Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Qaris Tajudin*
Ada diskusi abadi antara saya dan istri saya: apakah kita boleh menyebut paus sebagai "ikan paus"? Obrolan dengan topik ini tak pernah tuntas dan selalu muncul kembali saat ada pemicunya. Hal terakhir yang membuat kami mendiskusikannya adalah kehadiran buku cerita anak-anak yang ditulis sastrawan Clara Ng.
Dalam buku berjudul Bugi Hiu Suka Senyum, ada sejumlah karakter dari dalam laut. Selain Bugi Hiu si tokoh utama, ada seekor anak ikan paus bernama Luki. Clara menyebutnya anak ikan paus, bukan anak paus. "Ini kurang tepat, karena paus bukan ikan, karena dia tidak punya insang dan tidak bertelur," kata istri saya kepada anak kami saat membacakan buku tersebut. "Paus itu seperti lumba-lumba atau pesut. Mereka adalah mamalia."
Saya membantah. "Paus memang secara biologis bukan ikan, tapi dalam bahasa, tak ada salahnya kita menyebutnya ikan paus. Jauh sebelum ilmu hayat modern datang ke Nusantara, nenek moyang kita sudah menyebutnya ikan paus." Sebagai sarjana biologi, istri saya tentu punya argumen. Baginya, kesalahan bahasa harus dikoreksi oleh ilmu pasti modern. Ilmu pasti membawa kepastian, bahasa adalah persepsi.
Tapi saya berkukuh bahwa menyebut paus dengan "ikan paus" bukan kesalahan dan, karena itu, tidak perlu dikoreksi. Bahasa dan sains punya logika yang berbeda. Saya membandingkannya dengan sebutan iwak pitik atau iwak peyek dalam bahasa Jawa. Meski ayam dan peyek tidak punya insang, keduanya dalam bahasa Jawa sah disebut iwak atau ikan.
Tentu saja, argumen saya di atas agak ngawur. Iwak adalah kata yang memiliki dua makna: ikan dan lauk. Orang tak pernah menganggap ayam bisa berenang meski disebut iwak. Ketika disandingkan dengan ayam, iwak bermakna lauk, bukan ikan. Beda dengan paus. Ketika kita menyebutnya ikan, orang yang mendengar akan menganggapnya sama dengan kata ikan yang disandingkan dengan kata tuna atau hiu. Itu membingungkan.
Tapi saya punya argumen lebih kuat. Kali ini saya mengambil contoh dari bahasa lain, bahasa Inggris. Dalam bahasa Inggris, ubur-ubur disebut jellyfish dan bintang laut dibilang starfish. Orang Inggris tidak merasa perlu mengganti fish dalam kedua kata itu dengan hal lain, meski keduanya bukan benar-benar ikan. Mereka tahu, arti fish di kedua kata itu tidak sama dengan fish dalam tuna fish.
Ada juga contoh lain dari bahasa Indonesia, meski tidak lagi tentang ikan. Kali ini bukan di bidang biologi, melainkan astronomi. Kita kerap menyebut Venus sebagai bintang timur atau bintang kejora. Disebut bintang timur, karena ia adalah kerlip di langit timur menjelang subuh. Kerlipnya kecil, seperti bintang.
Masalahnya, dalam dunia astronomi, tidak semua benda langit yang bekerlip disebut bintang. Bintang adalah benda langit yang memancarkan sinarnya sendiri. Sedangkan Venus adalah planet yang memantulkan cahaya matahari. Tapi apakah dengan demikian kita harus menyebut Venus sebagai planet timur atau planet kejora?
Hal sebaliknya terjadi pada matahari. Matahari justru merupakan salah satu bintang. Tapi sangat tak lazim surya disebut bintang mentari. Kita juga kerap menyebut meteor sebagai bintang jatuh atau shooting star dalam bahasa Inggris. Padahal meteor bukanlah bintang.
Menurut sains, penyebutan bintang timur dan ikan paus memang salah. Tapi bahasa bukan hanya soal kebenaran teknis. Bahasa tidak selamanya harus tunduk pada kebenaran sains yang pasti. Sebab, bahasa juga ekspresi. Kita tahu kapan harus mengatakan matahari, surya, atau mentari—meski ketiganya berarti sama. Setiap kata itu dipakai pada saat yang tepat, dengan konteks tertentu.
Demikian juga saat kita menambahkan kata ikan pada paus, menyebut nasi jagung padahal bukan dari padi, dan menggelari Venus dengan bintang timur. Ini adalah ekspresi manusia saat melihat atau berhubungan dengan alam. Mungkin ada persepsi yang salah—seperti menyebut paus sebagai ikan dan Venus sebagai bintang. Bisa juga itu adalah bagian dari imajinasi kita terhadap sesuatu, seperti saat menyebut Echinoidea sebagai landak laut—meski kita tahu makhluk itu sama sekali bukan landak yang hidup di laut. Kita menyebutnya demikian karena kemiripannya dengan landak.
Tentu perdebatan ini tidak ada pemenangnya. Yang bisa kita lakukan adalah memakainya dengan tepat. Sebuah makalah yang menulis hasil penelitian biologi tentang paus tentu akan salah jika memakai frasa ikan paus. Tapi bukan sebuah kesalahan jika seorang penyair memakai frasa bintang timur untuk puisinya, atau itu termaktub dalam Alkitab: "Aku adalah tunas, yaitu keturunan Daud, bintang timur yang gilang-gemilang." l
Wartawan Tempo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo