Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Pemanasan di Leipzig

Sebelum menjadi tamu kehormatan di Pameran Buku Internasional Frankfurt, Oktober nanti, Indonesia menggelar diskusi di Pameran Buku Leipzig. Stan lebih ramai daripada tahun-tahun lalu.

23 Maret 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Suara Nirwan Dewanto terdengar lantang. Suaranya bahkan bisa mengalahkan suara penyanyi bersuara bariton di stan Korea Selatan di belakang stan Indonesia. Di stan Indonesia yang didominasi warna putih itu, penyair dan pengamat sastra tersebut mempersoalkan sastra Indonesia.

Menurut dia, sastra Indonesia sejak dulu sampai sekarang menikmati kebebasan menulis, tapi ia berpendapat unsur sastranya sendiri jarang pernah dipersoalkan. "Ironis sebetulnya. Tapi aman," katanya pada hari ketiga Pameran Buku Leipzig, 12-15 Maret 2015, di Kota Leipzig, Jerman.

Laksmi Pamuntjak, yang muncul bersama Nirwan di sesi diskusi bertajuk "Sastra Indonesia Menikmati Kebebasan Berekspresi", menimpali, "Saya sendiri lega karena karya saya tidak dibaca kelompok intoleran." Laksmi lega karena buku-bukunya banyak mengungkap hal tabu. Seperti di buku barunya, The Question of Red (Alle Farben Rot dalam versi bahasa Jerman). Di situ dengan rinci ia mengungkap tentang nikmatnya makan daging babi. "Saya malah merasa paling beruntung dibanding sastrawan lain karena novel ini ditulis dalam bahasa Inggris. Yang pasti lebih tidak dibaca lagi," ujarnya, lalu tersenyum.

Diskusi itu disesaki pengunjung sampai ke luar stan di Hall 4B 501. Seorang pengunjung, Dr Andrea Tehnbrink, filsuf Universitas Dresden, amat terkesan oleh diskusi itu. "Informasi yang memikat tentang kehidupan sastra Indonesia," katanya. Maraknya pengunjung di stan Indonesia—selama pameran—adalah pemandangan langka. Tahun-tahun sebelumnya, pengunjung mampir karena ada suguhan tari-tarian atau penganan kecil. Tapi kali ini mereka mampir karena adanya diskusi dan penjualan buku seperti The Dancer dan The Question of Red.

Sabine Müller, penerjemah profesional yang pernah tinggal di Indonesia dan banyak menerjemahkan buku sastra Indonesia, juga menjalankan perannya dengan bagus. Ia bisa menafsirkan dengan akurat semua ucapan para pembicara yang tampil dengan berbagai topik. Dari komiknya Iwan Gunawan, puisi Sapardi Djoko Damono, atraksi pujangga Afrizal Malna, sampai buku Ahmad Tohari. Sabine menjadi mediator bagi pengunjung Jerman untuk mengenal sastra Indonesia.

"Saya tidak tahu tentang Indonesia. Tapi, di sini, pandangan saya jadi lain. Indonesia tidak seperti yang saya dengar selama ini, yang terlalu tradisional. Indonesia juga mempunyai banyak karya ilustrasi bagus," begitu komentar Rebecca Herda, 30 tahun, mahasiswi Universitas Ernst-Moritz Arndt Jurusan Comparative Literature, di sela acara diskusi novel grafis Indonesia bersama Beng Rahadian dan Evan Raditya.

Jawaban senada diucapkan Mira, 24 tahun, mahasiswi Universitas Humboldt, Berlin. Ia membeli buku Kind Looking of Eyes karya Ahmad Tohari seharga 8 euro (sekitar Rp 128 ribu). Padahal ia tidak mengenal penulisnya. "Saya tidak tahu Indonesia, tapi saya melihat promosi Indonesia di situs GoH (Guest of Honor Frankfurt Book Fair 2015) amat menarik. Bahasa Indonesia terdengar indah di telinga saya. Saya ingin tahu lebih jauh tentang Indonesia. Semoga buku ini mengantar saya untuk sedikit mengerti jalan pikiran orang Indonesia," ujarnya, lalu tertawa.

Bahwa sastra dan kebudayaan Indonesia belum banyak dikenal memang kenyataan pahit yang harus diakui. Bahkan Jürgen Boos, Direktur Pameran Buku Internasional Frankfurt (FBF), tempat Indonesia akan menjadi tamu kehormatan di pentas FBF (GoH FBF 2015), Oktober mendatang, juga mengakuinya. "Tidak tahu banyak," katanya tersipu-sipu kepada Tempo.

Kesan itu juga yang diungkapkan koran berpengaruh Die Welt setelah jamuan makan malam untuk para penerbit Jerman pada hari pertama pameran. Jamuan yang menyuguhkan masakan sedap dan tarian indah itu dikritik karena tidak diselingi suguhan karya-karya sastra (pembacaan buku atau puisi). Padahal ini saat yang paling tepat bagi penerbit untuk mengenal sastra Indonesia.

"Sayang suguhan itu tidak ada. Apakah karya sastra Indonesia akan 'sesedap' rasa rendang? Tunggu saja," seperti ditulis Die Welt.

Tidak gampang memperkenalkan Indonesia di tengah hiruk-pikuk kekeliruan Eropa menilai Indonesia. Panitia mesti bekerja keras untuk merombak kesan Indonesia yang sering diidentikkan hanya dengan wayang dan batik. Tak mengherankan jika Goenawan Mohamad, Ketua Panitia Nasional GoH FBF 2015, memastikan penampilan Indonesia sebagai tamu kehormatan di Frankfurt nanti tidak akan memalukan. "Sampai sekarang, persiapannya sudah 87 persen rampung," ucapnya.

Beberapa bulan sebelum Oktober, para intelektual Indonesia akan berkeliling ke sejumlah universitas di kota-kota besar Jerman, berbicara tentang Indonesia. Di Museum Seni Kontemporer Frankfurt digelar pameran seni rupa berupa arsitektur rumah bambu karya Djoko Avianto. Juga ada pameran foto dan Festival Film Indonesia yang menampilkan film pendek dan animasi karya generasi Usmar Ismail, Teguh Karya, Slamet Rahardjo, Garin Nugroho, dan lainnya.

Aktor Slamet Rahardjo, yang bertanggung jawab untuk semua program pameran, seminar, dan pertunjukan, memastikan bakal menggulirkan tema-tema menarik buat publik internasional, seperti seminar tentang pluralisme Islam. "Sebelum tema dibuat, kami bikin riset, mendengar apa yang mereka mau tahu. Lalu kami rumuskan. Di Indonesia mayoritas penduduknya muslim, tapi partai Islam tidak pernah menang pemilu. Kehidupan beragama juga relatif rukun, tidak seperti Islam di Timur Tengah. Tema-tema hangat seperti ini yang akan diangkat," kata Slamet.

Boos mengatakan FBF akan dihadiri sekitar 10 ribu wartawan internasional. "Ini kesempatan bagus untuk Indonesia agar lebih dikenal masyarakat buku internasional," ujarnya. Menurut Ketua Kompartemen Minat Baca Sugiharta, Indonesia akan menggelar stan di Hall 5, yang memiliki luas 440 meter persegi, untuk memajang 700 judul buku. Sekitar 20 penerbit juga akan memamerkan 30 bukunya di situ.

Indonesia berencana memboyong 70 sastrawan dan budayawan berikut 200 buku. Lantai paviliun Guest of Honor bakal bertema "Indonesia, 17.000 Islands of Imagination" seluas 2.500 persegi di Hall 1. Tapi misi besar itu masih mengalami problem. "Terjemahan! Ini berat problemnya karena yang disubsidi cuma penerjemah, penerbitnya tidak," kata Goenawan, ketua panitia proyek senilai Rp 150 miliar itu.

Sri Pudyastuti Baumeister (Leipzig)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus