SACHI, istrinya, pernah mengatakan bahwa ketika mereka menikah
kehidupan di luar perikanan tak terpikirkan olehnya. "Saya
mengira orang ini mungkin akan jadi boss Federasi Koperasi
Nelayan Nasional. Tapi tak pernah saya bermimpi bahwa dia akan
jadi perdana menteri."
Zenko memang dilahirkan dan dibesarkan dalam lingkungan
perikanan. Ayahnya, Zengoro Suzuki, punya bisnis di bidang itu,
memiliki sejumlah perahu dan jadi majikan kaum nelayan di
wilayah (prefektur) Iwate, sebelah utara Jepang. Dan sang anak
memilih jurusan perikanan dalam studinya, dengan harapan akan
bisa memperbaiki nasib masyarakat lingkungannya.
Setelah lulus dari Institut Perikanan Kekaisaran, sesuai dengan
cita-citanya, dia bekerja pada sosiasi Perikanan Jepang Raya.
Dia ikut menyusun gerakan koperasi kaum nelayan. Sekitar waktu
itulah dia menjumpai Sachi, putri seorang kepala sekolah
perikanan.
Tapi Zenko Suzuki, yang dihidangi nasi tumpeng guna
memperingati 70 tahun usianya di Taman Mini Indonesia Indah (11
Januari) juga tertarik pada soal politik sejak di bangku
kuliah. Maka seringkali ia menghilang dari asrama mahasiswa pada
malam hari untuk mendengarkan tokoh politik berpidato. Walaupun
pendiam, dia sendiri mahir berbicara di kampus.
Selagi bekerja di asosiasi tadi, pemuda Suzuki suka lewat di
depan Diet (parlemen). Menunjuk ke gedung itu, dia mengatakan
pada teman-temannya: "Saya akan hadir di situ selusin tahun
lagi." Memang itu jadi kenyataan.
Sebagai calon Partai Sosialis dari wilayah pemilihan Iwate,
Suzuki berkampanye. Tak mudah baginya. Namun dengan bantuan kaum
nelayan setempat ia terpilih ke parlemen, April 1947, dalam usia
36 tahun. Di antara orang muda lainnya yang terpilih pertama
kali bersamanya waktu itu ialah Kakuei Tanaka (kini bekas PM)
dan Yasuhiro Nakasone (kini anggota kabinet Suzuki).
Tapi Partai Sosialis itu hanya sebagai batu loncatan baginya.
Kemudian dia menyebeang ke suatu partai yang konservatif.
Dengan payung konservatif, Suzuki memenangkan lebih banyak uara
dalam pemilihan umum berikutnya.
Tahun 1955, Liberal dan Demokrasi, keduanya partai konservatif,
bergabung menjadi LDP (Liberal-Democratic Party) yang sampai
kini berkuasa. Para anggota partai ini yang duduk di parlemen
adalah campuran bekas birokrat dan karir politikus. Para
politikus bekas birokrat itu -- biasanya lulusan Universitas
Tokyo atau Kementerian Keuangan -- disebut golongan elite yang
punya kesempatan lebih besar untuk menjadi PM.
LDP waktu itu terpecah dalam dua fraksi, masing-masing dipimpin
Hayato Ikeda dan Eisaku Sato. Sedang Suzuki memihak Ikeda yang
banyak didukung oleh anggota parlemen bekas birokrat.
Semula dikira Suzuki yang bukan bekas birokrat tak akan bisa
menonjol dalam fraksi Ikeda. Ternyata Suzuki cukup unggul dalam
masalah kepartaian, dan mampu merukunkan perselisihan antar
fraksi. Malah kemudian Suzuki dianggap salah seorang yang
berjasa mengumpulkan dukungan bagi Ikeda jadi perdana menteri,
tahun 1960.
Karena jasanya itu, Suzuki dapat hadiah jabatan menteri (urusan
Pos dan Telekomunikasi) dalam kabinet Ikeda. Dari situ karir
politiknya menanjak terus. Terjalin hubungannya dengan Masayoshi
Ohira, juga pendukung Ikeda. Kemudian Ohira membina fraksi
tersendiri sampai berhasil jadi PM.
Dan Suzuki dikenal memihak Ohira dalam pertarungan antar fraksi
LDP. Tapi Suzuki bisa juga membina hnbungan baik dengan para
pendukung fraksi lain. Dengan Kakuei Tanaka, misalnya. Ketika
Suzuki memihak Ikeda, Tanaka berada dalam fraksi Sato. Keduanya
bersahabat sekali. Malah keduanya kemudian bekerjasama erat --
Tanaka sebagai Sekjen partai dan Suzuki sebagai Ketua Dewan
Eksekutif.
Adapun dewan itulah yang mengambil keputusan besar dalam LDP.
Berbagai fraksi diwakili di sana. Sebagai ketuanya, Suzuki
berperanan cukup lama -- 10 masa jabatan -- dalam zaman Sato,
Tanaka dan Ohira jadi PM. Suatu tanda keuletannya bermusyawarah
diakui.
Pernah para anggota Dewan Eksekutif LDP bertele-tele
memperdebatkan soal perjanjian penerbangan dengan Cina. Sesudah
berkali-kali rapat, keputusannya masih belum dicapai. Tanaka, PM
waktu itu, akhirnya hadir untuk menjawab pertanyaan anggota.
Sempat hilang kesabarannya, lantas ia memberikan isyarat pada
Ketua Suzuki supaya dipungut saja suara. Tapi Suzuki membiarkan
terus orang berdebat sampai lesu. Dan walau tanpa pemungutan
suara, keputusan akhirnya tercapai.
Suzuki menjunjung semangat wa. Dalam pidato jamuan makan di
Istana Negara (10 Januari), Suzuki menjelaskan ada persamaan
antara semangat wa dan semangat musyawarah. Ia ingin, sejak
semula terjun ke dunia politik, menjaga "Keserasian Politik"
dengan semangat tadi.
Mungkin karena itu pula PM Ikeda, ketika menyusun kabinetnya
yang terakhir dalam tahun 1964, mengangkat Suzuki sebagai
Kepala Sekretaris Kabinet. Dan dalam jabatan itu konon Suzuki
memegang peranan besar bersama Ohira untuk menjelmakan
pemerintahan Eisaku Sato setelah PM Ikeda menyatakan ingin
mundur karena alasan kesehatan. Penggantian pimpinan itu
berjalan tanpa ribut dalam partai.
Ketika kabinet Fukuda terbentuk Desember 1976, Suzuki diminta
jadi Menteri Pertanian dan Kehutanan. Sebagian tokoh politik
Jepang menyatakan terlalu kecil pos itu bagi Suzuki kalau tidak
dibarengi jabatan wakil PM. Tapi karena soal perikanan masuk
urusan kementeriannya. Suzuki menyatakan dirinya cukup puas. Dan
Suzuki terasa bermanfaat pada tahun berikutnya, dalam
serangkaian perundingan soal perikanan dengan Uni Soviet.
Perundingan ini tak mudah karena menyangkut pulau-pulau Jepang
di bagian utara. Northern Territories itu diduduki Uni Soviet
dalam Perang Dunia II dan belum dikembalikan pada Jepang. Sedang
batas laut 200 mil perlu ditegaskan pula.
Waktu itu Sachi tentu mengira suaminya akan lama lagi mengurus
soal perikanan nasional. Tapi perkembangan politik menentukan
lain. Ohira, teman Suzuki, jadi PM. Kemudian PM Ohira mendadak
sakit, dan meninggal dunia ketika kampanye pemilihan umum sedang
berlangsung hebat. Dengan simpati masyarakat meningkat pada
Ohira, LDP memenangkan pemilu itu -- dapat suara jauh di atas
dugaan semula. Mayoritasnya di Diet sungguh terjamin.
Namun LDP dilanda kekhawatiran akan bangkitnya kembali
permusuhan antar fraksi. Maka perhatian tertuju pada Suzuki,
tokoh luwes yang bisa diterima semua pihak dan tidak
kontroversial, sebagai calon ketua partai dan PM. Semula semua
anggota fraksi Ohira secara bulat memilih Suzuki. Fraksi Tanaka
menyusul mendukung. Akhirnya fraksi Fukuda pun setuju.
Rakyat Jepang tak menduga Suzuki akan terpilih. Namanya tak
pernah dipromosikan terlebih dulu sebagai calon harapan. Dunia
luar lebih terkejut lagi.
Sachi yang tak pernah membayangkan kemungkinan ini dulu
mengatakan bahwa untuk Zenko tak akan dibukakannya pintu bila
jadi PM. Istri itu yang melahirkan seorang putra dan tiga putri
tentu bergurau. Tapi sejak kabinet Suzuki terbentuk (Juli 1980),
gaya hidup Zenko sekeluarga tak berubah. Jika memang terlalu
sibuk. mungkin Zenko belakangan ini mengurangi waktunya berlatih
kendo, seni bela diri itu, suatu hobi yang dikuasainya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini