Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosok

15 januari 1974, ingat?

Kunjungan pm jepang zenko suzuki ke indonesia dipersiapkan dengan cermat. aparat keamanan dikerahkan. pemerintah masih dihantui peristiwa 15 januari 1974, ketika pm tanaka datang.(tk)

17 Januari 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI beberapa pojok jalan utama. gambar tamu negara PM Jepang Zenko Suzuki serta Nyonva Sachi. didampingi gambar Presiden dan Ny. Tien Soeharto -- dalam ukuran sekitar 2 x 3 mÿFD -- megah terpasang. Bendera Merah Putih dan Hinomaru melambai, berjajar-jajar. Yang tidak nampak -- di luar kelaziman menyambut tamu negara -- hanyalah rubuan anak sekolah membawa bendera. Biasanya mereka dipajang di sepanjang jalan. Hari Sabtu lalu itu sepi. Absennya para penyambut remaja ini memang cukup menyolok, namun bisa dimengerti. Pemerintah Indonesia tampaknya tidak ingin melihat terjadinya gangguan keamanan pada waktu kunjungan Suzuki. Dalam cuaca yang sering hujan, empat batalion pasukan di lingkungan Kodam V/Jaya dikerahkan untuk mengamankan kunjungan tamu negara dari Jepang ini. "Kami tidak mau ambil risiko terhadap pihak-pihak yang ingin memanfaatkan kesempatan," ujar Kol. Agus Muchidin, Asisten Intel Kodam V/Jaya. Tidak dijelaskan, pihak mana yang "ingin memanfaatkan keadaan itu." Mungkin para mahasiswa. Jumat malam pekan lalu sehari sebelum kunjungan Suzuki misalnya, dikabarkan kendaraan bermotor yang masuk Jakarta dari jurusan Bogor-Bandung lewat Jagorawi diperiksa dengan ketat. Semua langkah pengamanan itu tampaknya bersumber pada satu hal: kekhawatiran bahwa huru-hara seperti Peristiwa 15 Januari 1974 (Malari) bisa terjadi lagi rupanya masih menghantui banyak pihak. Pihak Jepang juga cemas, diam-diam. Kerusuhan "anti-Cina" yang terjadi di Jawa Tengah akhir November lalu diikuti dengan mata tak berkedip oleh pihak Jepang. Apalagi kunjungan kenegaraan kali ini dipersiapkan dengan sangat cermat. Misalnya, rombongan wartawan serta sebagian anggota rombongan resmi, kali ini menginap di Hotel Indonesia Sheraton, dan tidak lagi di President Hotel yang selama ini dianggap "Pusat Jepang" di Jakarta. Tapi dasar pencari berita: sebagian wartawan Jepang yang ikut kunjungan Suzuki tampaknya agak kecewa ternyata Jakarta anyep saja. Tidak terjadi keributan pada waktu kunjungan ke Jakarta. Berbeda dengan waktu kunjungannya di Manila Suzuki disambut demonstrasi 800 orang -- kebanyakan wanita -- yang memprotes "wisata seks" yang dilakukan para wisatawan Jepang di Asia Tenggara. Yang muncul di Indonesia hanyalah surat Keluarga Mahasiswa ITB pada PM Suzuki serta sebuah Pernyataan Sikap Mahasiswa UI. Kedua pernyataan itu pada pokoknya menghimbau diperbaikinya ketimpangan perdagangan Indonesia-Jepang. DM ITB rupanya mencurigai tujuan kedatangan PM Suzuki, dan menganggapnya sebagai "salah satu usaha pihak Jepang untuk lebih memantapkan cengkeraman perusahaan-perusahaan Jepang dalam perekonomian Indonesia." Kata-kata semacam itu memang masih merupakan gema dari tahun 1974. Namun agaknya kurang beralasan untuk mengharap bisa terjadi kerusuhan antiJepang seperti model Malari. Situasi awal 1974 yang meledakkan Malari memang khas --walau sebetulnya apa yang disebut sebagai Peristiwa Malari itu sebetulnya masih merupakan misteri. Beberapa bulan terakhir 1973, suhu politik di Indonesia memang cukup hangat. Para mahasiwa di berbagai kota melancarkan serangkaian demonstrasi anti-pemerintah. Berhasilnya mahasiswa Thailand dalam menumbangkan rezim Thanom Kittikachorn serta gelombang sikap anti-Jepang di Bangkok agaknya mempengaruhi juga situasi Jakarta. Kecaman para mahasiswa terutama ditujukan pada "strategi pembangunan yang salah". Sasaran mahasiswa semula adalah kelompok teknokrat yang dianggap bertanggung jawab. Mereka menganggap kebijaksanaan tersebut disesuaikan dengan "kehendak IMF dan Bank Dunia" dan mengakibatkan "kepincangan ekonomi", serta memperlebar jurang antara kaya dan miskin. Sasaran para mahasiswa kemudian berubah. Mereka tidak lagi sepenuhnya menyalahkan kelompok teknokrat, tapi menuduh adanya sekelompok pejabat di samping Presiden yang bertindak sebagai pemerintah bayangan. Perkembangan berikutnya: mahasiswa mengajukan 3 tuntutan. Pertama: pembubaran Aspri (Asisten Pribadi Presiden), turunkan harga dan berantas korupsi. Pada 15 Januari 1974, ribuan mahasiswa Jakarta seusai apel di Universitas Trisakti berbaris kembali ke kampus masing-masing melewati beberapa jalan utama Jakarta. Hari itu adalah hari kedua dari kunjungan PM Jepang Kakuei Tanaka di Indonesia, mahasiswa menentang kunjungan itu. Tanpa jelas sebab musababnya, demonstrasi itu kemudian berkembang menjadi aksi massa yang luas disertai pembakaran dan pengrusakan kendaraan bermotor, serta barang-barang buatan Jepang -- dan kemudian juga toko-toko dan bangunan lain. Aksi pengrusakan itu berlanjut sampai petang hari 16 Januari. Dalam huru-hara itu tercatat korban 11 orang meninggal, 17 luka-luka dan 120 orang luka ringan. Kerugian materi: 807 mobil dan 187 motor rusak atau hancur, 144 bangunan rusak dan 160 kilogram emas hilang. Di antara bangunan yang rusak termasuk juga Pusat Perdagangan Senen. Tiga buah bank, sebuah klub malam dan sebuah tempat mandi uap juga binasa. Akibat Peristiwa Malari itu sekitar 820 orang ditangkap, 42 orang di antaranya kemudian ditahan sementara -- antara lain Ketua Umum DM UI Hariman Siregar, Prof. Sarbini Sumawinata, Dorodjatun Kuntjoro Jakti, Buyung Nasution, HJC Princen dan Fahmi Idris. Beberapa mahasiswa kemudian diadili. Hariman Siregar, misalnya, dijatuhi hukuman penjara 6 tahun. Menurut penjelasan Menhamkan/Pangab Jenderal Panggabean (waktu itu) serta Panglima Kopkamtib Jenderal Sumitro, Peristiwa Malari dianggap sebagai suatu gerakan politik yang "menuju ke arah makar". Bahkan Aspri Mayjen Ali Moertopo kemudian menuduh huru-hara itu didalangi "bekas tokoh-tokoh PSI" dan "ditunggangi bekas Masyumi" untuk mengubah UUD 1945 dan menggulingkan pimpinan nasional yang sah. APA pun tujuannya, kerusuhan itu punya akibat -- di atas. Beberapa pekan setelah Malari, Presiden Soeharto membubarkan Aspri, mengambil kembali jabatan Pangkopkamtib dari Jenderal Soemitro, dan menunjuk Laksamana Sudomo sebagai Kaskopkamtib. Pada Maret 1974 Jenderal Sumitro juga meletakkan jabatannya sebagai Wapangab. Kepala Bakin Letjen Sutopo Yuwono kemudian diganti oleh Mayjen Yoga Soegomo. Peristiwa Malari memang telah mengguncangkan Indonesia. Namun apakah peristiwa itu benar-benar suatu aksi antiJepang? "Gerakan mahasiswa yang dilancarkan sejak Agustus 1973 tak lain untuk mengritik strategi pembangunan yang dinilai sudah menyimpang dari cita-cita Orde Baru," ujar Hariman Siregar Senin lalu. "Kedatangan Tanaka itu dijadikan momentum. Tapi sasaran utamanya jelas bukan Jepang. Malari bukan semata-mata gerakan anti-Jepang," ujar Judil Heri yang pada 1974 merupakan salah satu pimpinan DM UI. Gerakan mahasiswa ini kemudian, menurut Judil, dimanfaatkan pihak lain. "Pihak lain itu siapa, saya tidak tahu persis, namun nampaknya terorganisasi rapi," sambung Judil. Melihat kembali Peristiwa Malari, Judil menyimpulkan: "Gerakan mahasiswa waktu itu terlalu naif. Kami tak mengenal lapangan dengan baik. Hingga mudah dimanfaatkan pihak lain." Siapa itu "pihak lain", nampaknya orang enggan menelitinya sekarang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus