktrin Tri Ubaya Cakti. Oleh Panglima Kodam Diponegoro, saat itu paduan suara dipakai untuk acara-acara Kodam.

Saya ingat, saat Ganefo, saya mempelajari lagu-lagu beragam bangsa, lagu Korea (Amoroso tiba-tiba menyanyikan beberapa bait syair Han Geul dari Korea Utara). Lagu Filipina, India, dan sebagainya.Suara saya kebetulan bariton, sedangkan istri saya sopran. Saya suka sekali lagu-lagu Cornell Simanjuntak. Saat pindah ke Jakarta, saya bergabung dengan Paduan Suara Ibukota pimpinan F.X. Soetopo. Kemudian bergabung dengan Paduan Suara RRI pimpinan Binsar Sitompul.

* * * *

Selain berteater dan ikut paduan suara, sejak 1970-an Amoroso terjun ke dunia film. Film pertama yang dibintanginya berjudul Darah Ibuku arahan sutradara S.A. Karim. Setelah itu, dia bermain dalam belasan film, antara lain Cinta Abadi (sutradara Wahyu Sihombing), Terminal Cinta (Abrar Yusa Biran), serta Yuyun: Pasien Rumah Sakit Jiwa, Serangan Fajar, Pengkhianatan G30S/PKI, dan Jakarta 1966 (Arifin C. Noer). Tahun ini dia membintangi film Di Balik 98, yang disutradarai Lukman Sardi.

Sejak bermain dalam Pengkhianatan G30S, Amoroso identik dengan peran sebagai Soeharto, presiden di masa Orde Baru. Dia juga berperan sebagai Soeharto dalam Jakarta 1966 dan Di Balik 98. "Awalnya saya hanya calon pemain cadangan sebagai Soeharto dalam film Pengkhianatan G30S," kata purnawirawan TNI AL dengan pangkat terakhir laksamana pertama ini.

* * * *

Momen paling berkesan adalah saat disutradari oleh Arifin C. Noer dalam film Pengkhianatan G30S/PKI. Sebab, itu pertama kalinya saya jadi pemeran utama. Waktu itu Arifin bilang: "Amoroso, kamu saya cadangkan, saya mau cari yang lebih mirip." Kurang tiga bulan syuting, Arifin tidak menemukan aktor yang mirip Soeharto. Akhirnya diputuskan saya yang mendapat peran. "Kamu harus observasi sehingga ketidakmiripan itu bisa ditutup dengan akting," begitu kata Arifin.

Saya mengobservasi Pak Harto mulanya lewat tulisan, foto, rekaman suara, televisi, dan sebagainya. Saya kemudian mendapat kesempatan bertemu dengan Pak Harto di Tapos. Saat ke Tapos, saya mengenakan seragam tentara lengkap, agar memudahkan semua. Saya kemudian ikut keliling Pak Harto bersama ajudan-ajudannya.

Saat di Tapos itu, Pak Harto menerima seorang tamu dari Australia yang membicarakan usaha peternakan sapi. Saya baru tahu ternyata bahasa Inggris Pak Harto lancar. Kepada Pak Harto, saya tidak bertanya langsung soal peristiwa 1965. Saya hanya mengamati dan belajar gesture Pak Harto. Saya berusaha mencocokkan imajinasi saya tentang beliau dan kenyataannya.

Setelah memerankan Pak Harto, saya memang sempat ketemu dia. Tapi tidak ada komentar mengenai peran saya. Justru malah Bu Tien yang berkomentar: "Kowe kok iso to ya, padahal ora kenal suwe to? (Kamu kok bisa memerankan Soeharto, padahal belum kenal lama)."

Setelah film G30S, saya masuk ke Institut Kesenian Jakarta. Rektor IKJ saat itu, Pak Slamet Danusudirjo, meminta saya. Dia mayor jenderal Angkatan Darat, juga seorang novelis yang nama samarannya Pandir Kelana. Dia butuh pembantu rektor III untuk membantu mengurusi mahasiswa yang suka demo. Dia kenal saya sebagai tentara yang suka berkesenian. Saya bilang saya siap, tapi mohon sampaikan ke atasan saya. Di IKJ itu, lalu saya diminta Wahyu Sihombing dan Tatiek Maliyati mengajar di jurusan teater.

Kemudian, pada 1991, saya diminta menjadi Direktur Perusahaan Film Nasional (PFN). Saya dihubungi oleh Wiranto, yang waktu itu masih ajudan Pak Harto. Pangkat kami sama-sama kolonel. "Nuwun sewu, kula minta CV panjenengan," kata Wiranto via telepon. Lalu saya serahkan CV saya kepada Wiranto. Dua hari kemudian, saya dipanggil Menteri Penerangan saat itu, Harmoko. Kebetulan PFN di bawah Harmoko. Kata dia, "Atas pesan Pak Harto, Anda diangkat menjadi Direktur PFN," ujarnya. Saya jadi Direktur PFN mulai 1991 sampai 1999.

Saya sesungguhnya agak malu dengan pekerjaan saya di PFN. Saat saya masuk, perfilman sedang turun, biaya dari pemerintah tak ada. Saya hanya meneruskan program lama, seperti program Si Unyil. Film layar lebar satu-satunya yang saya bikin di PFN adalah soal taruna Angkatan Laut. Yang main Nurul Arifin dan Ongky Alexander. Saya malu karena tidak ada yang "wah" betul kerjaan saya di sana. Waktu itu saya hanya mencoba mempertahankan PFN jangan sampai mati.

Ketika di PFN pada 1994, sebetulnya saya ingin membuat film tentang Trikora. Skenarionya ditulis oleh Misbach Yusa Biran. Saya menghadap Pak Harto untuk keperluan anggaran. Film G30S/PKI dan Jakarta 66 sebelumnya semua dibiayai pemerintah dengan dana Banpres atau dana yang lain di luar Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Skenario Trikora dibaca betul oleh Pak Harto. Pak Harto sampai kasih catatan-catatan dalam skenario itu.

Tapi kemudian Pak Harto bilang: "Sekarang ini negara sedang sulit. Bukannya film itu tidak penting, tapi kali ini bukan prioritas. Cobalah cari kerja sama dengan swasta." Tapi saat itu susah sekali mencari kerja sama dengan swasta.

Tahun ini saya kembali mendapat peran sebagai Soeharto dalam film Di Balik 98 yang disutradarai Lukman Sardi. Jadi saya sudah tiga kali berperan sebagai Soeharto. Pertama dalam film Pengkhianatan G30S/PKI, kedua Jakarta 66, dan ketiga Di Balik 98. Saat menjadi Soeharto dalam film pertama dan kedua tidak begitu sulit. Kebetulan saya tentara juga. Jadi karakter enggak usah cari-cari lagi. Di film terakhir, saya memerankan karakter Soeharto sudah tua. Tapi, alhamdulillah, juga enggak sulit karena saya kan juga sudah tua, ha-ha-ha….

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus