Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Dialog, dengan pengulangan

Pewancara dan penulis: imam waluyo (et.al) jakarta: leppenas, 1981 resensi oleh: julia i suryakusuma. (bk)

20 Maret 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dialog: INDONESIA KINI DAN ESOK, buku kedua Pewawancara dan penulis: Imam Waluyo, Bosco Carvallo, Pardamean Ronitua Diterbitkan oleh: Leppenas, Jakarta, 1981, 184 halaman. Setelah buku yang pertama muncul yang kedua. Serangkaian wawancara dengan 14 tokoh pemerintah, politik, agama, kebudayaan dan akademik, persis seperti dalam Dialog yang pertama. Pun dalam pengantar dikatakan, niatnya sama dengan niat pada buku pertama untuk memperoleh kejernihan mengenai perkembangan di seputar diri kita, dengan menanyakan kepada tokoh-tokoh ini beberapa pertanyaan dasar. Pembicaraan ini, sekalipun tidak dikelompokkan oleh para editor (karena konon pemilihan tokoh-tokoh tidak berdasarkan kriteria apa pun), secara garis besar dapat dimasukkan dalam dua kategori: yang menyetujui kebijaksanaan pemerintah, dan yang tidak atau kurang menyetujui. Ada yang nadanya jelas-jelasan memuji-muji, ada yang pendekatannya akademis-analitis, ada yang berusaha memberikan pendekatan alternatif, ada yang seperti "buku kepanduan" yang penuh anjuran, ada yang sekedar wishful thinking, ada yang jelas jelas radikal. Betul-betul forum terbuka. Pandangan yang untuk mudahnya kita sebut propemerintah muncul duluan. Jenderal (Purn.) Daryatmo misalnya, menyalahkan Orla untuk kebobrokan aparatur negara yang terdapa sekarang ini. Pihak-pihak yang meng kritik pelaksanaan pembangunan adalak mereka yang belum mempelajari GBH secara mendalam, menurut dia. Karena itu penggalakan P4 mendapat pujian (hlm. 4). Kopkamtib Ir. Rachmat Witoelar, Ketua Komisi VI DPR dalam pembicaraannya yang berjudul Arah Pembangunan Kita Sudah Tepat! mengatakan bahwa walaupun Indonesia masih dalam proses mencari, toh kita punya pola. Yaitu pola "mencari pola" (hlm. 19). Mengenai generasi muda, Akbar Tanjung, bekas ketua KNPI, berpendapat bahwa perbedaan pendapat ada, tapi sama sekali tidak prinsipil. Dan untuk regenerasi tak perlu khawatir, karena, "singkatnya . . . KNPI sebagai lembaga menyiapkan jalan bagi regenerasi" (hlm. 36). Yang menarik adalah pemikiran Jenderal (Purn.) Soemitro. Ia merasa bahagia berhenti dari jabatannya yang panglima Kopkamtib itu. Karena keberhentian itu membuka kesadaran baginya-- yang tadinya tertutup oleh tugas menjaga keamanan--bahwa kita memerlukan politik sebagai landasan falsafah untuk pembangunan ekonomi. Ia mengatakan, pemerintah sekarang "lahirnya di tengah-tengah khaos . . . khaos itu sendiri yang memaksa lahirnya pemerintah Orde Baru . . . jadi jelas tanpa persiapan" (hlm. 38). Kopkamtib, menurut dia, lahir hanya untuk sasaran pendek, dan kebijaksanaan depolitisasi sekedar dimaksudkan sebagai de-Nasakomisasi. Tetapi setelah hal itu tercapai, kekuatan-kekuatan penghancuran PKI kembali pada identitas semula dan akhirnya yang tampil adalah kepentingan masing-masing. Juga "secara tak sadar . . . (kita telah) . . . mengoper kultur Nasakom/Komunis seperti adanya Pressure Groups, Conditioning from below, adu domba, saling mendiskreditkan, curiga-mencurigai dan lain sebagainya" hlm. 39). Dari kalangan yang mengkritik, Toeti Heraty Noerhadi (yang seperti perawan di sarang penyamun saja karena satu-satunya perempuan), mengamati bahwa sedang terjadi proses pendangkalan. Yakni suatu reduksi dibidang spiritual, karena nilai-nilai tradisional tidak lagi dihayati--sedang spirit sektor modern belum kita miliki. Tampaknya yang dianggap penting sekarang adalah bentuk, bukan proses. "Kita tergila-gila pada upacara . . . soal kelanjutan . . . tidaklah dipermasalahkan" (hlm. 71). Buat rakyat, "menonton memang lebih mudah daripada partisipasi, tapi pada dasarnya konsumptif" (hlm. 72). Setelah segala upacara dan ritual yang penuh "keheningan", "kekhidmatan" dan "kekeramatan" selesai, kita kembali pada hidup yang penuh kesantaian. "Ini menyuburkan sikap munafik sebagai psikopathi sosial" (hlm. 72). Pandangan Y.B. Mangunwijaya yang pastor dan pekerja sosial di Salam, Yogya, banyak kesejajarannya dengan pikiran-pikiran Toeti. "Facade roman muka, ritual performance, formulasi konsep dan sebagainya, lebih penting, lebih keramat daripada realitas" (hlm. 93). Kita masih belum merdeka dari kurungan magis, katanya. Ia menirukan sebagian pidato pembesar: "Walaupun seluruh negara bobrok karena korupsi, janganlah khawatir, sebab Pancasila sakti" (hlm. 93). Ia juga melihat, di zaman modern ini pun ternyata masih banyak sisa-sisa kebinatangan dalam diri manusia--"saling berebut mangsa, menguasai dan mengganyang sesama jenis" (hlm. 87). Umar Kayam juga mensinyalir adanya polusi konsep yang tidak lagi mencerminkan kehidupan nyata sehari-hari. Tapi ini mungkin hanya suatu refleksi dari pencaharian nilai-nilai budaya Indonesia (hlm. 78). Abdul Madjid, dalam pada itu, terang-terangan mengaku sebagai "ekstrakubu pemerintah". Karena ia melihat "perkembangan kehidupan negara kita ini sudah tidak sesuai dengan kemurnian Pancasila dan UUD 45 serta telah menyimpang dari Kedaulatan Rakyat" (hlm. 96). Katanya, dalam demokrasi Pancasila perbedaan pendapat mendapat tempat yang terhormat. Toh tahun yang lalu ia di-recall dari DPR tanpa sebab-sebab yang diketahui. Yang dikritiknya cukup keras adalah "pelembagaan" sistem pengangkatan sepertiga anggota MPR dan 100 anggota DPR (hlm. 100). Salah satu akibatnya adalah berlangsungnya "sistem satu partai terselubung" (hlm. 110) -- toh "pemilihan umum tidak bebas dari ancaman, tekanan dan paksaan serta manipulasi" (hlm. 104). Memang pembangunan tak bebas nilai. Demikian A. Rahman Tolleng, bekas aktivis mahasiswa, orang Golkar dan tahanan Peristiwa 15 Januari. Karena itu partisipasi rakyat penting--pada tahap-tahap pengambilan keputusan. Dewasa ini partisipasi baru hanya di tingkat pelaksanaan --dan diperintahkan pula. Ini sama saja dengan feodalisme. Sebenarnya pembangunan Indonesia sekarang ini, dengan penekanannya yang kuat pada sektor ekonomi dan bisnis, kapitalistis. Padahal seperti kata Umar Kayam, semangat Pancasila seharusnya sosialis. Dan "dinamika intrinsik dari . . . (kapitalisme) . . . menimbulkan polarisasi antara minoritas yang kaya dan mayoritas yang miskin" (hlm. 130). Secara singkat, Prof. Sarbini, juga bekas tahanan Peristiwa 15 Januari, menyimpulkan: "Hingga kini yang kita peroleh sekedar kemajuan ekonomi dengan ketidakadilan dan ketidakmerataan dari kapitalisme, disertai ketidakbebasan dari komunisme" (hlm. 142). Sarbini, seperti juga Abdul Madjid, memang bicara terbuka. Tentunya karena "keterbukaan menandakan kelegalan" (hlm. 97). Sebenarnya inti persoalan dalam buku ini ituitu juga. Karena pertanyaannya mungkin itu-itu juga. Jadi sering terasa repetitif. Padahal mungkin bisa lebih menarik bila disajikan berbagai pandangan mengenai berbagai bidang dan masalah. Kesan yang terdapat sekarang: buku ini sebagai pernyataan politik tanggung, secara ilmiah pun begitu. Peran para editor bisa ditingkatkan untuk lebih memberikan pengarahan, lebih selektif, lebih tegas, dan tidak terlalu "berendah hati". Mustahil mereka tak memiliki prekonsepsi tentang yang hendak mereka perbuat. Editing yang kurang baik dalam buku ini (pengulangan, tulisan terlalu panjang, pemakaian bahasa yang kurang sreg dan sebagainya) mungkin malah memberi ciri "autentik". Bahkan banyaknya salah cetak memberikan suasana under ground pada beberapa tulisan. Bila seterusnya muncul buku-buku Dialog III, IV, V, dan seterusnya, mungkin sudah tak banyak manfaatnya untuk menambah kejernihan persoalan yang diinginkan para editornya, walaupun sekedar untuk memperluas peta permasalahannya dengan "memperbanyak sudut pandang". Tetapi bisa berguna untuk memberikan forum -- itu pun kriterianya harus tokoh yang tak mungkin atau tak mau menyuarakan pendapat dalam forum resmi. Nah, kalau seluruh rakyat Indonesia bisa ber-Dialog, itu baru kejutan. Julia I. Suryakusuma

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus