Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pentas Indonesia di Pameran Buku Frankfurt 2015 tinggal tujuh bulan lagi, tapi penerjemahan masih jadi persoalan. Dari 200 buku yang direncanakan dipamerkan di paviliun tamu kehormatan, baru 39 yang rampung. Dan, dari 39 itu, kebanyakan terjemahan dalam bahasa Inggris-sedikit yang berbahasa Jerman.
Adapun terjemahan bahasa Jerman yang siap cuma buku-buku lama, seperti Ein Hauch von Macht (Para Priyayi) karya Umar Kayam terbitan Horlemann (1999) dan Die Letze Nacht (Malam Terakhir) karya Leila Chudori, yang juga diterbitkan Horlemann (1993). "Belum ada terbitan baru," ujar Husni Syawie, Ketua Komite Nasional Terjemahan, kepada Tempo.
Tawaran kepada penerbit Jerman sudah dilakukan sejak Pameran Buku Leipzig tahun lalu, tapi tidak ada gaungnya. Awal tahun ini, Komite kembali menggelar tawaran yang sama dengan mengundang penerbit Jerman. Hasilnya lebih parah lagi. "Banyak yang menolak datang dan malah terang-terangan mengatakan enggan memenuhi tawaran lantaran berasumsi pelaksanaan pembayarannya tidak jelas," ucap Husni.
Komite Nasional Terjemahan selama setahun ini berusaha mencari penerbit Jerman. Penerbit mencari penerjemah. Biaya penerjemahan ini yang dananya akan ditalangi oleh Komite Nasional Terjemahan. Akan halnya pembelian hak cipta buku tidak ada hubungannya dengan Komite. Itu deal harga tersendiri antara penerbit Jerman dan penerbit Indonesia.
Soal harga penerjemahan, tarifnya ditentukan berdasarkan kesepakatan. Komite akan memberikan dana penerjemahan kepada penerbit Rp 480 ribu (30 euro) per lembar. Itu, menurut Husni, tarif yang amat tinggi. Uang tersebut akan dibayarkan setelah penerbit memberi bukti peluncuran 1.000 eksemplar buku yang diterbitkannya itu di cetakan pertamanya.
Tapi sampai sekarang belum ada penerbit asing yang mau menerbitkan buku Indonesia gara-gara mereka belum-belum ragu terhadap kepastian pembayaran. Dari berbagai wawancara Tempo, terungkap bahwa para penerbit Jerman tersebut, meski mereka tahu Indonesia memiliki anggaran untuk itu, sangsi soal ketegasan pembayaran yang tepat waktu. Mereka melihat regulasi pembayaran belum jelas. Para penerbit tidak mau gara-gara hal itu nanti, misalnya, bisa-bisa mereka harus datang ke Indonesia untuk menagih uang penerjemahan.
Diakui Husni, ketetapan tarif dan pelaksanaan pembayaran baru jelas (hanya) beberapa bulan sebelum Pameran Buku Leipzig dibuka (12 Maret 2015), yaitu setelah Komite menyerahkan pengumuman pencarian penerbit itu ke Litprom (mediator buku-buku Asia-Amerika Latin dengan penerbit Jerman). Litprom adalah rekan kerja Pameran Buku Frankfurt. Lewat situsnya, Litprom mengumumkan adanya proyek I-LIT Program (Indonesia Literature in Translation).
Di situ ditulis, misalnya, siapa yang tertarik menerjemahkan bisa langsung menghubungi komite terjemahan Indonesia. Di situs itu juga ada formulir yang bisa diklik dengan tarif 30 euro, dikurangi pajak 15 persen. Sumber-sumber Tempo menyebutkan Indonesia harus membayar Litprom sekitar Rp 500 juta (30 ribu euro) agar menjalankan fungsinya dengan baik. Litprom, misalnya, berkewajiban mengorganisasi pertemuan penerbit Jerman dengan komite buku yang akan membeli copyright buku-buku Indonesia dengan penerbit Jerman.
Menurut Nung Atasana dari Komite Terjemahan, sejauh ini Litprom mampu menyelenggarakan 25 appointment (pertemuan). Tapi belum ketahuan apakah dari pertemuan-pertemuan itu akhirnya berhasil menarik penerbit Jerman. Di situsnya, Litprom mengumumkan dengan rinci regulasi tarif untuk penerbit Jerman atau penerbit dari negara lain dalam bahasa Inggris, yaitu 30 euro per lembar, yang dibayarkan setengahnya setelah buku selesai diterjemahkan dan setengahnya lagi dibayar setelah penerbit memberikan bukti bahwa buku sudah diterbitkan.
Situs Litprom juga mencantumkan daftar penulis Indonesia yang buku-bukunya pantas diterbitkan (ditulis "Verlag Gesucht", artinya "Dicari Penerbit"), seperti Clara Ng, Goenawan Mohamad, Seno Gumira Ajidarma, Remy Sylado, dan Dewi Lestari. Tapi, seperti Husni bilang, penerbit Jerman telanjur apatis. "Kita harus berusaha terus mengembalikan kepercayaan mereka," ucapnya.
Memang ada satu-dua penerbit Jerman yang confirm mau, tapi kasusnya berbeda. Penerbit Weidle, misalnya, yang berencana menerbitkan buku Pulang karya Leila Chudori. Mereka mau menandatangani kontrak dengan Komite karena memang sebelumnya sudah berkomitmen dengan agen buku Leila di Madrid, Spanyol. Penerbit Weidle tertarik pada manuskrip dalam bahasa Inggris yang ditawarkan agen itu.
Weidle lalu menghubungi Litprom lewat Sabine Mller, seorang penerjemah. Sabine menyerahkan 20 lembar contoh terjemahan buku ke Litptom. Terjadi kesepakatan kontrak penerjemahan ke Jerman. Sabine tidak mau menyebut angka pastinya. Menurut dia, tarif tiap halaman di atas 19 euro, tapi masih di bawah 30 euro. Pulang, menurut Sabine, akan selesai diterjemahkan sekitar September. Jika penerbit bisa menerbitkan secepatnya, Pulang bisa ikut dipamerkan pada Pameran Buku Frankfurt, Oktober nanti, atau sebulan setelah buku selesai diterjemahkan.
Husni menganggarkan biaya terjemahan 2015 sekitar Rp 4 miliar. Ia menyebut kehadiran buku yang akan dipamerkan di paviliun Indonesia sebagai jantungnya ekshibisi. "Kalau buku tidak ada, semuanya gagal. Apa pun itu," katanya. Maka ia kini terus berjuang. Thomas Bhm, pengurus Pameran Buku Frankfurt, menargetkan ada 20 buku Indonesia dengan versi bahasa Jerman. "Tapi saya menganggap 15 sudah cukup. Kurang dari itu, buruk. Saya melihat adanya tendensi ke arah itu," ujar Husni terang-terangan.
Selain penerbit Weidle yang telah pasti menerbitkan dalam bahasa Jerman novel Pulang karya Leila Chudori, di hari terakhir pesta buku Leipzig, alhamdulillah, ada tiga penerbit Jerman lain yang menandatangani kontrak dengan Komite Nasional Terjemahan, yakni penerbit Hanser Berlin im Carlsen Hanser (The Dreamer karya Andre Hirata), Horlemann (Jangan Tulis Kami Teroris karya Linda Christanty), dan Regiospectra (Tuan Tanah Kawin Muda karya Antariksa). "Penandatanganan ini bisa jadi PR yang bagus buat penerbit lain," kata Husni.
Sayangnya, acara ini tidak diliput satu pun media Jerman. Jadi, ya, tidak ada yang tahu.
Sri Pudyastuti Baumeister (Leipzig)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo