Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Kompromi pembelah es di bulan...

Menteri perdagangan inggris (kemudian jadi menham) john nott berkunjung ke indonesia dan berunding dengan menteri radius. kompromi tentang kuota tekstil akan dibicarakan dengan pengusaha dinegerinya. (eb)

17 Januari 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENTERI Perdagangan Inggris John Nott terpaksa mengurungkan rencananya untuk berkunjung ke India dan Malaysia awal bulan ini. Sehari sebelum ia meninggalkan London 5 Januari lalu, tokoh botak berwajah sarjana yang keras itu telah diangkat menjadi Menteri Pertahanan negerinya. Toh oleh PM Margaret Thatcher, John Nott mendapat mandat penuh untuk berbicara dan mengambil keputusan sebagai menteri perdagangan, selama kunjungan dua hari di Jakarta, 6-8 Januari. Menjabat menteri perdagangan selama setahun delapan bulan, John William Frederick Nott, 48 tahun, rupanya dianggap paling tepat untuk menjalin kembali hubungan yang agak rusak antara Indonesia dan Inggris. Ceritanya bermula, ketika Inggris lewat MEE telah memutuskan untuk memberlakukan kuota, yakni pembatasan atas ekspor tekstil (pakaian jadi) dari Indonesia pertengahan Juli tahun lalu. Dan Indonesia, di luar dugaan Inggris, membalas. Sejumlah rencana pembelian dari Inggris dibatalkan. Kini Nott datang -- dan missinya dapat diduga. Nott sendiri selama di Indonesia tak banyak bicara keluar. Bahkan rencana untuk mengadakan suatu konperensi pers dengan anggota kabinet inti itu, di rumah kediaman Dubes Inggris di Jakarta, mendadak dibatalkan. Tapi, seperti diungkapkan seorang pejabat di Departemen Perdagangan dan Koperasi, Menteri Nott berusaha keras untuk bicara dengan kalangan industri tekstil di Inggris. Sebelumnya, dalam salah satu pidato di kota industri Leeds 7 November lalu, Menteri Nott berkata: "Sesuai dengan perjanjian tekstil dengan Inggris, Indonesia sebenarnya tak berhak untuk membalas. Tapi mereka toh melakukannya, dan itu menyakitkan." Bingung Menjabat sebagai menteri perdagangan selama setahun delapan bulan, John Nott tentu menjadi bingung juga melihat banyak pintu dagang tiba-tiba ditutup bagi para pengusaha dari negerinya. Maka tak berlebihan bila konflik tekstil -- yang semula ditangani oleh Menteri Negara Urusan LN Inggris, Peter Blaker --belakangan ini naik pangkat menjadi urusan penting PM Margaret Thatcher sendiri. Di muka parlemen Inggris 20 November lalu, wanita yang kini memimpin pemerintahan di Inggris itu berkata: "Proteksionisme telah membawa suatu kekecewaan. Karena pembalasan adalah suatu kenyataan, dan bukan hantu yang cuma samar-samar." Ia lalu memberi contoh, jumlah yang dihemat dari kuota tekstil terhadap Indonesia bernilai ? 3 juta (Rp 4« milyar). "Nyatanya kita telah kehilangan order-order besar untuk bidang-bidang konstruksi dan ekspor barang-barang teknolog tinggi bernilai di atas ? 100 juta (Rp 152 milyar)," kata Thatcher. "Kita tak bisa kehilangan pasaran dunia, yang akibatnya demikian besar terhadap perdagangan dan tenaga kerja." Menteri Perdagangan dan Koperasi Radius Prawiro juga mengutip bagian pidato PM Thatcher itu dalam jamuan makan siang untuk menghormati Menteri John Nott, 7 Januari. Diselingi humor yang khas, Radius berkata, antara Menteri Nott dan dirinya terdapat banyak persamaan. Keduanya pernah jadi tentara, Nott di pasukan Inggris di Malaya, 1952-1956, Radius di pasukan gerilya, 1945-1951. Keduanya pernah jadi bankir, lalu menteri. Dan "kami berdua juga berperanan sebagai pembelah es," kata Radius. Suatu kompromi tentang kuota tekstil memang tercapai antara kedua pembelah es itu -- di Januari yang dingin ini. Untuk empat bulan pertama tahun 1981 (Januari s/d April), kuota ekspor pakaian jadi Indonesia ke Inggris untuk kategori enam celana tenunan untuk anak-anak dan orang dewasa, berjumlah 110.000 potong. Untuk kategori tujuh: blus dan blus kemeja wanita serta gadis dan pakaian bayi, berjumlah 80.000 potong. Dan untuk kategori delapan: kemeja tenunan untuk pria dewasa dan anak-anak, sebanyak 60.000 potong. Maka selama tahun 1981, berdasarkan kuota selama empat bulan itu, ekspor pakaianjadi itu, untuk kategori enam akan berjumlah 330.000 potong. Sedang untuk kategori tujuh dan delapan, masing-masing bisa mencapai 240.000 potong dan 180.000 potong. Bisa 700 Ribu? Menurut Radius Prawiro, ada kemungkinan Inggris bisa menerima untuk kategori enam, 700.000 potong, kategori tujuh sebanyak 500.000 potong dan kategori delapan, sejumlah 800.000 potong. "Tapi itu masih akan dirundingkan dengan para industriawan tekstil Inggris dan terutama MEE," kata Dirjen Perdagangan LN Dr Suhadi Mangkusuwondo. Selama tahun 1980 untuk kategori enam Indonesia hanya kebagian 315 potong, kategori tujuh, 225 potong, sedang untuk kategori delapan ditetapkan 171.000 potong. Ketika itu untuk ketiga kategori yang memang paling laku dipasaran Inggris, Indonesia menghimbau agar diizinkan memperoleh kuota sebanyak 4,9 juta potong. Suatu jumlah yang tidak besar bila dibandingkan dengan kuota untuk Srilangka yang dalam tahun 1980 memperoleh jatah 7,6 juta potong. Atau Filipina dengan 7,7 juta potong. Tapi, seperti dikatakan seorang anak uah Radius Prawiro, Indonesia juga harus memperhitungkan agar hasil kompromi itu tak terlalu menyimpang. "MEE akan menghadapi kesulitan kalau persetujuan dengan Indonesia ini kemudian dianggap terlalu menyimpang," kata sumber itu. Kabarnya Prancis, salah satu anggota MEE, akan mengurangi kuota tekstil jadi dari Indonesia. Yakni untuk kategori delapan, selama tahun 1981, Prancis hanya mau menerima pesanan sebagai 125.000 potong. Hankam Maukah MEE yang bermarkas besar di Brussels, ibukota Belgia, menerima apa yang dicapai Prawiro dan Nott di Jakarta? Masih harus ditunggu. Tapi sementara itu Inggris berharap agar sejumlah daftar keinginannya di bidang perdagangan dan investasi bisa terwujud di Indonesia. Inggris kabarnya sedang berusaha untuk menjual peralatan lapangan minyak, bagi kilang-kilang minyak di Dumai, Cilacap dan Balikpapan. Lalu sebuah perusahaan bernama Philip Harris ingin memenangkan tender bagi peralatan pendidikan untuk berbagai universitas di Indonesia. Beberapa perusahaan swasta di sana tengah menjajagi kemungkinan penjualan 300 jip Landrover untuk Hankam, mesin pengering (rain drier), untuk Bulog, alat-alat untuk perlistrikan di desa, perlengkapan komunikasi untuk kendaraan lapis baja dan kendaraan pengangkut pasukan. Mereka juga ingin merundingkan kembali penjualan dua pesawat Hawker Siddeley-748 yang tadinya sudah dibatalkan oleh pemerintah Indonesia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus