Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di bawah sinar yang menerangi tubuhnya, Goenawan Mohamad membacakan sekilas kisah bangsawan miskin dari Dusun La Mancha, Spanyol. Tersebutlah seorang lelaki lajang, pengelamun, dan pembaca buku yang bergairah. Namanya Don Quixote, tokoh imajinatif dalam novel karya Miguel de Cerventes yang terbit pada 1600-an. "Syahdan, ia menjadi majenun karena itu. Ia pun mengenakan baju zirah tua, mengendarai seekor kuda kurus yang ia bayangkan gagah dan ia namani Rocinante," ujar Goenawan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sang tokoh berangkat meninggalkan rumahnya diiringi petani gendut dan buta huruf, Sancho Panza. Kisah yang jenaka, menggelikan, dan menyentuh hati itu bisa disimak dalam puisi Goenawan Mohamad yang dipentaskan di Teater Salihara, Jakarta, 23-24 Oktober lalu. Pentas itu mengawali Literature and Ideas Festival (LIFE) 2018.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam temaram cahaya di panggung, Syam Maarif memulai sajak tentang sang lelaki majenun itu diiringi denting pelan piano Sri Hanuraga yang sendu. Setelah Syam, Rebecca Kezia berdiri meneruskan kalimat demi kalimat sajak berikutnya. Seperti pentas sebelumnya, dua dramawan senior, Landung Simatupang dan Niniek L. Kariem, tampil membacakan sajak melanjutkan kisah Don Quixote dalam perjalanannya.
Mereka bersahutan menyuguhkan cerita Don Quixote yang melewati jalan-jalan sunyi, berkelok, melintasi desa demi desa, serta mencari kastil dan rumah boneka. Ia ditemani sang pelayan setia, Sancho, yang tak tahu arah pengembaraan tuannya. Piano yang dimainkan Sri Hanuraga dan Hammond oleh Adra Karim atau tiupan flute Carmen Caballero Fernandez mengiringi dengan romantis. "Don Quixote de La Mancha betanya ke manakah jalan ke kastil yang dulu ada?" kata Niniek. Si lelaki itu hendak mencari kastil yang pernah disinggahi.
Keempat narator duduk di kursi dengan papan notasi di depannya untuk membacakan naskah. Mereka berdiri saat membacakan sajak. Tiga pemusik berada di belakang mereka. Piano di kiri, flute, dan Hammond yang dilengkapi  dengan perangkat digital di kanan. 
Di layar yang ditembakkan cahaya dari proyektor, lukisan pasir karya Niar Febriyani berpadu gambar goresan-goresan karya Goenawan yang hampir mewarnai sepanjang pertunjukan. Ada lelaki menunggang kuda, padang luas dengan satu pohon yang meranggas ditinggal daun-daunnya, sebuah desa dengan jalan berkelok di sana, atau bangunan-bangunan dengan jendela tinggi.
Karya sketsa dan lukisan Goenawan terlihat lebih banyak ketimbang pada pementasan sebelumnya. Lukisan-lukisan itu menggambarkan perjalanan sosok lelaki pengelana yang setia kepada Dulcinea, sosok perempuan pujaan yang sepenuhnya adalah khayalan, yang namanya terpahat di batu. Lukisan dan sketsa itu menghidupkan kisah perjalanan si tokoh.
Kali ini penonton menikmati pertunjukan yang memadukan seni rupa dengan karya lukisan pasir serta lukisan tinta-cat yang lebih banyak, alunan musik, dan pembacaan sajak yang panjang dan kompleks. Ketiganya melebur. Tapi ada kalanya para narator dibiarkan membacakan kalimat demi kalimat tanpa diiringi musik. Ada saatnya Carmen meniupkan flute dengan lirih seperti siulan. Ada pula saatnya dentingan piano berpadu dengan dengungan atau nada musik gereja dari Hammond.
Sementara itu gambar di layar terus bergerak, terkadang menginterupsi fokus dan konsentrasi penonton: apakah menikmati goresan-goresan sketsa dan lukisan dulu atau menikmati kisah yang meluncur dari narator. 
Naskah Don Quixote ini pernah dipentaskan di Ubud Writers and Readers Festival 2015 serta Singapore Writers Festival 2015. Dalam sebuah video yang mengunggah acara di Ubud, saat itu Niniek L. Karim dan Landung Simatupang membawakan sajak tersebut seperti berdialog di pentas. Landung dan Niniek saat itu tampil lebih ekspresif dan lepas dari naskah. Mereka tak membaca naskah seperti di Salihara.
Mereka diiringi piano dan Hammond yang dimainkan oleh Sri Hanuraga dan Adra Karim. Dalam pementasan itu terlihat sesekali layar terhias oleh lukisan pasir karya Niar Febriyani. Sesekali pula terlihat potongan naskah sajak yang ditampilkan pada layar. "Ibarat sayur, ini sayur yang dihangatkan lagi," ujar Landung tentang penampilannya kembali dalam pentas Don Quixote. Sedangkan Niniek mengatakan cukup senang bisa membaca naskah. "Dulu kan enggak boleh baca (naskah). Puisinya GM gitu lo, tidak linier. Panjang dan menantang." DIAN YULIASTUTI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo