TAHUKAH anda, di Alun-alun Desa Delanggu Ja-Teng, 17 Agustus lalu telah dipentaskan sebuah "lakon ketoprak tapi bukan gaya ketoprak"? Atau, di Pendopo Kabupaten Cirebon, 28 dan 30 Oktober dipentaskan dua lakon sandiwara? Berita semacam itu sejak Juli lalu dicoba dikumpulkan -- lewat surat-menyurat atau cara lain -- oleh anggota Teater Kecil. Kemudian disebarkan kembali lewat kronik Teater yang terbit sebulan sekali. Nomor pertama OO/Juli 1980, dicetak 400 eks. Nomor 3, Oktober, oplahnya sudah naik 700 eks. Jumlah halaman tak tertentu--tergantung banyaknya berita dan artikel. Nomor 1 hanya 6 halaman dan nomor kemudian 8 halaman. Buletin ini disebarkan kepada siapa saja gratis. Menurut Embi C. Noer--adik Arifin yang sudah beberapa kali membuat ilustrasi musik film--penerbitan itu dimaksud setidaknya sebagai catatan. "Supaya kegiatan teater kita punya jejak yang jelas, yang kelak bisa dijadikan titik-tolak," ujarnya, mengutip abangnya. Arifin sendiri menerbitkan lembar stensilan berukuran foIio itu karena gagasan Komite teater Dewan Kesenian Jakarta untuk menerbitkan buletin teater, tak pernah jalan. "Biaya, sih, ada. Tapi tidak ada tenaganya," ujar Wahyu Sihombing, bekas anggota Dewan Pimpinan Harian DKJ. Dan setelah Arifin jalan sendiri, kata Sihombing: "Saya heran dan kagum. Biayanya 'kan besar itu?" Arifin memang menyediakan sendiri dana untuk usaha itu, mula-mula. Dan seperti diduganya, kemudian bantuan datang, dari orang-orang teater: ada yang kirim uang, kertas atau prangko. Untuk nomor awal dibuang sekitar Rp 30 ribu. Dengan naiknya oplah, nomor Oktober memakan biaya Rp 35 ribu (ini belum termasuk ongkos pengiriman). Tidak Menyontek Tiadanya buletin khusus yang memberitakan kegiatan kescnian, dan tak semua kegiatan bisa ditampung media massa, gagasan Arifin ini agaknya merupakan jalan keluar. Bahkan penari/koreografer Sardono W. Kusumo sertamerta menirunya. Bulan lalu Akademi Tari Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta -- tempatnya mengajar -- telah menerbitkan kronik serupa dalam Didang tari, bernama Berita Tari. Sementara ini baru dicetak 150 eks, 8 halaman, dengan biaya Rp 16 ribu dan terbit sebulan sekali. Pun DKJ Oktober lalu menerbitkan stensilan Bulletin, tengah bulanan 15 halaman, berukuran kuarto. Isinya: sejumlah kegiatan yang diselenggarakan DKJ. Baru distensil sekitar 200 eks, dengan biaya sekitar Rp 50 ribu. Ide buletin ini konon tercetus dalam pertemuan pihak DKJ dengan sejumlah seniman dan budayawan yang mengritik DKJ beberapa waktu lalu. "Jadi tidak menyontek buletinnya Teater Kecil," kata Djoko Quartantyo, mahasiswa LPKJ, yang menangani Bulletin. Dari kalangan seniman sendiri, terdengar tanggapan positif - terutama untuk Teater. Setidak-tidaknya itu dianggap sebagai media tempat berkomumkasi antar berbagai grup teater dari berbagai daerah: bahwa di sana-sini grup anu dan itu mengadakan pementasan pada tanggal sekian. Meski tanpa bukti foto, tentu. Tentang lembaran ekstra yang memuat misalnya, terjemahan buku Martin Esslin, Theatre of The Absurd, dan terjemahan metode latihan Jerzy Grotowski dari Towards a Poor Theatre, ada komentar pro-kontra. Ada yang menganggap tulisan semacam itu bukan kebutuhan masyarakat teater kita. Dan dikhawatirkan hanya akan memancing makin banyaknya para epigon -- yang hanya meniru kulitnya tanpa tahu isi sebenarnya. Soalnya ada yang lebih penting daripada itu. Sardono, misalnya, melihat selama ini gerak kehidupan teater kita vertikal saja, dari atas ke bawah. Dari para senior ke junior. "Seakan-akan itulah teater kita yang resmi," katanya. Padahal para teaterawan yang baru tentu punya sikap dan persoalan yang berbeda, yang juga sah. "Dan itulah yang harus dikembangkan," katanya lagi. "Penting untuk mendengar bagaimana sikap teater mereka." Tapi buletin itu memang baru nomor perintisan. Menurut orang-orang Teater Kecil, sudah ada rencana, tahun depan Teater akan dicetak dan bentuknya seperti koran. Isinya pun, tentu saja, akan terus berkembang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini