SEBENARNYA sedikit sekali terjadi pelarangan buku di masa
Orde Baru, oleh Kejaksaan Agung--lembaga yang berwewenang. Pada
1971 buku Prof. Dr. Slametmulyana, Runtuhnya Kerajaan Hindu Jawa
dan Timbulnya Kerajaan Kerajaan Islam di Nusantara, dinyatakan
dilarang dengan alasan bisa meresahkan --oleh isinya yang
kontroversial: pemberian porsi sangat besar kepada peranan
kalangan Cina dalam pengislaman Nusantara dalam sejarah. Juga
pernyataan bahwa para wali di Jawa orangorang Cina.
Ketika pleidooi Herry Achmadi, mahasiswa ITB yang diadili
berkenaan dengan kerusuhan mahasiswa 1974, diterbitkan, larangan
dikeluarkan--dengan hanya alasan teknis: tanpa izin. Kemudian
ada pula pelarangan terhadap buku Christianto Wibisono,
Wawancara Imajiner dengan Bung Karno.
Buku berikutnya, yang tadinya banyak disangka dilarang--Bumi
Manusia, Pramoedia Ananta Toer--ternyata tidak. "Bukan dilarang
istilahnya," kata Kepala Humas Kejaksaan Agung, M.A. lomasouw
kepada TEMPO. Sebab pelarangan pemakaian maupun penyimpang annya
hanya terbatas di kalangan Departemen P&K--oleh Menteri P&K
sendiri, diatasnamai oleh Sekjen departemennya, Soetanto.
Bila hal itu toh mengejutkan, agaknya justru disebabkan
karena pelarangan di masa kini, untuk kalangan intern sekali pun,
sebenarnya tidak berdasar nama orang -- berbeda dengan dulu. Yang
menarik ialah: pelarangan di masa Soekarno terbesar dikeluarkan
oleh Departemen Pendidikan Dasar dan Kebudayaan (waktu itu).
Harian Rakyat, terompet PKI, memuat daftar 92 buku karangan
13 orang "kanan". Sebagian terbesar memang buku-buku sastra.
Tapi dari Prof. Takdir Alisjahbana misalnya juga dilarang satu
buku tentang museum, satu tentang filsafat, dua tentang
kebudayaan, tiga tentang bahasa Indonesia dan bahasa daerah,
satu tentang kedudukan adat dan dua jilid buku pelajaran
tata-bahasa Indonesia -- di samping novel-novel.
Dari Hamka dilarang juga buku--selain novel--bimbingan hidup
berjudul Pribadi dan empat buku kenangan-kenangan perjalanan --
dari Mesir, Irak, AS dan Malaya (waktu itu).
Sudah tentu semua buku H.B. Jassin dilarang. Juga buku
telaah (Dr.) Boen S. Oemarjati, dan buku-buku non-sastra Mochtar
Lubis Pers dan Wartawan, Teknik Mengarang dan Tekrik Mengarang
Skenario Film. Tak terkecuali tulisan Wiratmo Sukito, sebuah
karya filsafat Renungan tentang Sejarab. Bahkan sebuah riwayat
hidup tulisan M. Balfas, Dr. Tjipto Mangunkusumo Demokrat
Sejati, ditambah buku-buku fiksi karya para pengarang lain.
Pelarangan berdasarkan nama orang di masa PKI itu, dilakukan
lagi di masa permulaan Orde Baru. 30 November 1965, Menteri PDK
melarang 70 judul buku karangan Lekra--khususbahasa dan sastra
plus satu buku nyanyian. Selain itu melampirkan 87 nama penulis
Lekra. Tim pengawasan ajaran komunisme yang dibentuk Pemda DCI
(waktu itu) Jakarta, kemudian melarang.untuk wilayahnya 174
judul yang hanya 13nya buku sastra, plus 23 majalah.
Ada bedanya antara pelarangan terhadap buku-buku orang
"kanan" dan pelarangan oleh pemerintah Orde Baru. Pelarangan
terakhir itu dilakukan di masa peralihan. Sedang yang pertama
tidak. Berbeda lagi dengan pelarangan di tahun-tahun terakhir.
Pihak Kejaksaan Agung sendiri, terhadap buku Pramoedya Bumi
Manusia, paling jauh hanya masih dalam tahap meneliti -- seperti
dituturkan Humas Tomasouw. Bahkan larangan yang terjadi secara
lokal --di Medan, terhadap majalah Sastra yang memuat cerita
Kipanjikusmin langit Makin Mendung, 1968, tidak diambil-alih
Kejaksaan agung .
Chairil Anwar
H.B. Jassin, yang "babak belur" diganyang Lekra dan
kalangannya dahulu, memang orang yang dingin. Terhadap Bumi
Manusia misalnya, "saya melihat Pram lebih banyak bercerita
tentang sejarah Indonesia, tentang kemanusiaan dan kekuasaan
saat itu. " Artinya: bukan politik.
Terhadap buku-buku Lekra yang dilarang 1965, Jassin memang
melihat ajaran komunisme maupun semangat "kiri" yang meluap --
yang olehnya sendiri, juga secara meluap, dihantamnya dalam
bukunya Angkatan 66. Buku Bakri Siregar Sejarah Kesusastraan
Indonesia Modern misalnya, "amat menguntungkan sastrawan kiri
dan menganggap sastrawan yang dilahirkan Balai Pustaka kelompok
burjuis." Bahkan buku Pram Sekali PeristiqlJa di Banten, yang
dinilainya "ada pergeseran ke kiri" -meskipun Jassin secara
pribadi menganggap Pram "seorang humanis yang tidak sabar, lalu
terperangkap dalam Lekra dan dijadikan alat".
Hanya, banyak sekali di antara buku buku Lekra tersebut
sebenarnya "tidak ada apa-apanya". Bahkan, menarik, di antara
buku yang dilarang misalnya adalah Tiga Menguak Takdir, kumpulan
sajak dari antara lain Rivai Apin yang Lekra. Padahal dua
pengarang lain dari buku itu adalah Chairil Anwar dan Asrul
Sani.
Dengan pelarangan -- tanpa seleksi lagi--seperti di
universitas dan sekolah itu, kata Jassin, "kita bisa menjadi
tidak tahu apa-apa tentang sastra kita sendiri, dibanding orang
luar negeri". Memang agak repot.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini