DI beberapa pojok jalan utama. gambar tamu negara PM Jepang
Zenko Suzuki serta Nyonva Sachi. didampingi gambar Presiden dan
Ny. Tien Soeharto -- dalam ukuran sekitar 2 x 3 mÿFD -- megah
terpasang. Bendera Merah Putih dan Hinomaru melambai,
berjajar-jajar. Yang tidak nampak -- di luar kelaziman
menyambut tamu negara -- hanyalah rubuan anak sekolah membawa
bendera. Biasanya mereka dipajang di sepanjang jalan. Hari
Sabtu lalu itu sepi.
Absennya para penyambut remaja ini memang cukup menyolok, namun
bisa dimengerti. Pemerintah Indonesia tampaknya tidak ingin
melihat terjadinya gangguan keamanan pada waktu kunjungan
Suzuki. Dalam cuaca yang sering hujan, empat batalion pasukan di
lingkungan Kodam V/Jaya dikerahkan untuk mengamankan kunjungan
tamu negara dari Jepang ini. "Kami tidak mau ambil risiko
terhadap pihak-pihak yang ingin memanfaatkan kesempatan," ujar
Kol. Agus Muchidin, Asisten Intel Kodam V/Jaya.
Tidak dijelaskan, pihak mana yang "ingin memanfaatkan keadaan
itu." Mungkin para mahasiswa. Jumat malam pekan lalu sehari
sebelum kunjungan Suzuki misalnya, dikabarkan kendaraan bermotor
yang masuk Jakarta dari jurusan Bogor-Bandung lewat Jagorawi
diperiksa dengan ketat. Semua langkah pengamanan itu tampaknya
bersumber pada satu hal: kekhawatiran bahwa huru-hara seperti
Peristiwa 15 Januari 1974 (Malari) bisa terjadi lagi rupanya
masih menghantui banyak pihak.
Pihak Jepang juga cemas, diam-diam. Kerusuhan "anti-Cina" yang
terjadi di Jawa Tengah akhir November lalu diikuti dengan mata
tak berkedip oleh pihak Jepang. Apalagi kunjungan kenegaraan
kali ini dipersiapkan dengan sangat cermat. Misalnya, rombongan
wartawan serta sebagian anggota rombongan resmi, kali ini
menginap di Hotel Indonesia Sheraton, dan tidak lagi di
President Hotel yang selama ini dianggap "Pusat Jepang" di
Jakarta.
Tapi dasar pencari berita: sebagian wartawan Jepang yang ikut
kunjungan Suzuki tampaknya agak kecewa ternyata Jakarta anyep
saja. Tidak terjadi keributan pada waktu kunjungan ke Jakarta.
Berbeda dengan waktu kunjungannya di Manila Suzuki disambut
demonstrasi 800 orang -- kebanyakan wanita -- yang memprotes
"wisata seks" yang dilakukan para wisatawan Jepang di Asia
Tenggara.
Yang muncul di Indonesia hanyalah surat Keluarga Mahasiswa ITB
pada PM Suzuki serta sebuah Pernyataan Sikap Mahasiswa UI. Kedua
pernyataan itu pada pokoknya menghimbau diperbaikinya
ketimpangan perdagangan Indonesia-Jepang. DM ITB rupanya
mencurigai tujuan kedatangan PM Suzuki, dan menganggapnya
sebagai "salah satu usaha pihak Jepang untuk lebih memantapkan
cengkeraman perusahaan-perusahaan Jepang dalam perekonomian
Indonesia."
Kata-kata semacam itu memang masih merupakan gema dari tahun
1974. Namun agaknya kurang beralasan untuk mengharap bisa
terjadi kerusuhan antiJepang seperti model Malari. Situasi awal
1974 yang meledakkan Malari memang khas --walau sebetulnya apa
yang disebut sebagai Peristiwa Malari itu sebetulnya masih
merupakan misteri.
Beberapa bulan terakhir 1973, suhu politik di Indonesia memang
cukup hangat. Para mahasiwa di berbagai kota melancarkan
serangkaian demonstrasi anti-pemerintah. Berhasilnya mahasiswa
Thailand dalam menumbangkan rezim Thanom Kittikachorn serta
gelombang sikap anti-Jepang di Bangkok agaknya mempengaruhi juga
situasi Jakarta.
Kecaman para mahasiswa terutama ditujukan pada "strategi
pembangunan yang salah". Sasaran mahasiswa semula adalah
kelompok teknokrat yang dianggap bertanggung jawab. Mereka
menganggap kebijaksanaan tersebut disesuaikan dengan "kehendak
IMF dan Bank Dunia" dan mengakibatkan "kepincangan ekonomi",
serta memperlebar jurang antara kaya dan miskin.
Sasaran para mahasiswa kemudian berubah. Mereka tidak lagi
sepenuhnya menyalahkan kelompok teknokrat, tapi menuduh adanya
sekelompok pejabat di samping Presiden yang bertindak sebagai
pemerintah bayangan. Perkembangan berikutnya: mahasiswa
mengajukan 3 tuntutan. Pertama: pembubaran Aspri (Asisten
Pribadi Presiden), turunkan harga dan berantas korupsi.
Pada 15 Januari 1974, ribuan mahasiswa Jakarta seusai apel di
Universitas Trisakti berbaris kembali ke kampus masing-masing
melewati beberapa jalan utama Jakarta. Hari itu adalah hari
kedua dari kunjungan PM Jepang Kakuei Tanaka di Indonesia,
mahasiswa menentang kunjungan itu.
Tanpa jelas sebab musababnya, demonstrasi itu kemudian
berkembang menjadi aksi massa yang luas disertai pembakaran dan
pengrusakan kendaraan bermotor, serta barang-barang buatan
Jepang -- dan kemudian juga toko-toko dan bangunan lain.
Aksi pengrusakan itu berlanjut sampai petang hari 16 Januari.
Dalam huru-hara itu tercatat korban 11 orang meninggal, 17
luka-luka dan 120 orang luka ringan. Kerugian materi: 807 mobil
dan 187 motor rusak atau hancur, 144 bangunan rusak dan 160
kilogram emas hilang. Di antara bangunan yang rusak termasuk
juga Pusat Perdagangan Senen. Tiga buah bank, sebuah klub malam
dan sebuah tempat mandi uap juga binasa.
Akibat Peristiwa Malari itu sekitar 820 orang ditangkap, 42
orang di antaranya kemudian ditahan sementara -- antara lain
Ketua Umum DM UI Hariman Siregar, Prof. Sarbini Sumawinata,
Dorodjatun Kuntjoro Jakti, Buyung Nasution, HJC Princen dan
Fahmi Idris. Beberapa mahasiswa kemudian diadili. Hariman
Siregar, misalnya, dijatuhi hukuman penjara 6 tahun.
Menurut penjelasan Menhamkan/Pangab Jenderal Panggabean (waktu
itu) serta Panglima Kopkamtib Jenderal Sumitro, Peristiwa Malari
dianggap sebagai suatu gerakan politik yang "menuju ke arah
makar". Bahkan Aspri Mayjen Ali Moertopo kemudian menuduh
huru-hara itu didalangi "bekas tokoh-tokoh PSI" dan
"ditunggangi bekas Masyumi" untuk mengubah UUD 1945 dan
menggulingkan pimpinan nasional yang sah.
APA pun tujuannya, kerusuhan itu punya akibat -- di atas.
Beberapa pekan setelah Malari, Presiden Soeharto membubarkan
Aspri, mengambil kembali jabatan Pangkopkamtib dari Jenderal
Soemitro, dan menunjuk Laksamana Sudomo sebagai Kaskopkamtib.
Pada Maret 1974 Jenderal Sumitro juga meletakkan jabatannya
sebagai Wapangab. Kepala Bakin Letjen Sutopo Yuwono kemudian
diganti oleh Mayjen Yoga Soegomo.
Peristiwa Malari memang telah mengguncangkan Indonesia. Namun
apakah peristiwa itu benar-benar suatu aksi antiJepang? "Gerakan
mahasiswa yang dilancarkan sejak Agustus 1973 tak lain untuk
mengritik strategi pembangunan yang dinilai sudah menyimpang
dari cita-cita Orde Baru," ujar Hariman Siregar Senin lalu.
"Kedatangan Tanaka itu dijadikan momentum. Tapi sasaran utamanya
jelas bukan Jepang. Malari bukan semata-mata gerakan
anti-Jepang," ujar Judil Heri yang pada 1974 merupakan salah
satu pimpinan DM UI. Gerakan mahasiswa ini kemudian, menurut
Judil, dimanfaatkan pihak lain. "Pihak lain itu siapa, saya
tidak tahu persis, namun nampaknya terorganisasi rapi," sambung
Judil.
Melihat kembali Peristiwa Malari, Judil menyimpulkan: "Gerakan
mahasiswa waktu itu terlalu naif. Kami tak mengenal lapangan
dengan baik. Hingga mudah dimanfaatkan pihak lain." Siapa itu
"pihak lain", nampaknya orang enggan menelitinya sekarang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini