MENTERI Perdagangan Inggris John Nott terpaksa mengurungkan
rencananya untuk berkunjung ke India dan Malaysia awal bulan
ini. Sehari sebelum ia meninggalkan London 5 Januari lalu, tokoh
botak berwajah sarjana yang keras itu telah diangkat menjadi
Menteri Pertahanan negerinya.
Toh oleh PM Margaret Thatcher, John Nott mendapat mandat penuh
untuk berbicara dan mengambil keputusan sebagai menteri
perdagangan, selama kunjungan dua hari di Jakarta, 6-8 Januari.
Menjabat menteri perdagangan selama setahun delapan bulan, John
William Frederick Nott, 48 tahun, rupanya dianggap paling tepat
untuk menjalin kembali hubungan yang agak rusak antara Indonesia
dan Inggris.
Ceritanya bermula, ketika Inggris lewat MEE telah memutuskan
untuk memberlakukan kuota, yakni pembatasan atas ekspor tekstil
(pakaian jadi) dari Indonesia pertengahan Juli tahun lalu. Dan
Indonesia, di luar dugaan Inggris, membalas. Sejumlah rencana
pembelian dari Inggris dibatalkan. Kini Nott datang -- dan
missinya dapat diduga.
Nott sendiri selama di Indonesia tak banyak bicara keluar.
Bahkan rencana untuk mengadakan suatu konperensi pers dengan
anggota kabinet inti itu, di rumah kediaman Dubes Inggris di
Jakarta, mendadak dibatalkan. Tapi, seperti diungkapkan seorang
pejabat di Departemen Perdagangan dan Koperasi, Menteri Nott
berusaha keras untuk bicara dengan kalangan industri tekstil di
Inggris. Sebelumnya, dalam salah satu pidato di kota industri
Leeds 7 November lalu, Menteri Nott berkata: "Sesuai dengan
perjanjian tekstil dengan Inggris, Indonesia sebenarnya tak
berhak untuk membalas. Tapi mereka toh melakukannya, dan itu
menyakitkan."
Bingung
Menjabat sebagai menteri perdagangan selama setahun delapan
bulan, John Nott tentu menjadi bingung juga melihat banyak pintu
dagang tiba-tiba ditutup bagi para pengusaha dari negerinya.
Maka tak berlebihan bila konflik tekstil -- yang semula
ditangani oleh Menteri Negara Urusan LN Inggris, Peter Blaker
--belakangan ini naik pangkat menjadi urusan penting PM Margaret
Thatcher sendiri.
Di muka parlemen Inggris 20 November lalu, wanita yang kini
memimpin pemerintahan di Inggris itu berkata: "Proteksionisme
telah membawa suatu kekecewaan. Karena pembalasan adalah suatu
kenyataan, dan bukan hantu yang cuma samar-samar." Ia lalu
memberi contoh, jumlah yang dihemat dari kuota tekstil terhadap
Indonesia bernilai ? 3 juta (Rp 4« milyar). "Nyatanya kita telah
kehilangan order-order besar untuk bidang-bidang konstruksi dan
ekspor barang-barang teknolog tinggi bernilai di atas ? 100 juta
(Rp 152 milyar)," kata Thatcher. "Kita tak bisa kehilangan
pasaran dunia, yang akibatnya demikian besar terhadap
perdagangan dan tenaga kerja."
Menteri Perdagangan dan Koperasi Radius Prawiro juga mengutip
bagian pidato PM Thatcher itu dalam jamuan makan siang untuk
menghormati Menteri John Nott, 7 Januari. Diselingi humor yang
khas, Radius berkata, antara Menteri Nott dan dirinya terdapat
banyak persamaan. Keduanya pernah jadi tentara, Nott di pasukan
Inggris di Malaya, 1952-1956, Radius di pasukan gerilya,
1945-1951. Keduanya pernah jadi bankir, lalu menteri. Dan "kami
berdua juga berperanan sebagai pembelah es," kata Radius.
Suatu kompromi tentang kuota tekstil memang tercapai antara
kedua pembelah es itu -- di Januari yang dingin ini. Untuk empat
bulan pertama tahun 1981 (Januari s/d April), kuota ekspor
pakaian jadi Indonesia ke Inggris untuk kategori enam celana
tenunan untuk anak-anak dan orang dewasa, berjumlah 110.000
potong. Untuk kategori tujuh: blus dan blus kemeja wanita serta
gadis dan pakaian bayi, berjumlah 80.000 potong. Dan untuk
kategori delapan: kemeja tenunan untuk pria dewasa dan
anak-anak, sebanyak 60.000 potong.
Maka selama tahun 1981, berdasarkan kuota selama empat bulan
itu, ekspor pakaianjadi itu, untuk kategori enam akan berjumlah
330.000 potong. Sedang untuk kategori tujuh dan delapan,
masing-masing bisa mencapai 240.000 potong dan 180.000 potong.
Bisa 700 Ribu?
Menurut Radius Prawiro, ada kemungkinan Inggris bisa menerima
untuk kategori enam, 700.000 potong, kategori tujuh sebanyak
500.000 potong dan kategori delapan, sejumlah 800.000 potong.
"Tapi itu masih akan dirundingkan dengan para industriawan
tekstil Inggris dan terutama MEE," kata Dirjen Perdagangan LN Dr
Suhadi Mangkusuwondo.
Selama tahun 1980 untuk kategori enam Indonesia hanya kebagian
315 potong, kategori tujuh, 225 potong, sedang untuk kategori
delapan ditetapkan 171.000 potong. Ketika itu untuk ketiga
kategori yang memang paling laku dipasaran Inggris, Indonesia
menghimbau agar diizinkan memperoleh kuota sebanyak 4,9 juta
potong. Suatu jumlah yang tidak besar bila dibandingkan dengan
kuota untuk Srilangka yang dalam tahun 1980 memperoleh jatah 7,6
juta potong. Atau Filipina dengan 7,7 juta potong.
Tapi, seperti dikatakan seorang anak uah Radius Prawiro,
Indonesia juga harus memperhitungkan agar hasil kompromi itu tak
terlalu menyimpang. "MEE akan menghadapi kesulitan kalau
persetujuan dengan Indonesia ini kemudian dianggap terlalu
menyimpang," kata sumber itu. Kabarnya Prancis, salah satu
anggota MEE, akan mengurangi kuota tekstil jadi dari Indonesia.
Yakni untuk kategori delapan, selama tahun 1981, Prancis hanya
mau menerima pesanan sebagai 125.000 potong.
Hankam
Maukah MEE yang bermarkas besar di Brussels, ibukota Belgia,
menerima apa yang dicapai Prawiro dan Nott di Jakarta? Masih
harus ditunggu. Tapi sementara itu Inggris berharap agar
sejumlah daftar keinginannya di bidang perdagangan dan investasi
bisa terwujud di Indonesia.
Inggris kabarnya sedang berusaha untuk menjual peralatan
lapangan minyak, bagi kilang-kilang minyak di Dumai, Cilacap
dan Balikpapan. Lalu sebuah perusahaan bernama Philip Harris
ingin memenangkan tender bagi peralatan pendidikan untuk
berbagai universitas di Indonesia.
Beberapa perusahaan swasta di sana tengah menjajagi kemungkinan
penjualan 300 jip Landrover untuk Hankam, mesin pengering (rain
drier), untuk Bulog, alat-alat untuk perlistrikan di desa,
perlengkapan komunikasi untuk kendaraan lapis baja dan kendaraan
pengangkut pasukan. Mereka juga ingin merundingkan kembali
penjualan dua pesawat Hawker Siddeley-748 yang tadinya sudah
dibatalkan oleh pemerintah Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini