Dialog: INDONESIA KINI DAN ESOK, buku kedua
Pewawancara dan penulis: Imam Waluyo, Bosco Carvallo,
Pardamean Ronitua
Diterbitkan oleh: Leppenas, Jakarta, 1981, 184 halaman.
Setelah buku yang pertama muncul yang kedua. Serangkaian
wawancara dengan 14 tokoh pemerintah, politik, agama, kebudayaan
dan akademik, persis seperti dalam Dialog yang pertama. Pun
dalam pengantar dikatakan, niatnya sama dengan niat pada buku
pertama untuk memperoleh kejernihan mengenai perkembangan di
seputar diri kita, dengan menanyakan kepada tokoh-tokoh ini
beberapa pertanyaan dasar.
Pembicaraan ini, sekalipun tidak dikelompokkan oleh para editor
(karena konon pemilihan tokoh-tokoh tidak berdasarkan kriteria
apa pun), secara garis besar dapat dimasukkan dalam dua
kategori: yang menyetujui kebijaksanaan pemerintah, dan yang
tidak atau kurang menyetujui. Ada yang nadanya jelas-jelasan
memuji-muji, ada yang pendekatannya akademis-analitis, ada yang
berusaha memberikan pendekatan alternatif, ada yang seperti
"buku kepanduan" yang penuh anjuran, ada yang sekedar wishful
thinking, ada yang jelas jelas radikal. Betul-betul forum
terbuka.
Pandangan yang untuk mudahnya kita sebut propemerintah muncul
duluan. Jenderal (Purn.) Daryatmo misalnya, menyalahkan Orla
untuk kebobrokan aparatur negara yang terdapa sekarang ini.
Pihak-pihak yang meng kritik pelaksanaan pembangunan adalak
mereka yang belum mempelajari GBH secara mendalam, menurut dia.
Karena itu penggalakan P4 mendapat pujian (hlm. 4).
Kopkamtib
Ir. Rachmat Witoelar, Ketua Komisi VI DPR dalam pembicaraannya
yang berjudul Arah Pembangunan Kita Sudah Tepat! mengatakan
bahwa walaupun Indonesia masih dalam proses mencari, toh kita
punya pola. Yaitu pola "mencari pola" (hlm. 19).
Mengenai generasi muda, Akbar Tanjung, bekas ketua KNPI,
berpendapat bahwa perbedaan pendapat ada, tapi sama sekali tidak
prinsipil. Dan untuk regenerasi tak perlu khawatir, karena,
"singkatnya . . . KNPI sebagai lembaga menyiapkan jalan bagi
regenerasi" (hlm. 36).
Yang menarik adalah pemikiran Jenderal (Purn.) Soemitro. Ia
merasa bahagia berhenti dari jabatannya yang panglima Kopkamtib
itu. Karena keberhentian itu membuka kesadaran baginya-- yang
tadinya tertutup oleh tugas menjaga keamanan--bahwa kita
memerlukan politik sebagai landasan falsafah untuk pembangunan
ekonomi. Ia mengatakan, pemerintah sekarang "lahirnya di
tengah-tengah khaos . . . khaos itu sendiri yang memaksa
lahirnya pemerintah Orde Baru . . . jadi jelas tanpa persiapan"
(hlm. 38).
Kopkamtib, menurut dia, lahir hanya untuk sasaran pendek, dan
kebijaksanaan depolitisasi sekedar dimaksudkan sebagai
de-Nasakomisasi. Tetapi setelah hal itu tercapai,
kekuatan-kekuatan penghancuran PKI kembali pada identitas semula
dan akhirnya yang tampil adalah kepentingan masing-masing. Juga
"secara tak sadar . . . (kita telah) . . . mengoper kultur
Nasakom/Komunis seperti adanya Pressure Groups, Conditioning
from below, adu domba, saling mendiskreditkan, curiga-mencurigai
dan lain sebagainya" hlm. 39).
Dari kalangan yang mengkritik, Toeti Heraty Noerhadi (yang
seperti perawan di sarang penyamun saja karena satu-satunya
perempuan), mengamati bahwa sedang terjadi proses pendangkalan.
Yakni suatu reduksi dibidang spiritual, karena nilai-nilai
tradisional tidak lagi dihayati--sedang spirit sektor modern
belum kita miliki. Tampaknya yang dianggap penting sekarang
adalah bentuk, bukan proses. "Kita tergila-gila pada upacara . .
. soal kelanjutan . . . tidaklah dipermasalahkan" (hlm. 71).
Buat rakyat, "menonton memang lebih mudah daripada partisipasi,
tapi pada dasarnya konsumptif" (hlm. 72). Setelah segala upacara
dan ritual yang penuh "keheningan", "kekhidmatan" dan
"kekeramatan" selesai, kita kembali pada hidup yang penuh
kesantaian. "Ini menyuburkan sikap munafik sebagai psikopathi
sosial" (hlm. 72).
Pandangan Y.B. Mangunwijaya yang pastor dan pekerja sosial di
Salam, Yogya, banyak kesejajarannya dengan pikiran-pikiran
Toeti. "Facade roman muka, ritual performance, formulasi konsep
dan sebagainya, lebih penting, lebih keramat daripada realitas"
(hlm. 93). Kita masih belum merdeka dari kurungan magis,
katanya. Ia menirukan sebagian pidato pembesar: "Walaupun
seluruh negara bobrok karena korupsi, janganlah khawatir, sebab
Pancasila sakti" (hlm. 93). Ia juga melihat, di zaman modern ini
pun ternyata masih banyak sisa-sisa kebinatangan dalam diri
manusia--"saling berebut mangsa, menguasai dan mengganyang
sesama jenis" (hlm. 87).
Umar Kayam juga mensinyalir adanya polusi konsep yang tidak lagi
mencerminkan kehidupan nyata sehari-hari. Tapi ini mungkin hanya
suatu refleksi dari pencaharian nilai-nilai budaya Indonesia
(hlm. 78).
Abdul Madjid, dalam pada itu, terang-terangan mengaku sebagai
"ekstrakubu pemerintah". Karena ia melihat "perkembangan
kehidupan negara kita ini sudah tidak sesuai dengan kemurnian
Pancasila dan UUD 45 serta telah menyimpang dari Kedaulatan
Rakyat" (hlm. 96). Katanya, dalam demokrasi Pancasila perbedaan
pendapat mendapat tempat yang terhormat. Toh tahun yang lalu ia
di-recall dari DPR tanpa sebab-sebab yang diketahui. Yang
dikritiknya cukup keras adalah "pelembagaan" sistem pengangkatan
sepertiga anggota MPR dan 100 anggota DPR (hlm. 100). Salah satu
akibatnya adalah berlangsungnya "sistem satu partai terselubung"
(hlm. 110) -- toh "pemilihan umum tidak bebas dari ancaman,
tekanan dan paksaan serta manipulasi" (hlm. 104).
Memang pembangunan tak bebas nilai. Demikian A. Rahman Tolleng,
bekas aktivis mahasiswa, orang Golkar dan tahanan Peristiwa 15
Januari. Karena itu partisipasi rakyat penting--pada tahap-tahap
pengambilan keputusan. Dewasa ini partisipasi baru hanya di
tingkat pelaksanaan --dan diperintahkan pula. Ini sama saja
dengan feodalisme. Sebenarnya pembangunan Indonesia sekarang
ini, dengan penekanannya yang kuat pada sektor ekonomi dan
bisnis, kapitalistis. Padahal seperti kata Umar Kayam, semangat
Pancasila seharusnya sosialis. Dan "dinamika intrinsik dari . .
. (kapitalisme) . . . menimbulkan polarisasi antara minoritas
yang kaya dan mayoritas yang miskin" (hlm. 130).
Secara singkat, Prof. Sarbini, juga bekas tahanan Peristiwa 15
Januari, menyimpulkan: "Hingga kini yang kita peroleh sekedar
kemajuan ekonomi dengan ketidakadilan dan ketidakmerataan dari
kapitalisme, disertai ketidakbebasan dari komunisme" (hlm. 142).
Sarbini, seperti juga Abdul Madjid, memang bicara terbuka.
Tentunya karena "keterbukaan menandakan kelegalan" (hlm. 97).
Sebenarnya inti persoalan dalam buku ini ituitu juga. Karena
pertanyaannya mungkin itu-itu juga. Jadi sering terasa
repetitif. Padahal mungkin bisa lebih menarik bila disajikan
berbagai pandangan mengenai berbagai bidang dan masalah. Kesan
yang terdapat sekarang: buku ini sebagai pernyataan politik
tanggung, secara ilmiah pun begitu. Peran para editor bisa
ditingkatkan untuk lebih memberikan pengarahan, lebih selektif,
lebih tegas, dan tidak terlalu "berendah hati". Mustahil mereka
tak memiliki prekonsepsi tentang yang hendak mereka perbuat.
Editing yang kurang baik dalam buku ini (pengulangan, tulisan
terlalu panjang, pemakaian bahasa yang kurang sreg dan
sebagainya) mungkin malah memberi ciri "autentik". Bahkan
banyaknya salah cetak memberikan suasana under ground pada
beberapa tulisan. Bila seterusnya muncul buku-buku Dialog III,
IV, V, dan seterusnya, mungkin sudah tak banyak manfaatnya untuk
menambah kejernihan persoalan yang diinginkan para editornya,
walaupun sekedar untuk memperluas peta permasalahannya dengan
"memperbanyak sudut pandang". Tetapi bisa berguna untuk
memberikan forum -- itu pun kriterianya harus tokoh yang tak
mungkin atau tak mau menyuarakan pendapat dalam forum resmi.
Nah, kalau seluruh rakyat Indonesia bisa ber-Dialog, itu baru
kejutan.
Julia I. Suryakusuma
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini